Archive for the Category ◊ Uncategorized ◊

• Friday, May 01st, 2020

Perubahan Perencanaan Kebijakan
Oleh Agung Kuswantoro

Membaca slide materi dari Prof. Agus Hermanto dan buku ajar yang diberikan oleh Prof. Fakhrudin tentang kebijakan publik dibidang pendidikan dan konsep perencanaan pendidikan, menjadikan saya bertanya mengenai perubahan rencana yang telah ditentukan. Sehingga, berdampak pada sebuah kebijakan yang berubah.

Misal, pada saat ini, tidak ada Ujian Nasional. Awalnya Ujian Nasional sudah ditetapkan pada bulan April 2020. Namun, dengan wabah Covid-19 menjadikan kebijakan pun berubah.

Lalu, bagaimana “aktor” kebijakan publik itu bekerja? Aktor yang dominan dalam hal ini adalah pemerintah. Pemerintah (baca: Presiden) mengambil “aktor utama” dalam penentuan rencana kebijakan. Kemudian, didukung oleh “aktor” lainnya yaitu DPR. Baru setelah itu, ada pengajuan RUU/pengajuan perubahan atas sebuah kebijakan. Lalu, muncullah sebuah tindakan. Dimana, harus ada sidang komisi/gabungan komisi terkait perubahan kebijakan tersebut.

Selama proses pembuatan kebijakan meliputi empat tahapan yaitu (1) analisis kebijakan; (2) pengetahuan kebijakan, (3) implementasi kebijakan, dan (4) evaluasi kebijakan.

Dalam keadaan seperti ini, siapakah yang berwenang menetapkan suatu kebijakan pelaksana (baca: kebijakan pada lingkup daerah)? jawabnya, adalah Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Sehingga, di Jakarta, Tegal, Kota Surabaya, ada pemberlakuan PSBB (Pemberlakuan Sosial Berskala Besar) dengan tujuan mencegah penyebaran korona yang semakin luas di Indonesia. Itulah “aktor” yang nyata dalam kebijakan pelaksana.

Namun, yang sangat lebih penting lagi adalah dampak perubahan rencana akan mengakibatkan pada perubahan anggaran pula. Pos-pos anggaran akan bergeser pada penanganan kebijakan baru yaitu wabah Covid-19. Dan, dampak ekonominya.

Oleh karenanya, pasti akan ada “kebijakan-kebijakan” yang bersifat tidak sesuai dengan perencanaan. Beberapa kebijakan alternatif akan muncul, seperti mengaktifkan Asrama Haji Manyaran, Semarang akan menjadi Rumah Sakit Khusus Korona.
Atau, tes perguruan tinggi dimana nilai UN, tidak menjadi dasar satu-satunya untuk menjaringan seleksi mahasiwa baru. Dan, kebijakan-kebijakan alternatif lainnya dibidang pendidikan.

“Aktor-aktor” tersebut harus “lincah” dalam menghadapi perubahan tersebut. Karena, keadaan darurat, maka kebijakan juga akan darurat. Yuk, dukung “aktor-aktor” tersebut dalam membuat kebijakan yang berubah, karena keadaan. Adanya perubahan atas rencana yang telah dilakukan adalah sebuah keharusan yang harus dipilih, demi kebaikan rakyat Indonesia ini. []

  • Semarang, 25 April 2020

    Ditulis Di Rumah jam 21.00 – 21.30 WIB. Setelah Sholat Tarawih.

• Thursday, April 30th, 2020

 

Mutu Pendidikan
Oleh Agung Kuswantoro

Materi yang disampaikan oleh Dr. Suwito Eko Pramono, M.Pd. sangat kental dalam mutu pendidikan. Mutu pendidikan adalah tingkat kesesuaian antara penyelenggaraan pendidikan dengan standar pendidikan tinggi. Mutu dapat dilihat dari standar nasional dikti, ipteks, sikap, dan input.

Dalam implementasi standar mutu di suatu institusi meliputi Standar (S), pelaksanaan/Do/D), evaluasi/Checks (C), dan aksi/eksekusi/action (A). Disingkat SDCA. Dimana SDCA, selalu berjalan berkesinambungan.

