Archive for the Category ◊ Uncategorized ◊

• Thursday, July 02nd, 2020

Menyikapi Keadaaan (Masih) Korona
Oleh Agung Kuswantoro

“Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan dibawah sinar itu; dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguh, Allah berkuasa atas segala sesuatu” (QS. Al baqoroh 19-20).

Hampir empat bulan keadaan seperti ini. Korona datang ke Indonesia. Tepatnya pertengahan Maret 2020, negara Indonesia “disibukkan” dengan kehadiran makhluk Allah itu. Makhluk yang sangat kecil, namun membingungkan isi jagad raya.

Padahal, Islam sudah mengenalkan bab thoharoh/sesuci dengan cara wudhu. Sebelum wudhu disunahkan dengan mengalirkan air ke telapak tangan. Dalam bahasa kitab dalam memaknai diistilahkan dengan “icik-icik”.

Mengambil istilah dalam kedokteran, cara menghilangkan virus Korona, salah satunya adalah dengan rajin cuci tangan. Di Islam, ada wudhu. Berwudhu tidak hanya saat sholat saja, namun bisa dengan saat akan bekerja, bepergian, atau aktifitas lainnya.

Kehadiran Korona di muka bumi ini, menyadarkan akan pentingnya wudhu. Beberapa orang berpendapat, bahwa kedatangan Korona agar umat Islam untuk berlatih dayamul wudhu/melanggengkan wudhu.

Sebagai orang muslim, kehadiran Korona itu jangan ditakuti, namun harus diambil sisi positifnya. Karena, Korona itu tidak punya kesalahan dan dosa apa pun. Ia bukan makhluk pikiran dan hati yang punya kemungkinan untuk berniat sesuatu, merancang kebaikan atau keburukan, menyatakan dukungan atau perlawanan atas kehidupan umat manusia di muka bumi. Korona bukan bagian dari jin dan manusia, yang kelak akan bertanggung jawab perilakunya di “forum” hisab Allah kelak di akhirat (Emha, 2020.17).

Saat ada wabah pandemi Korona, beberapa tempat/negara menerapkan kebijakan/lockdown/mengasingkan diri. Ada contoh yang sangat bagus mengenai lockdown, dimana tidak tanggung-tanggung lockdown-nya, yaitu 309 tahun. Tidak cukup lockdown, seperti sekarang 14 hari atau baru 4 bulan saja.

Siapa yang berhasil lockdown 309 tahun? Jawaban secara tegas al-Qur’an mengatakan yaitu Sahabat Kahfi dan satu hewan anjing yang bernama Kitmir.

Allah-lah yang me-lockdown Sahabat Kahfi. Bukan manusia/makhluk/Korona yang me-lockdown Sahabat Kahfi. Jika Allah yang me-lockdown, maka Allah akan membantu dan mempermudah urusan hambanya tersebut. Presiden/Negara/Gubernur/Pemerintah Daerah itu tidak menanggung biaya hidup warganya di tempat yang ia tinggali. Namun, Allah-lah yang menanggung dan mencukupi biaya hidupnya.

Lalu, bagaimana agar Allah me-lockdown seorang hamba? Pastinya, Allah memiliki kriteria yang tinggi. Minimal, hamba tersebut beriman kepada Allah. Percaya totalitas kepada Allah mengenai makan, minum, tidur, melek, merem, hidup, dan mati mengenai kehidupan di dunia. Dipasrahkan totalitas ke Allah.

Sahabat Kahfi saat di Gua—urusan makan, minum, tidur, rasa senang, dan sedih—itu semua yang menanggung Allah. Terlebih, kondisi di luar Gua dalam keadaan tidak aman. Sang Raja/Presiden bersikap semena-mena, otoriter, dan menyembah kepada berhala. Secara ketauhidan jauh dari ajaran-ajaran Allah.

