• Friday, October 08th, 2021

Menata Diri (1): Niat Baik
Oleh Agung Kuswantoro

“Sesungguhnya nilai amal itu ditentukan oleh niat dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Niat ada dalam hati. Niat terbaik adalah yang ditujukan kepada Allah Swt. Itulah yang membedakan perbuatan manusia (human creations) dan perbuatan hewan (animal creations).

Perbuatan binatang, tanpa melibatkan niat. Sedangkan, perbuatan manusia melibatkan niat. Niat “spiritualitas” inilah yang harus dicari oleh seorang mukmin. Ciri perbuatan yang ada niatnya adalah perencanaan yang matang. Karena niat adalah sifat hati/kalbu. Sifat hati lebih kuat dari perbuatan. Sejatinya perbuatan membersihkan hati agar mengenal Allah Swt.

Niat adalah konsep matang dan penuh kesadaran dalam diri mengenai perbuatan yang akan dilakukan. Berarti dalam niat ada perencanaan/programming yang baik. Pakar ilmu menajemen mengatakan suatu pekerjaan tanpa perencanaan yang baik (baca: niat), maka sulit untuk mendapatkan output dan outcome terbaik.

Sebagai penutup saya mengutip tulisan Prof. KH. Nasaruddin Umar (2021, hal. 5) yaitu: mengilustrasikan/mencontohkan perbuatan hubungan suami istri yang tidak melibatkan niat dan spiritualitas, melainkan hanya nafsu semata, maka sesungguhnya yang berhubungan suami istri itu adalah binatang (animal sexuality/seksualitas hewan). Akibatnya pun bisa ditebak bahwa yang lahir dari perbuatan itu adalah “anak binatang”. Jangan selalu menyalahkan anak-anak remaja sekarang diwarnai dengan tawuran dan perkelahian karena mereka/remaja itu adalah produk animal working/pekerjaan hewan. Apapun produk animal working/pekerjaan hewan akan berpotensi merugikan orang lain. Sungguh hewan yang bekerja (baca: suami istri tersebut) menguntungkan diri sendiri.

Marilah “luruskan niat” baik kita. Sekali lagi harus lurus dan benar. Jangan sampai “perbuatan hewan” ada dalam diri kita. Karena kita memiliki niat spiritual yang kuat. Dimana, Allah Swt adalah tujuan kita untuk bersandar. []

Semarang, 5 OKtober 2021
Ditulis di Rumah jam 04.30 – 05.00 WIB.

Sumber rujukan: Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar. 2021. Menjalani Hidup Salikin. Jakarta: penerbit Gramedia PT Widiasarana Indonesia.

• Friday, October 08th, 2021

Menata Diri (2) Membangun Visi Ukhrawi
Oleh Agung Kuswantoro

“Dan sesungguhnya kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (QS. al-‘Arof : 179).

Berdasarkan kalimat di atas kalimat lahum qulubuhum layafqahuna biha (mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami) para ulama bersepakat, bahwa tempat dan pemahamannya adalah kalbu/hati, bukan di otak.

Ketika kalbu manusia “mati”, maka secara langsung perbuatan manusia tidak berakhlak mulia. Ia/manusia tidak memahami kemampuan/kekuasaan Allah. Ia pandai, tapi tak “bernilai”. Ia hebat, tapi “rusak” hatinya. Ia seperti hewan ternak.

Hewan ternak memiliki lima indera, bahkan mampu menggunakan akalnya. Saat, kepanasan, hewan ternak berteduh. Saat lapar, hewan ternak mencari makan. Hewan ternak tidak memiliki kalbu. Oleh karenanya, manusia yang tidak mampu menggunakan hati itu, seperti hewan ternak.

Sebagai orang mukmin agar hidup terarah, harus memiliki road map/”peta jalan” kehidupan yang jelas. Ia/mukmin mau hidup jangka panjang yaitu akhirat, sebagai “terminalnya”. Bukan hidup yang berjangka pendek, dengan dunia sebagai tujuannya.