Adapun siklus standar mutu di institusi meliputi (1) Penyusunan standar perguruan tinggi/P1; (2) Pelaksanaan standar perguruan tinggi/P2; (3) Evaluasi pelaksanaan standar Dikti/E; (4) pengendalian standar pendidikan tinggi/P3; dan (5) Peningkatan standar pendidikan tinggi/P4. Jika digambarkan alurnya adalah P1 ke P2. P2 ke E. E ke P3. P3 ke P4. Dan, P4 ke P1. Artinya mutu itu terus-menerus. Tidak berhenti. Muter.

Jika langkah ke-5 siklus tersebut terlalu banyak, maka dapat diringkas menjadi 3 yaitu P1, P2, dan E. P1 ke P2. P2 ke E. E ke P1 ke P2. Lalu P2 ke P1 muter. Artinya, terus berputar proses tersebut.

Jika kita perhatikan, ternyata ada perbedaan antara evaluasi dengan pengendalian. Jadi, rencana/susunan yang telah dibuat itu, dievaluasi terlebih dahulu. Baru, setelah itu dikendalikan agar sesuai dengan sesuai evaluasi yang telah dilakukan.

Materi yang disampaikan oleh Dr. Suwito menjadikan saya lebih memahami siklus dalam menerapkan standar mutu di suatu lembaga. Sangat penting bagi saya, agar bisa menerapkan mutu dalam kegiatan yang saya lakukan.

Misal, standar seorang arsiparis dalam menyelesaikan pekerjaan mengolah arsip statis, dinamis, dan menyajikan informasi kearsipan dalam waktu yang telah ditentukan. Demikian juga Anda, semoga dapat mempraktikkan siklus mutu ini di lembaga Anda bekerja, agar terukur dan kepuasan “pelanggan” terpenuni. []

Semarang, 25 April 2020
Ditulis di Rumah jam 03.00 – 03.30 WIB. Sahur.

• Thursday, April 30th, 2020

 

Judul : Metode Penelitian Pendidikan Disiapkan Untuk Kalangan Mahasiswa S1/S2/S3 Semua Jurusan Pendidikan
Penulis : Prof. Dr. Sukestiyarno, YL. MS. Ph.D
Hal : vi + 382 halaman
Tahun : 2020
ISBN : 978 – 602 – 285 – 230 – 8
Penerbit : UNNES Press

Runtut Penyajiannya
Oleh Agung Kuswantoro

Bicara tentang statistika, maka tidak lepas dari metode penelitian. Dasar statistika adalah metodologi penelitian. Data diperoleh, setelah penelitian. Dan, penelitian dikerjakan setelah membuat dan melakukan metodologi penelitian.

Dalam metodologi penelitian itu, harus benar dulu. Jangan sampai metodenya salah, maka dampaknya penelitian dan datanya pun salah.

Misal, ada instrumen dari sebuah item pertanyaan yang berbunyi: Apakah Anda dapat mengoperasikan komputer? Maka, jangan diberi pilihan jawaban sangat setuju, setuju, cukup setuju, dan tidak setuju.

Seharusnya, pertanyaan tersebut, jawabannya adalah dapat dan tidak dapat. Pertanyannya saja, salah. Maka, jawabannya juga akan salah. Itulah pentingnya, metodologi penelitian.

Lalu, apa yang membedakan buku ini, dengan buku lainnya? Runtut dan terstruktur, penyajiannya. Penuh dengan filosofi keilmuan. Filsafat ilmunya dapat, sehingga “epistimologi” akan sebuah ilmu dalam buku ini, sangat “kental”. Cara mendapatkan datanya yang objektif, valid, dan reliabel sangat jelas dalam keterangan buku ini.

Struktur yang dibangun oleh Prof. Sukestiyarno adalah membangun wawasan penelitian pendidikan terlebih dahulu. Dimana, menerangkan konsep penelitian kualitatif, kuantitatif, dan campuran. Lalu, strategi penelitiannya, dan penelitian yang relevan dalam dunia pendidikan.

Setelah itu, Prof. Sukestiyarno menyampaikan dasar-dasar penelitian pendidikan; struktur sasaran, strategi penelitian pendidikan; rancangan penelitian pendidikan; kajian teori/penelaahan pustaka, merancang metodologi pendidikan (kualitatif, kuantitatif, dan campuran).

Kemudian dalam penyajiannya, tiap bab disusun dengan “apik” menampilkan pendahuluan, materi-materi yang akan disampaikan, latihan soal, rangkuman, tes formatif, kunci jawaban tes formatif, dan daftar pustaka.