Dengan cara me-lockdown diri (Sahabat Kahfi) di Gua. Sahabat Kahfi, justru menemukan Allah. Ia “asyik” di Gua melakukan melakukan ibadah, berdoa, berdzikir, dan merenung hidupnya. Terlebih, mereka adalah anak muda. Masih tinggi nafsunya, namun ia sanggup menahannya. Mereka kuat menahan godaan dunia, hanya bermodalkan iman.

Lalu, bagaimana saya dan Anda menyikapi keadaan ini. Sabar! Belajar dari Sahabat Kahfi. Beberapa ahli sudah memprediksikan kejadian ini hingga Desember 2020. Sektor pendidikan yang terakhir dibuka kegiatannya, sehingga Sekolah, Madrasah, dan Pondok Pesantren yang berada di zona merah seperti Kota Semarang masih off/tidak ada kegiatan pembelajaran.

Demikianlah tulisan singkat ini, ada beberapa simpulan:

1. Korona mengajarkan umat Islam untuk rajin berwudhu. Syukur dapat belajar dayamul wudhu.

2. Korona hanya makhluk kecil yang besok di Akhirat tidak ditanyai oleh Malaikat Mungkar dan Nakir atas sikapnya di dunia—yang katanya—telah merugikan jagad alam raya ini.

3. Belajarlah cara lockdown yang benar seperti kisah Sahabat Kahfi dalam al-Qur’an. Biarlah yang me-lockdown itu Allah. Jika Allah yang me-lockdown, maka semua menjadi mudah. Biaya hidup yang menanggung Allah. Hanya bermodal iman saja.

Semoga bermanfaat. Amin.

Semarang, 2 Juli 2020
Ditulis di UPT Kearsipan UNNES jam 09.30 – 10.00 WIB.

• Monday, June 29th, 2020

 

Borong Kitab Karangan Kiai Bisri Mustofa
Oleh Agung Kuswantoro

Rembang adalah kota tempat tinggal istri saya, Lu’lu’ Khakimah. Sebelumnya, saya tak terbayangkan, jika akan sering datang ke kota khas buah kawis. Awalnya, tak banyak yang saya ketahui banyak mengenai kota itu. Namun, semenjak 1 Januari 2012, saya sering bolak-balik Rembang-Semarang.

Namun, ada yang menarik perhatian saya, yaitu keberadaan pondok pesantren Raudlatut Thalibin dengan pengasuh Kiai Mustofa Bisri. Kiai Mustofa Bisri adalah putra dari Kiai Bisri Mustofa. Kiai Bisri Mustofa memiliki banyak karya berupa kitab yang bertulisan arab pegon dan kitab kuning.

Jika saya perhatikan, beberapa karangan Kiai Bisri Mustofa lebih banyak kepada tulisan Arab yang dimaknai dengan tulisan pegon. Yang paling terkenal karangannya adalah Kitab tafsir al-Ibriz lengkap mulai dari juz 1 hingga juz 30.

Kitab-kitab yang ditulis olehnya itu relatif tidak terlalu tebal, namun isi/pesannya sangat dalam. Secara keseluruhan, kitab yang ditulis berisi secara global. Artinya, tidak didetailkan secara gamblang. Poin pokok-pokoknya yang disampaikan.

Pembelajaran bagi saya adalah karya berupa kitab/buku sangat bermakna dan berumur panjang. Bayangkan, orangnya—penulisnya—sudah meninggal dunia, namun kitab tersebut masih digunakan.

Keproduktifan Kiai Bisri Mutofa perlu diajungi jempol. Saat saya di toko buku/kitab di jantung kota Rembang, saya berpesan kepada pegawai toko tersebut, agar mengumpulkan semua karya Kiai Bisri Mustofa. Alhasil, ternyata ada dua puluhan karyanya yang saya borong dari toko tersebut.

Saat membawa kitab-kitab tersebut pulang ke rumah, dalam hati berkata: “orang dari kota kecil ini memiliki karya yang luar biasa banyaknya dan masih digunakan hingga saat ini, walaupun yang bersangkutan sudah meninggal dunia”.