Lalu, bagaimana caranya? Buatlah visi batin dalam diri Anda. Visi batin adalah tempat menampilkan pelayanan sepenuhnya sebagai hamba dan pemimpin. Visi batin jangkanya sangat panjang, tidak hanya kematian. Visi batin akan terus hidup dan memberi fokus bagi seluruh proses (Nasaruddin Umar, hal. 9).

Sebagai penutup, kita adalah orang yang luar biasa. Kita mampu membuat sesuatu yang fantastik dan mampu menghancurkan “hambatan” yang mustahil. Namun, gunakanlah visi batin kita yaitu: kekuatan kalbu untuk mencapai tujuan hidup yang panjang.

Bervisilah ukhrawi, jangan bervisi duniawi. Jika kita bervisi duniawi saja, maka kita sama seperti hewan ternak. Ciri khas orang yang bervisi ukhrawi adalah mampu mengelola kalbu/hatinya dengan baik. Ingat, ilmu itu harus bersumber kepada Allah SWT. Waallahu ‘alam []

Bersambung
Semarang, 7 Oktober 2021
Ditulis di Rumah jam 04.15 – 04.30 WIB.

• Wednesday, September 01st, 2021

Iman dan Ilmu

Oleh Agung Kuswantoro

 

“Dan mereka berkata‘ sekiranya kamu mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.”(QS. al-Mulk 67:10).

 

Alhamdulillah atas izin Allah SWT, kondisi pandemi  Covid-19 ini sudah berangsur membaik, ditandai dengan: PPKM sudah mulai longgar; banyak daerah di Indonesia yang semula level 4, sekarang menjadi level 3 dan level 2; masjid yang semula belum diizinkan untuk menyelenggarakan sholat jamaah, sekarang diperbolehkan untuk menyelenggarakan sholat berjamaah; Pembelajaran Tatap Muka/PTM, mulai digelar; mall sudah mulai dibuka, dan Perguruan Tinggi pun bersiap untuk melaksanakan pembelajaran secara luring. Pastinya, kondisi tersebut dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat.

 

Ada pertanyaan besar yang selalu ditujukan kepada orang Islam yaitu: ”Bagaimana sikap atau apa yang harus dilakukan oleh umat Islam dalam kondisi serta tak pasti di saat pandemi Covid-19 ini?

 

Para pakar menyatakan: “Umat Islam harus menggunakan ilmu dan iman”. Seorang beragama Islam  harus kuat pendirian berdasarkan ilmu dan iman. Ilmu harus dicari dengan sungguh-sungguh untuk mengetahui sebuah kebenaran. Dalam mencari sebuah kebenaran haru dilakukan metode yang tepat.

 

Sedangkan, iman harus diperkuat dengan memperbanyak ibadah dan pendekatan diri yang “intim” kepada Allah. Tujuannya agar kuat keyakinan hatinya.

 

Contoh sederhana dari praktik iman dan ilmu dalam kehidupan sehari-hari, yaitu orang berjualan gorengan. Penjual itu harus berdasarkan ilmu dan iman, seperti: cara menggoreng yang benar, pasti ada ilmunya; cara memilih bahan yang akan digoreng, pasti ada ilmunya; dan cara memberi bumbu pada bahan tersebut, pasti juga ada ilmunya. Itulah ilmu melekat pada beberapa komponen menggoreng.

 

Untuk masalah laku atau tidaknya; ada yang beli atau tidaknya, imanlah yang berperan. Iman akan mengarahkan kepada kesabaran, nrimo, lapang dada, ikhlas saat tidak ada yang beli, syukur ada yang beli, tidak ngersulo, tidak menyalahkan Allah, dan tidak mengumpat Allah yang memberikan rizki dengan kalimat negatif. Itulah iman yang melekat seorang dalam berjualan gorengan.