Sehingga, salah satu kelebihan buku ini adalah “suguhan” buku menarik. Ibarat makan, orang ketika makan dimulai dan hal yang sederhana, kemudian ke tingkat kompleks dalam rasa dan penyajiannya. Namun, dasarnya tetap harus ada. Nah, kurang lebih seperti itu, gaya yang disampaikan oleh Prof. Sukestiyarno.

Tidak mungkin membahas penelitian campuran di bab awal. Namun, Prof. Sukestiyarno menampilkan bab tersebut di bab akhir. Sesuai dengan perkembangan dan trend penelitian saat ini.

Buku ini sangat cocok bagi orang yang sedang menyusun skripsi, tesis, dan disertasi. Syukur, saat membaca buku ini, sudah membuat rincian proposal penelitiannya. Sehingga akan mengetahui “keinsyafan” atas kesalahan “dosa” dalam pembuatan proposal penelitiannya. Jadi, buku ini sebagai solusi atas ketidaktepatan dalam menyusun sebuah karya ilmiah (proposal penelitian).

Bacalah yang runtut buku ini. Ikuti petunjuknya. Jangan sampai lompat-lompat bab yang diinginkan. Karena, struktur dan penyajian buku ini sudah sesuai dengan kaidah keilmuan. Semoga, Anda tidak salah dalam membuat metodologi penelitian. Sehingga, Anda tidak salah dalam mengambil data dan datanya tidak keliru/salah. []

Semarang, 25 April 2020
Ditulis Di Rumah jam 20.00 – 20.45 WIB. Setelah Tarawih.

• Saturday, February 15th, 2020

Kumpul dengan Orang Sholeh
Oleh Agung Kuswantoro

Berdasarkan buku yang saya baca berjudul “Nalar Kritis Pendidikan” karya Arfan Muammar (2019), ada bab dimana menekankan seseorang perlu bergaul dengan orang baik.

Misal, hewan yang bernama anjing. Anjing identik dengan najis mugholadoh/najis berat. Namun, ada anjing yang bernama Qitmir. Karena berkumpul dengan sahabat Kahfi/Ashabul kahfi, Qitmir/anjing tersebut menjadi ikut “kecipratan” baik.

Sesuatu yang melekat pada dirinya, berupa keburukan (baca: najis) menjadi hilang karena berkumpul dengan orang baik/sholeh. “Seanjing-anjingnya” hewan anjing, akan menjadi baik jika berkumpul dengan orang sholeh. Seburuk-buruk sifat manusia, akan memiliki sifat baik, jika berkumpul dengan orang baik. []

Semarang, 11 Februari 2020

• Thursday, March 28th, 2019

 

ZIARAH
Oleh Agung Kuswantoro

“Berlomba saling memperbanyak telah melengahkan kamu, kamu menziarahi kubur-kubur/ sampai-sampai kamu menziarahi kubur-kubur leluhur kamu” (QS. At-Takatsur [102]: 12).

Alhamdulillah, atas izin Allah kita dalam keadaan sehat walafiat, sehingga dapat melaksanakan ibadah di hari Jumat ini. Tepat, besok kita akan menyelenggarakan puncak Dies ke-54 UNNES di Auditorium, kampus Sekaran.

Sekadar mengenang, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 271 tahun 1965 bahwa mengesahkan pendirian Institut Negara di Semarang sebagaimana Keputusan Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan Nomor 40 tahun 1965 tanggal 8 Maret 1965.
Institut tersebut bernama IKIP Semarang. Institut tersebut terdiri dari Fakultas Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan Sastra Seni, dan Fakultas Keguruan Ilmu Eksakta. Surat Keputusan Presiden tersebut, mulai berlaku pada hari ditetapkan dan mempunyai daya surut sampai tanggal 30 Maret 1965. Sehingga, tiap 30 Maret itulah Dies UNNES kita selenggarakan.