Artinya, Kiai Bisri Mustofa adalah orang yang sangat produktif dalam berkarya. Zaman dulu, tidak ada syarat apa pun untuk mempublikasikannya. Cukup bermodal niat, ilmu, dan bolpoin. Lalu, ditulis disebuah buku tulis. Tanpa harus memikirkan penerbit, ISBN, atau terindeks. Yang penting nulis dan produktif saja.

Nah, bagaimana saya dan Anda sudah menyiapkan masa tua dan masa kematian dengan beramal baik atau membuat sesuatu yang dapat diwariskan kepada sesama makhluk Allah. Tidak usah muluk-muluk dengan banyak karya, cukup satu saja, yang itu adalah bidang saya dan Anda geluti. Mari belajar dari produktivitas dari Kiai Bisri Mustofa atas karya-karya. [].

Semarang, 29 Juni 2020
Ditulis di Rumah Semarang, jam 5.30-5.45 WIB.

• Sunday, June 28th, 2020

Bersilaturahmi ke KH. Drs. Romadlon Syaban Zuhdi

Oleh Agung Kuswantoro

 

Saat pulang kampung ke rumah asal baik saya di Pemalang dan Istri di Rembang, hal yang selalu dan diupayakan dituju adalah bersilaturahmi ke guru. Di Pemalang, atas telpon yang saya terima agar bisa bersilaturahmi ke pondok pesantren Salafiah Kauman Pemalang dan bertemu dengan guru saya, yaitu KH. Drs. Romadlon Syaban Zuhdi. Guru saya dibidang ketauhidan. Ia sangat banyak menginspirasi saya dalam belajar agama. Enam tahun saya belajar dengannya. Beberapa kitab saya banyak berguru kepadanya, baik di kajian harian dan Madrasah Salafiah tingkat wustho dan ulya.

 

Merasa senang bisa bertatap muka secara langsung. Saya ditemui di ruang tamu rumahnya dan didampingi oleh istrinya, Ibu Nyai Iswatun. Saat pembicaraan, saya lebih cenderung berterima kasih atas ilmu-ilmu yang disampaikan dulu kepada saya. Saya merasakan manfaatnya hingga sekarang. Perjuangan dulu begitu terasa. Memang ilmu tak terkikis oleh waktu.

 

Selain, obrolan tentang ucapan terima kasih, saya juga mohon dukungan atas apa yang saya perjuangan di Semarang, yaitu Madrasah yang saya bentuk—Madrasah ‘Aqidatul ‘Awwam—dan rencana pembuatan Pondok Pesantren Mahasiswa di lingkungan saya sendiri.

 

Mengapa saya memprioritaskan “pembangunan” dari sisi keilmuan dengan membuat Madrasah dan Pondok Pesantren? Karena, pengalaman saya sendiri itu, yaitu ilmu dapat merubah segalanya. Khususnya, dengan ilmu semua menjadi lebih baik. Dari, gelap menuju terang. Dari, bodoh menuju pandai. Kurang lebih seperti itu.

Semoga pertemuan saya dengan KH. Drs. Romadlon Syaban Zuhdi menjadi berkah untuk saya dan keluarga dan menjadi penyemangat dalam berjuang di agama Allah. Hal ini pula, agar saya hidup menjadi imbang antara dunia dan ahkhirat. Jangan terlalu ngoyo dengan kehidupan dunia, karena masih ada kehidupan berikutnya. Nah, apakah Anda sudah menyiapkannya? Wallahu ‘alam.

 

Pemalang, 28 Juni 2020

Ditulis di rumah Mbah Yum, jam 05.15-05.30 WIB.

• Friday, June 26th, 2020

Mengajak Orang Terdekat Sholat Gerhana Matahari Cincin

Oleh Agung Kuswantoro

Tepat satu minggu yang lalu/21 Juni 2020—saya dan beberapa warga sekitar Masjid Nurul Iman Sekaran—melakukan sholat gerhana. Sholat gerhana yang jarang dilakukan dan jarang kejadiannya, kami mengambil moment/peristiwa tersebut untuk beribadah usai sholat Asar berjamaan dengan sholat gerhana, berdikir, dan memenangkan diri sejenak di Masjid.