 

Muslim (baca:orang yang beragama Islam) harus menggunakan ilmu, sebagai ikhtiar/usaha. Orang berilmu, pasti akan menyatakan pandemi Covid-19 itu ada. Karena ia merujuk pada dokter atau organisasi yang valid/benar. Sehingga, ia pun mengikuti anjuran yang disampaikan oleh ahli/pakar/lembaga resmi dibidang kesehatan tersebut.

 

Masalah; ia akan terkena pandemi Covid-19 atau tidak, itu urusan Allah. Bukan urusan, manusia. Manusia melalui ilmu kedokteran akan mengatakan: jaga jarak, hindari kerumunan, dan rajin mencuci tangan, sebagai ihktiar terhadap suatu permasalahan pandemi tersebut.

 

Dengan cerita di atas, lalu, muncul sebuah pertanyaan lanjutan: Siapakah yang wajib didengar dan dilakukan atas anjuran dalam menerima keadaan Covid-19  ini dalam beribadah?

 

Pada ahli menyatakan: Majlis Ulama Indonesia/MUI. MUI adalah sebuah Majlis/kumpulan. Bukan, perseorangan/ustad/kiai/tokoh masyarakat. Dalam MUI – Majlis tersebut – terdapat ahli fikih, tafsir, al-Qur’an, hadist, tasawuf, dan ilmu-ilmu lain yang membahas akan kemasalahatan dan ibadah saat keadaaan Covid-19.

 

Misalnya, MUI memutuskan sholat Id itu di rumah saat pandemi di zona merah, tikar/karpet digulung, shaf/barisan sholat diberi jarak, pengurus masjid menyediakan alat pengecek suhu badan, dan perangkat cuci tangan atau hand sanitizer.

 

Sebagai orang berilmu, pendapat MUI harus ditaati. Bukan, dibantah dan diperdebatkan. Puncak dari orang yang berilmu adalah muncul kesadaran atau dirinya  yang masih bodoh, sehingga perlu belajar lagi.

 

Demikian pula, puncak dari iman adalah ketenangan batin/hati. Ia yakin akan apa yang telah diambil sikapnya yang berdasarkan ilmu.

 

Mari, kita menjadi orang yang berilmu dan beriman agar bijak dalam menjalani kehidupan. Lalu, pilihlah majlis ilmu – dalam hal ini MUI – sebagai rujukan dalam menentukan sikap, terlebih dalam keadaan pandemi  Covid-19 ini. Waallahu ‘alam.[]

 

Semarang, 26 Agustus 2021

Ditulis di Rumah jam 19.30 – 20.00 WIB. Diedit 1 September 2021.

• Friday, August 20th, 2021

Selalu Bersyukur Pada Masa Pandemi Covid-19
Oleh Agung Kuswantoro

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. al-Baqarah:155-157).

Alhamdulillah atas izin Allah Swt kita masih diberikan kenikmatan untuk beribadah di rumah dan Masjid. Kita masih berkumpul dengan keluarga untuk mengaji dan beribadah bersama keluarga.

Dalam satu pekan ini, kita disibukkan dengan: (1) Perayaan 17 Agustus/Hari Kemerdekaan; (2) Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa baru (PKKMB); dan; (3) Perayaan 10 Muharrom.

Ada beberapa catatan dalam “aktivitas” di atas yaitu: pertama, bersyukur. Bersyukur karena sedang melakukan aktivitas tersebut dengan kondisi badan yang sehat dan lingkungan yang mendukung. Meskipun, dalam masa pandemi Covid-19 ini, kita masih bisa beraktivitas dengan protokol kesehatan yang ketat.

Sikap seorang muslim pada masa pandemi Covid-19 ini adalah menerima keadaan apa adanya. Kita sering mendengar kalimat “disyukuri saja”. Artinya, diterima saja, keadaannya. Maksudnya adalah semakin menerima keadaan, semakin baik dan akan ditambah rizkinya.

Keadaan pandemi Covid-19, bukan harus ditolak/dibuat resah dan susah. Keadaan pandemi Covid-19 ini harus diterima oleh siapapun, baik orang yang beriman dan tidak beriman.