Ada budaya yang sangat baik di lingkungan kita saat Dies, yaitu ziarah kubur. Pimpinan dan para pejabat lembaga berziarah ke makam leluhur, seperti Almarhum Bapak Mochtar (Ketua Presidium IKIP Semarang 1965-1966), Almarhum Mayjen Moenadi (Ketua Presidium IKIP Semarang 1966-1967), Almarhum Prof Drs Wuryanto (Rektor IKIP Semarang 1967-1977), Almarhum Drs Hari Mulyono (Rektor IKIP Semarang 1977-1986), dan Almarhum Prof Dr Retmono (Rektor IKIP Semarang 1986-1994). Selain itu, pimpinan kita berziarah ke makam leluhur yang memiliki jasa dalam membesarkan nama UNNES.

Lalu, muncul pertanyaan yaitu “Apa itu ziarah kubur?” Kata ziarah berasal dari bahasa Arab, yang memiliki arti kunjungan singkat. Ziarah kubur mengisyaratkan kunjungan ke tempat pemakaman, tetapi tidak berlama-lama.

“Mengapa berkunjungnya singkat?” Dahulu pada masa Jahiliyah, masyarakat Mekkah dan sekitarnya sering kali berkunjung ke kubur, antara lain untuk membangga-banggakan leluhur mereka dan membanding-bandingkannya dengan leluhur mereka sekaligus berdoa kepada leluhur yang telah dikubur itu.

Alqur’an mengecam mereka, sebagaimana ayat di atas “Berlomba saling memperbanyak telah melengahkan kamu, kamu menziarahi kubur-kubur/atau sampai-sampai kamu menziarahi kubur-kubur leluhur kamu (QS. At-Takatsur [102]: 12).

Akibat sikap mereka yang buruk itu, Rasulullah melarang untuk menziarahi kubur, tetapi setelah berlalu sekian lama dan setelah sahabat-sahabat Rasul itu menyadari keburukan tradisi Jahiliyah, maka beliau mengizinkan, bahkan beliau sendiri berziarah ke kubur. Dalam konteks itu, Nabi Muhammad SAW mengatakan “Aku tadinya melarang kalian menziarahi kubur, tapi kini silakan ziarahilah. (HR. at-Tirmidzy).

Nabi Muhammad SAW menganjurkan itu, agar peziarah mengingat kematian, mengingat bahwa makhluk diciptakan untuk punah, bukan untuk kekal hidup di dunia. Lalu, penziarah agar merenungkan apa yang telah dilakukan oleh yang telah wafat itu. Apabila almarhum memiliki amal baik baik, agar kita meneladani dan mendoakan. Apabila almarhum memiliki amal buruk, agar kita dapat mengambil hikmah atas kejadian yang dialamainya.

Kita dianjurkan berziarah, karena tidak sedikit orang yang lengah, seakan-akan kematian hanya dialami orang lain, bukan kita. Sebagaimana ayat berikut “Apakah jika engkau wafat, wahai Nabi Muhammad, mereka yang kekal? Begitu kecaman Allah kepada yang lengah (QS. al-Anbiya’ [21]: 34).

Yang wafat/meninggal dunia pada hakikatnya benar-benar telah meninggalkan dunia, walau badannya berada di liang kubur, karena substansi manusia adalah ruhnya. Sedangkan, badannya hanya tempat/wadah. Lalu, ruh digunakan untuk mencapai tujuannya.

Ibaratnya, petani bukan cangkulnya. Penulis, bukan penanya. Ruh yang telah meninggalkan badan. Sekarang, ruh di satu alam yang bukan alam duniawi. Bukan juga, alam ukhrawi.

Ruh berada di Alam Barzah. Alam Barzah sebagai alam pemisah antara dunia untuk kemudian, jika kiamat tiba, semua digiring ke Padang Mahsyar untuk mempertanggungjawabkan kegiatannya masing-masing selama berada di dunia.

Tanah yang menampung jazad/fisik, bukan untuk kepentingan yang wafat. Tetapi untuk orang yang masih hidup, agar mereka terhindar dari aroma jazad yang membusuk dan menjadi renungan bagi orang yang masih hidup. Serta, menjadi simbol tempat pertemuan oleh yang berada di dunia.

Melapangkan kubur, bukanlah memperluas dan memperindah makam. Karena itu, tidak ada gunanya buat yang wafat. Istana yang luas dan indah menjadi sempit, jika jiwa tak tenang hatinya. Sebaliknya, gubuk yang sempit, terasa lapang bagi yang hatinya tenang.

Berdoalah agar Allah melapangkan kubur seseorang. Memohon agar yang wafat memperoleh ketengangan dan kelapangan di tempat yang kini ia berada, yakni di Alam Barzah.