 

Alhamdulillah, yang hadir ada Mbah Darman, Pak Bahrul, Mubin, Syafa, Ibu Wati, Ibu Yati, Umi Lu’lu’, dan saya sendiri. Kami melakukan sholat Asar, kemudian dilanjutkan dengan sholat gerhana sesuai dengan anjuran MUI/Majelis Ulama Indonesia dan Surat Edaran dari Kementerian Agama.

 

Saya memang merencanakan dan memprioritaskan, jika ada moment langka dengan cara beribadah. Syukur, bisa mengajak orang lain. Minimal, anak dan istri untuk bersama-sama beribadah. Syukur lagi, ada tetangga yang mau gabung beribadah. Saya melakukan hal ini, sebagai wajud syukur saya kepada Allah atas nikmat yang diberikan kepada saya dan beberapa orang terdekat.

 

Wujud syukurnya adalah dengan cara beribadah yang rajin. Mau apa lagi, jika tidak beribadah dengan baik dan berbuat baik kepada sesama? Sampai detik ini, kita masih hidup. Mana wujud syukurnya? Ada gerhana matahari, kita men-cuek-kan? Sederhananya, seperti itu.

 

Yuk, perkuat lingkungan kita—minimal keluarga—dengan rasa bersyukur kepada Allah melalui beribadah. Ajak suami, istri dan anak. Syukur, tetangga atau orang lain, mau beribadah dengan ajakan baik Anda. Kapan lagi, jika tidak sekarang? Bicara pekerjaan itu, tidak ada pernah selesai. Dan, bicara kesibukan itu, tidak pernah habisnya. Kurang lebih seperti itu, kata orang bijak. Wallahu ‘alam.

 

Pemalang, 27 Juni 2020

Ditulis di Pemalang, jam 05.10-05.20 WIB.

Keterangan: Gambar diambil usai sholat gerhana matahari. Mas Mubin sedang lihat gerhana matahari cincin.

• Friday, June 26th, 2020

Media HP

Oleh Agung Kuswantoro

Dalam belajar bersama dengan mbah Darman, ada hal yang susah dalam menyampaikan pesan (baca:materi sholawatan “tibbil qulub”) yaitu caranya. Mengingat, ia/mbah Darman belum/tidak bisa melihat. Saya memberikan tulisan, belum/tidak bisa membacanya. Orang lain yang membacakan tulisan saya.

 

Saya yang membacakan, juga punya kelemahan yaitu jeda, makhorijul huruf, pelafalan, dan tanda baca tetap berbeda, karena ia tidak melihat. Hanya mendengar. Sehingga, kekuatannya adalah menghafal dari apa yang didengar. Didengar bersumber dari siapa? Saya. Itu saat, saya dan dia belajar bersama. Pengulangan yang terus-menerus dalam pembelajaran atas materi—solawatan—yang disampaikan kepadanya.

 

Lalu, saya bertanya kepada dia. “Mbah Darman, Panjenengan apakah punya dan bawa HP?” langsung dia menjawab “Punya, dan saya bawa”. Saya pinjam HPnya yang bermerek Cina. Saya buka fiturnya, mencari program rekam/record.

 

Ketemulah, program rekam/record tersebut. Kemudian, saya merekam suara saya, sambil solawatan “tibbil qulub”. Saya mendampingi juga, cara memutarkan hasil rekaman suara saya. Alhamdulillah, dia bisa memutarkan hasil suara rekaman saya.

 

Usai sudah belajar bersama yang dilakukan rutin tiap hari bada/setelah sholat Subuh di Masjid Nurul Iman. Lima menit tiap hari dengan belajar sholawatan. Saya menikmati saja proses ini. Ketika dia pulang, saya perhatikan, sambil jalan dengan kekuatan tangan dan kakinya—ia bersolawat dengan dipandu suara hasil rekaman saya—menuju rumahnya.