Bentuk syukur orang beriman saat pandemi Covid-19 adalah masih melakukan aktivitas sesuai dengan bidang kepakaran dan pekerjaan kita, seperti: dosen disibukkan dengan tri dharmanya, tenaga kependidikan/tendik disibukkan dengan pekerjaan rutin fungsionalnya, pimpinan (Universitas, Fakultas, Biro, Bagian, dan unit kerja lainnya) disibukkan dengan agenda kegiatan yang harus dicapai.

Artinya: orang yang bersyukur itu masih sibuk dengan diri sendiri, pekerjaan, dan lembaganya. Ia sibuk untuk berinovasi: bagaimana caranya agar pekerjaan/kegiatannya dapat terselesaikan, walaupun masa pandemi Covid-19.

Aturan bakunya saat pandemi Covid-19 adalah dilarang berkerumum, maka muncullah inovasi “daring”. Ada PKKMB daring, rapat melalui zoom meeting, pembelajaran melalui elena, dan pekerjaan kantor yang bersifat “maya/virtual”.

Bagi seorang yang bersyukur, apapun keadaannya harus diterima. Karena dibalik setiap peristiwa, terkandung suatu hikmah yang (bisa jadi) kita tidak mengetahuinya. Bisa jadi kreativitas kita, muncul dalam keadaan seperti ini.

Kedua, selalu menggunakan hati. Yang membedakan seorang beriman dengan tidak beriman adalah keterlibatan hati. Salah satu indikator iman yaitu: pembenaran dalam hati. Jika seorang ilmuwan, (bisa jadi) masih dan sering menggunakan pembenaran akal saja.

Mari, kita lihat pembenaran hati yang sederhana. Pandemi Covid-19 ini atas izin Allah Swt. Makhluk/ciptaan Allah yang bernama Covid-19 adalah hasil ciptaan Allah. Sebagai orang beriman harus mempercayainya akan ciptaan Allah Swt tersebut. Yakinlah, ciptaan tersebut ada.

Kita harus pandai menyikapinya sesuai dengan keadaan dan sifat makhluk tersebut. Sama halnya: setan, jin, dan malaikat itu ciptaan Allah. Ciptaan itu ada adanya.

Alhamdulillah, hingga saat ini kita bisa menyikapinya. Misal dari mulut kita saatakan beraktivitas/bekerja menyatakan “Bismillahirrahmanirrahim” dan diakhiri dengan kalimat “Alhamdulillahirobbil ‘alamin”.

Dampak dari kalimat tersebut adalah malaikat mendekat, setan menjauh. Sederhana saja, melakukan aktivitas yang dengan hati melalui ucapan Bismillahirrahmanirrahim” dan “Alhamdulillahirobbil ‘alamin.

Jika kita melakukan dengan hati, maka pikiran dan ucapan pun akan lebih mudah dalam menjalankan setiap pekerjaan. Hati baik dulu, Insya Allah mulut dan pikiran akan baik juga.

Orang yang hatinya baik; maka ia akan “anggun” dalam berucap dan “santun” berbuat. Karena, didalam hatinya, ada nama Allah – sebagai Tuhan – yang selalu dibesarkan dalam aktivitasnya.

Sebaliknya: orang yang beraktivitas tidak menggunakan hati, orang tersebut biasanya: mudah marah, terprovokasi, ngersulo, mengajak yang tidak baik, mudah menyerah, menyalahkan keadaan dan “protes” terhadap ciptaan Allah.

Keadaan pandemi Covid-19 yang disalahkan; pekerjaan tidak selesai, pimpinan yang disalahkan, tujuan tidak tercapai, dan teman setim yang disalahkan. Itulah bentuk-bentuk bekerja yang tidak menggunakan logika hati.

Terakhir, ketiga. Sabar. Sabar adalah salah satu kunci orang yang beriman. Setiap awal, pasti ada akhir; setiap pertemuan, pasti ada perpisahan; setiap kelahiran, pasti ada kematian; dan setiap kehidupan, pasti ada kematian.