Area kuburan digunakan oleh yang hidup untuk berziarah (berkunjung sejenak), sebagaimana makna harfiah ziarah. Karena itu, yang penting adalah memberi tanda pengenal tentang siapa yang dimakamkan di sana dan tidak perlu mewah, cukup jika bersih dan tidak menyulitkan atau membebani peziarah.

Sekali lagi, ziarah kubur dianjurkan kapan saja, sebelum atau sesudah Ramadhan, pada Hari Raya atau hari biasa, malam atau siang hari.

Ada yang lebih penting dari ziarah kubur, yaitu ziarah pemikiran atas orang yang telah wafat. Levelnya lebih tinggi dari ziarah kubur. Orang yang berziarah akan belajar melalui pikiran-pikiran Almarhum. “Melalui apa?”. Karya! Karya dari Almarhum. Mari, kita tingkatkan ilmu dan iman kita, agar orang tak sekadar ziarah secara fisik di kuburan, namun juga dapat berziarah atas pemikiran kita kelak.

Dari penjelasan di atas, ada beberapa simpulan
1. Besok adalah dies natalis UNNES yang ke-54, mari kita bersyukur dengan menghadiri acara dies di Auditorium UNNES. Berdoa agar UNNES selalu diberi keberkahan dan kesalamatan.

2. Pertahankan budaya ziarah kubur kepada leluhur di lembaga ini. Karena, beliaulah, lembaga ini bisa berkembang hingga sekarang. Doakan selalu agar ia selalu dalam lindungan Allah.

3. Tingkatkan iman dan ilmu, agar kelak saat kita meninggal dunia tidak cukup diziarahi kubur (ziarah fisik), namun juga diziarahi pemikiran atas ide/gagasan yang pernah kita perbuat untuk sesama. Sehingga, pikiran/ide tersebut masih digunakan walaupun ia sudah wafat. Caranya dengan cara berkarya, menulis, atau pun perbuatan positif lainnya. Waallahu ‘alam.

Semarang, 22 Rojab 1440

• Saturday, January 19th, 2019

Keluarga
Oleh Agung Kuswantoro

“Harta yang paling berharga adalah keluarga”. Itulah lirik sebuah lagu dari “Keluarga Cemara”.

Cerita keluarga yang menarik hati saya untuk mempelajarinya adalah keluarga Imron. Sebagaimana, nama surat dalam Alquran. Yaitu, Ali Imron.

Pak Imron memiliki anak yang sholihah bernama Maryam. Maryam, orangnya sangat suci dari maksiat. Apalagi, perbuatan zina. Bahkan, ia dituduh melakukan perzinaan karena ia telah mengandung/hamil.

Bayi yang dikandungnya bernama Isa. Isa ternyata menjadi seorang Nabi. Padahal, silsilah keluarga Pak Imron begitu sederhana. Namun, bisa menghasilkan anak yang sholihah yaitu Maryam. Kemudian, Maryam memiliki anak sholih bernama Isa. Isa lahir tanpa sosok ayah. Itu pula atas izin dan kekuasan Allah.

Sebaliknya, Kan’an anak seorang Nabi Nuh. Namun, karena tidak taat kepada Allah. Ia memilih tidak naik perahu. Ia ‘meninggal dunia’ dalam keadaan tidak beriman. Padahal, bapaknya seorang Nabi.

Itulah keluarga. Semua Allah sebagai “sutradaranya”. Tidak jaminan, orang tua itu hebat, ‘menghasilkan’ anak hebat. Sedangkan, orang biasa ‘menghasilkan’ anak biasa.

Rembang, 19 Januari 2019

• Thursday, January 17th, 2019

Mas Sri Rustanto, Selamat Berpulang
Oleh Agung Kuswantoro

Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Kalimat itulah yang saya ucapkan, saat saya mendengar berita duka atas wafat dia. Ia telah pulang. Saya mengenal dekat, ketika saya mendapat tugas tambahan di UPT Kearsipan UNNES sebagai koordinator sistem dan layanan kearsipan.

Pertama kali bertemu saya ke kantor UPT TIK untuk berkonsultasi terkait website UPT Kearsipan yang terkena virus. Kemudian, kita sering bertemu di parkiran Masjid Graha Wiyata Patemon. Hampir tiap pagi, ia mengantarkan anaknya berangkat sekolah. Ia mengatarkannya dengan mobil BMW milikinya. Anak satu-satu yang berjenis kelamin perempuan selalu ia gandeng dari parkiran Masjid hingga ke Sekolah.