 

Semoga berkah, apa yang telah saya dan dia lakukan. Pembelajaran buat saya juga, orang yang (maaf) buta saja, masih bersemangat untuk belajar. Bahkan, ia jalan kaki sendiri dari rumah. Namun, yakinlah Allah akan membukakan semua yang “gelap” baginya. Amin.

 

Ditulis di rumah Pemalang, 27 Juni 2020, jam 04.50 – 05.06 WIB.

• Monday, June 22nd, 2020

 

Belajar Sholawat “Tibbil Qulub”
Oleh Agung Kuswantoro

Sebelum mengerjakan tugas kuliah, saya ingin nulis “bebas” dari apa yang saya sudah saya lakukan. Jika tugas kuliah yang saya kerjakan itu identik dengan otak kiri. Namun, untuk tulisan “bebas” ini, identik dengan otak kanan.

Begini, Kamis pagi (18 Juni 2020), tepatnya usai sholat Subuh, Alhamdulillah saya punya kebiasaan berdiam diri di Masjid sambil membaca ayat-ayat al-Quran. Namun, pada hari ini, ada jamaah yaitu Mbah Darman—yang buta—meminta saya untuk menuliskan sholawatan “tibbil qulub”.

Ia/mbah Darman sering mengajak ke saya untuk belajar sholawatan. Yang sudah kami pelajari sholawatan diantaranya Allahul kafi robbunal kafi dan sifat wajib Allah 20.

Pada kesempatan itu, ada yang “aneh” bagi saya. Karena, ia meminta tulisan tangan saya terkait sholawatan “tibbil qulub”. Saya pun sudah menyiapkan bolpoin dan kertas yang sengaja saya bawa dari Rumah ke Masjid.

Dengan maksud tidak merendahkan niat baik dan saya izin bertanya kepadanya. Adapun pertanyaan saya kepadanya adalah “bagaimana, mbah Darman membaca atas tulisan saya?”

Ia menjawab: “anak saya, yang bernama Ida yang akan membacakannya”. Kemudian, ia meneruskan jawabannya: “Biasanya setelah dicatat, saya hafal dan paham akan yang ditulis”.

Jawaban yang spontanitas oleh mbah Darman, langsung saya mengaminkan dengan mencatat sholawatan tersebut.

Kemudian, saya meminta tolong ke mba Ida—anak mbah Darman—melalui Facebook-nya, agar tulisan saya untuk mbah Darman dibantu membacakannya. Mba Ida pun menyanggupinya.

Apa yang saya lakukan kepadanya adalah bentuk “ngaji” saya kepada Allah. Hasilnya, belajar atas ilmu-ilmu Allah. Rutin lima menit untuk belajar melafalkan sholawat yang fasih, benar, mengetahui hak-hak huruf, dan paham maknanya. Seperti itulah, cara saya dan mbah Darman belajar. Jadi, dalam bersolawatan tidak asal suara “banter”. Namun, mengajak pendengar/jamaah untuk hikmat “menikmati” akan yang dilafalakannya. []

Rembang, 20 Juni 2020
Ditulis di Rumah Mbah Uti, jam 04.40-04.55 WIB.

• Sunday, June 14th, 2020

 

Yang Me-lockdown Allah SWT
Oleh Agung Kuswantoro

Kisah sahabat Kahfi—yang sering dikenal dengan sebutan Ashabul Kahfi—menjadikan saya berpikir, bahwa Allah itu sudah menetapkan rizki seseorang dalam keadaan apapun. Yang membedakan saya dengan sahabat Kahfi adalah pasrahnya.

Saya bisa jadi, pasrahnya kurang totalitas kepada Allah. Sedangkan, sahabat Kahfi itu sangat totalitas. Allah menghendaki hidup sahabat Kahfi ter-lockdown di Gua dengan ditemani hewan anjing—yang bernama Kitmir—mampu bertahan hidup, hingga 309 tahun.