Dari fase-fase tersebut, ada sikap yang bernama “sabar”. Sabar ada dalam kesedihan dan kesenangan, pertemuan dan perpisahan, hidup dan mati.

Artinya: keadaan pandemi Covid-19, pasti akan berakhir. Bisa jadi, keadaan pandemi Covid-19 ini pertama kali seumur hidup, kita baru merasakan. Artinya: bisa jadi puluhan dan ratusan tahun lalu belum terjadi pandemi. Baru akhir tahun 2019 terjadi pandemi.

Sabar adalah kunci sebuah keberhasilan. Dalam sabar, ada usaha yang optimal dan harapan yang baik untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat.

Sabar orang yang beriman: selalu menjaga lisan, hati, dan perbuatan. Tenang hatinya adalah bagian dari orang yang bersabar.

Keberhasilan dalam suatu keadaan dapat dilihat “seberapa besar” sabar seseorang dalam menghadapi masalah. Nabi Muhammad SAW saat peristiwa 1 Muharram/Hijriah di Gua Tsur bersabar ketika ada orang yang ingin membunuhnya. Nabi Muhammad SAW tidak ketakutan. Tetapi, justru berdoa kepada Allah. Artinya, dalam kesabaran itu ada doa, harapan, dan tujuan yang ingin dicapai.

Sebagai penutup: penulis mengajak kepada pembaca untuk: (1) selalu bersyukur; (2) selalu menggunakan hati; dan (3) bersabar. Ketiga “kunci” ini adalah kesuksesan hidup kita di dunia dan di akhirat. Semoga bermanfaat khutbah ini.[]

Semarang, 19 Agustus 2021
Ditulis di Rumah jam 02.15 – 03.00 WIB.

• Tuesday, August 17th, 2021

Mengenalkan Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Salafiyah Kauman Pemalang ke Anak

Oleh Agung Kuswantoro

 

Waktu terus berjalan tiap hari itu kepastian. Umur pasti bertambah tiap hari itu juga, suatu kepastian. Namun, bagaimana memanfaatkan waktu dan umur yang pasti berjalan ini?

 

Sebagai orangtua dan orang yang ingin dan berharap anak memiliki masa depan yang baik di dunia dan akhirat, saya ingin mengenalkan Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah ke anak.

 

Adalah Mubin dan Syafa, kedua anak lelaki saya. Saya dan istri belajar menjadi orangtua yang mengenalkan ilmu ke anak. Saya dan istri, bukanlah orang yang pintar. Demikian juga iman. Iman saya dan istri masih jauh dari sempurna. Saya dan istri mengenalkan iman ke anak, semampunya. Sama-sama belajar.

 

Untuk kali ini, kami (saya dan istri) mengenalkan Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Salafiyah ke kedua anak saya. Melihat lingkungan masyarakat sekitar saya tinggal di Semarang, “kelihatannya” tidak mungkin untuk bisa belajar ilmu agama dan ilmu lainnya. Sehingga, perlu lingkungan lain yang mendukung dalam belajar.

 

Pesantren adalah solusi lingkungan itu. Saya adalah alumni di Salafiyah kauman Pemalang. Saya memang tidak mondok di Pondok Pesantren yang terletak di “jantung” kota Pemalang. Namun, saya pernah Madrasah dari Diniyah Wustho hingga Ulya (1995-2001).

 

Kehidupan saya juga tidak terlepas dari Madrasah Diniyah Salafiyah, dimana saya ngaji kitab di Pondok Pesantren Salafiyah mulai dari pagi hingga malam. Pagi hari ada jam ngaji/kajian jam 05.30- 06.00 WIB. Kemudian, saya sekolah umum (SMP 1 Pemalang dan SMA 3 Pemalang) pukul 07.00 -13.30 WIB.