Beberapa hari yang lalu, saya bertemu kepadanya di kantornya. Waktu itu, saya ingin berkonsultasi terkait password blog UPT kearsipan.

Sewaktu saya bertemu di parkiran Masjid Graha Wiyata Patemon, ia sempat menyamperi saya. Ia mengajak ‘salaman’. Ia mengatakan kepada saya , “Pak, ngantar anak”? saya menjawab, “iya”.

Ia sangat respek atas seseorang yang bertanya kepadanya. Ia sangat mudah dalam bergaul dan berkomunikasi. Sehingga, orang tak canggung untuk berteman kepadanya.

Sekarang, ia telah tiada. Mulai besok, saya tak bertemu dia di parkiran Masjid. Hanya doa yang selalu saya panjatkan di setiap tempat kita bertemu. Saya pasti tidak lupa dengan kenangan terakhir itu. Panjenengan mengajak saya bersalaman (baca:berdoa), saya pun akan selalu berdoa untukmu.

Tidak menyangka, ternyata Allah begitu cepat memanggilmu untuk pulang ke pangkuanNya. Insya Allah, ini cara Allah menunjukkan cinta kepadamu. Selamat jalan, kawan. Insya Allah, kau tenang di sana. Amin.

Semarang, 17 Januari 2019

• Tuesday, January 15th, 2019

Pindah (2): Suparjo Ke Lampung
Oleh Agung Kuswantoro

Pembicaraan kita kemarin mengenai “pindah”, berasal dari pikiran. Jadi, kalau mau berubah (baca:pindah) berawal dari pikiran dulu. Bukan, berawal pada tindakan. Jika berawal dari tindakan, maka yang ada hanya perintah atau menyuruh. Pendewasaan itulah awal dari “pindah”. Karena, ia sudah merenungkan akan kehidupannya.

Saya memiliki sahabat, yang kemarin baru keterima PNS. Ia bernama Suparjo. Ia melakukan “pindah” setelah berpikir dalam kehidupannya. Ia mau apa? Usianya masih muda. Alhamdulillah sudah menikah. Istrinya, orang Semarang, sedangkan ia berasal dari Lampung.

Ia sudah melakukan perpindahan, mulai dari kuliah di UNNES, hingga menikah. Saat “pindah”, pastinya ia kesusahan. Menikah saja, istrinya malahan berada di Wonogiri. Sedangkan, ia berada di Semarang. Sehingga, walaupun sudah menikah, kehidupannya terpisah.

Lalu, keduanya memutuskan untuk bersatu dalam kehidupannya. Istrinya memutuskan ke Semarang. Ia akan mencari pekerjaan di Semarang. Ia memilih menemani suami di Semarang, dibanding di Wonogiri. Segala persiapan perpindahan pun, dilakukan. Ada pindah barang dari kontrakan Wonogiri ke Semarang. Suparjo juga memindahkan barang-barangnya ke kontrakan baru di Semarang.

Semua serba ngontrak. Karena, mereka ingin hidup mandiri. Susah, pastinya mereka jalani. Saya melihat betul, saat mereka boyongan. Cukup modal motor metik mereka bolak-balik ambil barang. Terakhir, mereka pindah ke Lampung. Suparjo keterima PNS di Lampung. Ia “pindah” sendiri ke Lampung untuk pemberkasan PNS. Kalau pindah fisik dan barangnya, ia menggunakan motor metik. Pergi dari Semarang ke Lampung memakai motor metik dengan penuh bawaannya.

Rekoso? Ya, jelaslah. Barangnya full semotor. Belum, lagi kalau mau ngisi pertamax/pertalite, ia harus bongkar pasang. “Saya menanyakan kabar dia, sudah sampai ke Lampung?” Ia menjawabnya, “sudah”. Kemudian, menceritakan bahwa ia sempat bongkar pasang barangnya hingga tiga kali. Perjuangan sekali ya. Padahal, ia keterima PNS. Proses pindahnya sebegitunya.