Cara Allah yang me-lockdwon, hamba-Nya di sebuah tempat yang tersembunyi dengan sinar matahari minim masuk ke ruangan itu, ternyata masih tetap bertahan hidup. Bertahun-tahun lagi. Allah menjamin segala kehidupannya. Termasuk, hewan/anjing yang menyertainya.

Allah mempermudah langkah sahabat Kahfi tersebut. Padahal, kondisi mereka/sahabat Kahfi dalam kondisi terpuruk. Yaitu, ditentang dan “diburu” oleh Raja/Pemerintahan yang berkuasa, waktu itu. Karena, mereka menolak ajaran yang disampaikan oleh Raja tersebut.

Mereka bukan ketakutan kepada Raja. Justru, mereka mencari perlindungan. Disinilah, Allah memberikan kasih sayang-Nya dengan menghidupkan mereka dengan posisi tidur selama 309 tahun. Bahasa saya, Allah sedang me-lockdown mereka.

Tujuan Allah me-lockdown mereka, karena Allah itu sayang kepada mereka. Mereka sudah mendekat kepada Allah. Masa Allah hanya diam? Itulah cara Allah menyelamatkan dan membahagiakan hambanya dengan cara me-lockdown di Gua.

Nah, bagaimana dengan saya dan Anda? Sudah siap di-lockdown oleh Allah? Sudah siap dengan segala kehidupan yang terjadi di bumi ini? Bumi yang beraneka “rasa” marah, bahagia, dendam, dengki, amarah, baik hati, dan segala perasaan lainnya? Adakah kehadiran Allah dalam kehidupan Anda di bumi? Walllahu ‘alam.

Semarang, 14 Juni 2020
Ditulis di Rumah, jam 08.30-08.45 Malam.

• Friday, June 12th, 2020

“Lonjakan” Pengunjung dan Pembaca
Oleh Agung Kuswantoro

Saya memang suka nulis. Ide nulis saya, banyak. Ada dari hasil membaca, renungan, pemikiran, diskusi, permasalahan kehidupan, dan lainnya.

Tiap kali selesai nulis, biasanya saya “bagi” ke Grup WA, Facebook, dan blog. Saya membagikannya, sederhana yaitu dengan naskah “utuh” ke Grup WA, Facebook, dan blog. Mengapa seperti itu? Tujuannya, biar orang mudah membaca.

Beberapa hari ini dan sering–bisa dikatakan seperti itu, menurut saya–blog saya diingatkan oleh perusahaan pemilik blog, bahwa ada lonjakan pengunjung. Bagi, saya menyikapinya, dengan ucapan “Alhamdulillahi robbil ‘alimin”. Ternyata, ada yang membaca pula tulisan saya di blog. 100 pembaca dalam sehari.

Itulah (mungkin) sedekah saya kepada sesama makhluk Tuhan, yaitu berbagi “informasi” melalui tulisan. Senang rasanya, ada yang membaca. Doakan, agar saya sehat dan “bugar” otak agar bisa selalu berbagi kepada sesama. [].

Semarang, 12 Juni 2020
Ditulis di Rumah, jam 05.15-05.30 WIB.

• Tuesday, June 09th, 2020

Setiap Anak Itu Cerdas
Oleh Agung Kuswantoro

Ada yang menarik dari situasi Pandemi Covid-19, dimana anak belajar di Rumah bersama orang tuanya. Seharusnya. Namun, yang terjadi justru anak bermain sendiri. Bahkan, “orang tuanya” adalah HP, Youtube, dan TV kabel. Orang tua, saat anak di Rumah, malah kebingungan menghadapi perilakunya. Bingung harus melakukan “pembelajaran” apa buat dia? Orang tua sendiri sudah sibuk dengan pekerjaan di Rumah.