 

Usai sekolah umum (SMP dan SMA), saya belajar di Madrasah Diniyah Salafiyah jam 14.00 WIB -17.00 WIB. Lalu, Pulang rumah sebentar. Jam 18.00-21.00 WIB saya ngaji/kajian lagi di Salafiyah dengan kitab-kitab klasik khas Pondok Pesantren, seperti: Mukhtarolhadis, Bulughul Marom, Fiqih Wadi’, Hidayatussibyan, Khulasoh Nurul Yaqin, Tafsir Jalalain, Juz ‘Amma, Jur Miyah, Amrithi, Alfiayah, Amtsilatu Tasrif, Faroid, Akhlaqul Lilbanin, Arbain Nawawi, dan kitab lainnya. Sedangkan pada kajian malamnya berupa kitab: Irsyadul ‘Ibad, Fathul Mu’in, Sullamultaufiq, Tanbihul Ghofilin, dan kitab lainnya.

 

Alhamdulillah, proses kehidupan mencari ilmu ini berlangsung antara rumah, sekolah umum, dan Madrasah Diniyah Salafiyah itu dekat. Rumah saya yang di Pelutan Pemalang kebetulan berada di perkotaan. Jadi, saya cukup bermodal sepeda ontel dan jalan kaki untuk transportasi diantara ketiga tempat tersebut.

 

Sebelum masuk Madrasah Diniyah Salafiyah, saya menjadi santri Madrasah Diniyah Hidayatussibyan selama 4 tahun di daerah Pelutan Wetan (Timur). Di Madrasah Diniyah Hidayatussibyan inilah, saya dikenalkan ilmu dasar mulai dari Tauhid, Fiqih, Bahasa Arab, Tajwid, Imla, Hadist, Akhlak, Alquran, Khot, dan ilmu-ilmu lain dengan kitab seperti ‘Aqidatul ‘Awwam, Hidatussibyan, Tarikhunnabi Muhammad, dan kitab lainnya.

 

Jadi, jika saya hitung 10 tahun, saya “menimba” (baca:menuntut) ilmu di Madrasah Diniyah. 4 tahun di Madrasah Diniyah Hidayatussibyan dan 6 tahun di Madrasah Diniyah Salafiyah Kauman Pemalang.

 

Rasanya, saya bersyukur sekali saya bisa berkenalan dengan Madrasah Madrasah; memahami dengan ilmu; dekat dengan Ustad/Ustadah dan Kiai Salafiyah di kota yang berjulukan “Ikhlas”.

 

Pastinya pula, hal ini terjadi karena tuntunan orangtua yang mengarahkan ke ilmu sebagai dasar hidup.  Sekarang, saya jadi orangtua. Mengingat masa lalu saya yang seperti itu, saya mencoba mengajak anak saya untuk berkenalan dengan ilmu, salah satunya melalui Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah.

 

Waktu yang singkat hanya 2 hari saya pulang kampung di Pelutan Pemalang, saya gunakan untuk “piknik” ilmu dengan berkunjung ke Madrasah Diniyah Salafiyah. Saya, istri, dan kedua anak saya datang ke Salafiyah pukul 15.45 WIB dimana ada pembelajaran kelas sedang berlangsung.

 

Memang moment/peristawa pembelajaran sedang berlangsung itulah yang kami cari untuk mengenalkan Madrasah Diniyah. Dimana, selama ini yang kami lakukan Madrasah Diniyah di Semarang itu berbeda sekali dengan Madrasah Diniyah yang “sesungguhnya”.

 

Minimal Madrasah Diniyah Salafiyah-lah sebagai contoh untuk anak saya mengenai “gambaran” sebuah Madrasah Diniyah. Dimana, banyak Santri-Santriwati lalu lalang membawa kitab, Santri-Santriwati yang saling merunduk saat bertemu Ustad-Ustadah dan Kiai, serta Ustad-Ustadah yang disiplin saat masuk ke kelas pada jam pembelajaran tiba.

 

Selain itu, kedua anak saya melihat berjejer kitab yang ada di ruang Ustad-Ustadah, mendengar Ustad-Ustad, Kiai dan Santri-Santriwati sedang melafalkan nadzom, dan melihat Santri-Santriwati mengabsahi kitab. “Pemandangan” seperti itulah yang langka untuk kedua anak saya.