Maknanya, “pindah” itu bukan hanya fisiknya, tetapi pikiran dan semangatnya. Fisik dan pikiran sehat, belum tentu ia mau “pindah”. Karena, “pindah” membutuhkan semangat yang kuat. Dalam proses “pindah”, pasti ada kesusahan. Ia akan menjalani kesusahannya. Sabar, kuncinya. Dan, tetap berdoa kepada Allah.

Jadi, “pindah” itu bukanlah hal mudah. Namun, jika tidak “pindah”, maka hidupnya ajeg/tetap. Hanya di situ saja. Tidak ada perubahan. Sama halnya, kita/lembaga dibutuhkan “pindah”. Minimal, “pindah” pikiran saja dulu. Fisiknya nanti. Sehingga, dibutuhkan orang yang mau berpikir dalam (sebelum) bertindak. Insya Allah, jika kita “pindah”, kita akan menjadi lebih baik.

Bersambung

Semarang, 14 Januari 2019

• Saturday, December 29th, 2018

Dari Masalah Menjadi Makalah

Oleh: Agung Kuswantoro

Hal yang keliru/kurang tepat dilakukan oleh mahasiswa dalam pengajuan tema/topik skripsi adalah penentuan topiknya. Kebanyakan topik mereka/mahasiswa adalah kinerja/kepuasan, pelayanan, kepemimpinan, dan prestasi belajar.

Mengapa, mereka memunculkan itu? Karena, mereka berangkatnya dari membaca skripsi di perpustakaan. Apakah salah? Tidak.

Cobalah, “berangkat” dari masalah. Bukan, dari Perpustakaan. Permasalahan itu banyak. Sehingga, kata kuncinya adalah diamati. Cara pengamatan terbaik adalah membaca. Membaca buku/jurnal/koran. Bukan, membaca skripsi. Jika kita membaca skripsi, maka pikiran kita akan “terkotak” dari apa yang telah dibaca.

Saya sepakat dengan pendapat, Prof. Dr. Eng. Khoirurrijal – ketua LPPM ITB – yang berpendapat bahwa “masalah adalah awal sebuah makalah. Masalah dahulu, setelah itu riset/diteliti. Setelah diteliti/riset, lalu ditulis menjadi naskah. Baru setelah masalah, jadilah makalah. Makalah itulah skripsi.

Jadi, berangkatnya makalah (baca: skripsi) dari masalah. Bukan dari hasil membaca di Perpustakaan.

Semarang, 27 Desember 2018

Sumber:

Khoirurrijal. 2018. Strategi Membangun  Naskah Ilmiah untu Publikasi di Jurnal Internasional Bereputasi. Materi disampaikan di LPPM UNNES tanggal 1 September 2018

• Saturday, December 29th, 2018

Dari Masalah Menjadi Makalah
Oleh: Agung Kuswantoro

Hal yang keliru/kurang tepat dilakukan oleh mahasiswa dalam pengajuan tema/topik skripsi adalah penentuan topiknya. Kebanyakan topik mereka/mahasiswa adalah kinerja/kepuasan, pelayanan, kepemimpinan, dan prestasi belajar.

Mengapa, mereka memunculkan itu? Karena, mereka berangkatnya dari membaca skripsi di perpustakaan. Apakah salah? Tidak.

Cobalah, “berangkat” dari masalah. Bukan, dari Perpustakaan. Permasalahan itu banyak. Sehingga, kata kuncinya adalah diamati. Cara pengamatan terbaik adalah membaca. Membaca buku/jurnal/koran. Bukan, membaca skripsi. Jika kita membaca skripsi, maka pikiran kita akan “terkotak” dari apa yang telah dibaca.

Saya sepakat dengan pendapat, Prof. Dr. Eng. Khoirurrijal – ketua LPPM ITB – yang berpendapat bahwa “masalah adalah awal sebuah makalah. Masalah dahulu, setelah itu riset/diteliti. Setelah diteliti/riset, lalu ditulis menjadi naskah. Baru setelah masalah, jadilah makalah. Makalah itulah skripsi”.

Jadi, berangkatnya makalah (baca: skripsi) dari masalah. Bukan dari hasil membaca di Perpustakaan.

Semarang, 27 Desember 2018

Sumber:
Khoirurrijal. 2018. Strategi Membangun Naskah Ilmiah untu Publikasi di Jurnal Internasional Bereputasi. Materi disampaikan di LPPM UNNES tanggal 1 September 2018