Buku “Semua Anak Bintang” menuntun saya—sebagai orang tua—agar mengembangkan kecerdasan anak. Menariknya lagi, penulis buku—Munif Chatib—mendefinisikan cerdas itu sederhana sekali. Cerdas menurut versi beliau adalah mampu membawa manfaat atau benefit positif bagi orang dirinya dan orang lain.

Artinya, apa? Berarti ia melakukan sesuatu yang bermanfaat. Titik itu, saja. Melakukan, apa? Nah, jawabnya, apa? Melakukan tindakan bisa berupa lingustik, matematis-logis, spasial-visual, dan kinestetis. Masing-masing tindakan tersebut, secara otomatis berpengaruh pada kondisi anak. Sehingga, gaya mengajar guru—dalam hal ini orang tua—berpengaruh sekali dalam pembelajaran di Rumah.

Ternyata, jadi orang tua itu –menurut saya—tidaklah mudah. Dibutuhkan ilmu dalam mengembangkan kecerdasan anak. Sudahkah Anda—selaku orang tua—belajar menjadi “guru” terbaik buat anak Anda?

Semarang, 9 Juni 2020
Ditulis di Rumah, jam 03.30-03.45 WIB.

• Friday, June 05th, 2020

Mbah Darman (Tidak) Buta
Oleh Agung Kuswantoro

Pasca lockdown Masjid selama 2 bulan, Alhamdulillah berangsur-angsur Masjid di Desa saya mulai kondisi new normal. Protokol kesehatan, tetap harus dipatuhi oleh jamaah saat pelaksanaan ibadah di Masjid.

Semenjak Masjid “dibuka”, hampir dipastikan setiap sholat, saya menjumpai mbah Darman. Ia/mbah Darman bagi saya adalah sosok yang biasa. Mengapa? Karena, saya sudah mengenal sejak tahun 2002. Waktu itu, saya masih berstatus mahasiswa strata satu di UNNES.

Saya mengenalnya di Masjid dekat kos dulu – yaitu Masjid Attakwa Gang Pete – saat sholat Jum’at. Saya sering mengantarkannya pulang usai sholat Jumat di Masjid Attakwa. Saya mengantarkan pulang dari Masjid ke rumahnya, sambil menggandeng tangannya. Bisa dikatakan, saya jalan kaki dengannya itu sangat pelan. Tidak berjalan cepat.

Apa, pasal saya selalu mengantarkannya pulang dengan jalan kaki dan berjalan pelan? Ya, betul, jawaban Anda, yaitu ia adalah orang yang diberi karunia oleh Allah SWT berupa buta. Buta matanya.

Melalui Masjid dan sholat Jumat, saya selalu “menyisihkan” waktu untuk mengantarkan pulang. Saya sendiri melakukannya dengan senang. Bahkan, ia bertanya kepada saya, mengenai identitas saya, dimana saya adalah seorang mahasiswa, kala itu.

Singkat cerita, saya diberi “rizki” oleh Allah SWT yaitu membeli rumah satu RT yang saya tempati dulu, waktu nge-kos. Ternyata, Allah SWT mengizinkan berdirinya tempat untuk sebuah Masjid didekat rumah saya.

Salah satu jamaah Masjid yaitu mbah Darman. Ia aktif dalam jamaah sholat wajib dan kegiatan Masjid. Setelah Idul Fitri 1441 Hijriah, ia sering menjadi muadzin dan sholat berjamaah di Masjid. Suatu ketika, saya mengajak berdiskusi mengenai kelemahan saya selaku manusia dan kemajuan Masjid. Mengingat, dulu, ia juga pernah menjadi muadzin di sebuah Masjid.

Bisa dikatakan, setelah Ramadhan, ia sering meng-adzan-i di Masjid dekat rumah saya. Saya hafal betul, karakter suaranya. Di Masjid ini pula, saya diberi amanah oleh Allah SWT menjadi imam, khotib, pengurus masjid, dan pengelola madrasah Aqidatul Awwam.