 

Masuk ke Kelas

Pada saat saya datang ke Madrasah Diniyah, saya bertemu dan diajak diskusi oleh Kiai Romadlon, Ustad Syakhu, Ustad Salman Faris, dan Ustad yang lain di kantor. Saya menyampaikan apa adanya, jika kami datang ke sini adalah mengenalkan Madrasah Diniyah ke anak. Harapannya, kelak anak saya bisa mondok di Salafiyah.

 

Kiai Romadlon pun memberikan respon yang sangat bagus. Saya langsung diajak masuk ke dua kelas yaitu Kelas Putra dan Putri (Kelas III.2 Wustho dan Kelas III.1 Wustho).

 

Kelas yang diampu oleh Kiai Romadlon, saya diminta oleh beliau untuk berkenalan dan memberikan motivasi ke kelas. Saya pun meng-iya-kan dan menjalankan pesan ke Santri. Bukan di Madrasah Diniyah (baca:lembaga pendidikan), jika tanpa memberikan pertanyaan atau quiz. Dua kelas yang saya kunjungi, saya memberikan masing-masing satu pertanyaan.

 

Pertanyaan di kelas II Wustho Putra: coba lanjutkan nadzom Tajwid berikut ini:”Shifdza tsanaa kam jaada syahshung qod sama”. Terus saya berhenti, bilang ke Santi: “Siapa yang bisa tunjukkan jari?”. Adalah Santri Noval Romadon yang bisa melanjutkan dari salah satu bait syiir dari kitab Hidayatussibyan bab Ihfa.

 

Dilanjut di kelas III Wustho Putri, dimana waktu pelajarannya bahasa Arab yang sedang “kosong” pembelajaran karena Kiai Asrori belum lama ini meninggal dunia. Di kelas tersebut saya memberikan pertanyaan mengenai bahasa Arab dengan melanjutkan dari apa yang saya baca: “qola qoolaa qooluu”. Adalah Santriwati Kartika Maharani yang berhasil dan benar melanjutkan tasrifan qoola qoolaa qooluu hingga qultu qulna. Santri Noval Romadon dan Santriwati Kartika Maharani, saya hadiahi buku karangan saya yang berjudul “Bicara Islam di Sekitar Kita” (2020).

 

Alhamdulillah sekali saya bisa bertemu dengan orang-orang berilmu di Salafiyah, waktu itu. Padahal, kunjungan saya yang tanpa direncanakan—tidak diketahui akan untuk menemui siapa—dan ada/atau tidaknya pembelajaran di kelas Salafiyah.

 

Saya hanya niat, ingin melihat proses pembelajaran Madrasah Diniyah Salafiyah, ternyata mendapatkan hikmah yang sangat banyak. Tidak menyangka, bisa bertemu Kiai Romadlon, Ustad Syaikhu, Ustad Salman, dan Ustad lainnya.

 

Selain itu, melihat proses pembelajaran Madrasah Diniyah secara langsung di kelas dan saya terlibat dalam pembelajaran di dua kelas. Subhanallah, kalimat yang saya bisa terucap atas kejadian ini. Intinya, Allah yang mengatur.

 

Melalui tulisan ini yang ingin mengucapkan secara khusus kepada Kiai Romadlon yang telah memberikan kesempatan kepada saya, istri, dan kedua anak untuk melihat Madrasah Diniyah hingga masuk ke kelas mengenalkan saya ke Santri-Santriwati untuk memotivasi belajar Santri-Santriwati.

 

Terima kasih pula saya sampaikan kepada Ustad Syaihu, Ustad Salman, Nyai Uswatun, dan Ustad-Ustadah Salafiyah Kauman Pemalang yang telah menerima dan memberikan kesempatan kepada saya untuk “piknik” ilmu Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah. Semoga Allah meridoi dan memberkahi pertemuan ini. Amin. [].