Kedekatan saya dengannya, mengingatkan saya dulu, sewaktu saya studi strata satu. Tahun 2002 waktu itu, sekarang Tahun 2020. Karakter mbah Darman yang suka dan aktif berjamaah tetap “terjaga”. Saya pun, alhamdulillah masih aktif mengantarkannya ke barisan shaf hingga pulang melewati tangga Masjid.

Hati
Buta (mata) mbah Darman, bisa jadi buta (hati) untuk saya. Kegelapan ruang mbah Darman, bisa jadi kegelapan (‘dimensi’) bagi saya. Bagi mbah Darma buta, bukan menjadi penghalang untuk beribadah ke Masjid. Tidak hanya beribadah sholat rowatib saja, sholat gerhana pun ia pergi Masjid.

Bisa jadi, saya yang “buta” melihat dunia ini. Mbah Darman-lah yang “melihat” dunia. “Kegelapan” hati itu, ada pada diri saya. Sedangkan “terang” hati itu, milik mbah Darman. Hati, mbah Darman sudah dibuka. Dengan rajin datang ke Masjid 30 menit sebelum tiba waktu sholat. Ia sudah berdzikir terlebih dahulu, sebelum tiba waktu sholat. Padahal, lampu Masjid belum dinyalakan. “Gelap gulitanya” Masjid, namun “terang benderang” baginya untuk berdzikir, sebelum adzan dikumandangkan olehnya. Kejadian tersebut, sering saya lihat olehnya. Saat saya menyalakan lampu Masjid, ternyata didalamnya ada Mbah Darman.

Kemudian, saya menata tempat duduknya yang biasanya masih miring (belum menghadap kiblat). Bagi saya, mbah Darman itu “tidak buta”. Buktinya, ia bisa mandiri bisa pergi ke Masjid dan aktif menjadi muadzin. Ia berjalan sendiri dari rumah ke Masjid dan dari Masjid ke rumah.

Malu rasanya, hati saya setiap melihat beliau berperilaku seperti itu. Saya berdoa kepada Allah SWT, semoga saya bisa didekatkan kepadanya. Karena, apa yang ia dikerjakan dan diajarkan oleh mbah Darman adalah sesuatu yang mulia. Bukan ucapan yang disampaikan, tapi perbuatan yang ditunjukkan.

Ia sering itikaf di Masjid. Belum tentu, saya melakukan itikaf di Masjid. Ia sering berdzikir menunggu waktu sholat tiba. Saya “biasa” datang Masjid, tanpa berdzikir terlebih dahulu, karena datang pas waktu sholat tiba.

Syukur, saya sebagai hamba Allah SWT diberi kenikmatan dalam keadaan sehat. Namun, kesehatan itu, apakah sudah saya dan Anda digunakan untuk itikaf, sholat sunah, rajin pergi ke Masjid untuk sholat berjamaah, dan kegiatan Masjid lainnya? Bisa jadi, jarang dilakukan, padahal fisik sehat dan semua organ berfungsi. Mata saya dan Anda, digunakan untuk apa? Jalan kaki, saya dan Anda diarahkan kemana? Dan, hati saya dan Anda tertuju kepada, siapa?

Terima kasih mbah Darman, telah mengajarkan dan mempraktekkan apa yang baik untuk saya. Sampai bertemu dan sholat gerhana lagi dan sholat Rowatib berjamaah. Semoga, mbah Darman panjang umur, sehingga saya bisa selalu belajar dengan Mbah Darman di Masjid. Amin.

Yuk, syukuri setiap dari tubuh kita yang sudah berfungsi dengan baik dengan rajin beribadah. Hitung, berapa kali sudah pergi ke Masjid semenjak new normal? Berapa kali sudah itikaf di Masjid? Dan, berapa kali meng-adzan-i Masjid? Dan, berapa kali tidak mengeluh karena fungsi tubuh yang tidak berfungsi? []

Semarang, 4 Juni 2020
Ditulis di Rumah, jam 03.30 – 04.00 WIB.

Tulisan ini atas seizin Mbah Darman.