 

Pemalang, 15 Agustus 2021

Ditulis di Rumah Pelutan Pemalang, jam 04.45-05.10 WIB. Diedit di Semarang, jam 20.00 WIB.

• Sunday, August 01st, 2021

Berkurban di Masa Pandemi Tahun 2021

Oleh Agung Kuswantoro

 

Idul Kurban tahun 2021/1442 Hijriah ini—jatuh pada tanggal 20 Juli 2021/10 Dzulhijjah 1442—berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Biasanya perayaan Idul Kurban itu sangat ramai. Ada penyembelihan hewan kurban dan Masjid ramai.

 

Kondisi yang sepi karena kondisi masih pandemi Covid-19. Edaran pemerintah dan MUI/Majlis Ulama Indonesia mengatakan agar Masjid tidak menyelenggarakan solat Id, dikarenakan menimbulkan kerumunan. Demikian juga penyembelihan hewan kurban dilakukan harus ketat dengan protokol kesehatan.

 

Bagi saya keadaan tersebut bisa dimaklumi dan dipahami secara bersama, karena keadaan sedang susah, maka tidak masalah menerima kondisi seperti itu. Namun, beberapa kalangan masyarakat kondisi Idul Kurban yang “sepi” terasa tidak menerima.

 

Mereka menginginkan sama dengan tahun-tahun sebelumnya yang ramai. Jadi, mereka tetap menginginkan Masjid tetap ramai, kumpulan orang saat menyembelih tetap dilaksanakan, anak-anak kecil berkumpul saat penyembelihan juga tetap ada. Mereka melakukan sama sekali, tanpa ada unsur protocol kesehatan. Mereka tanpa menggunakan masker, menjaga jarak, dan rajin mencuci tangan.

 

Keadaan Idul Kurban yang seperti ini, menurut saya adalah ujian bagi orang yang beriman dan berilmu di tengah kalangan beberapa masyarakat yang masih berpikiran dan melakukan Idul Kurban yang “acuh tak acuh” atau “cuek” di masa pandemi Covid-19.

 

Lalu, bagaimana sikap kita yang tidak setuju dengan sebagian masyarakat tersebut? Diam saja. Ya, tetap tidak melakukan solat Id di Masjid, tetapi solat di rumah. Tidak datang ke tempat penyembelihan, karena banyak orang berkerumun. Intinya tetap menjaga diri, keluarga, dan masyarakat dengan taat protokol kesehatan.

 

Doakan saja orang yang berbeda pendapat dengan kita agar kelak suatu saat menerima ilmu. Orang yang berilmu, pasti perilakunya berbeda dengan orang yang tidak berilmu. Orang berilmu lebih cenderung menggunakan pikirannya. Tidak banyak bicara. Diam. Sehingga, saat berbeda dalam perayaan Idul Kurban bukanlah sesuatu yang lebih. Namun, dianggap biasa. [].

 

Agung Kuswantoro, dosen pendidikan ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang dan penulis buku pendidikan serta bertema sosial. Email: [email protected]. HP/WA: 08179599354.

• Sunday, August 01st, 2021

“Vaksin” Literasi

Oleh Agung Kuswantoro

 

Berteman, tak asal berteman. Berkumpul, tak asal berkumpul. Masih ingatkah kalimat bijak: ”berkumpullah dengan penjual minyak wangi. Jika Anda tidak membeli minyak wanginya, maka tetap akan berbau wangi.” Kurang lebih seperti itu, kalimat hikmahnya.

 

Saya merasakan betul, bahwa dalam berkumpul dengan orang tidak asal kumpul. Cek dulu, orang ada dalam kumpulan tersebut. Minimal, “berbau” ilmulah orang yang ada dalam kumpulan tersebut. Jika orang yang berkumpul itu tidak berilmu, maka “maksiat” atau “ucapan” tak bermanfaat yang ada dalam kumpulan tersebut.

 

Maaf, bukan berarti saya itu milih-milih teman. Tapi, lebih selektif saja dalam memilih seorang teman. Karena, teman akan mengantarkan akan ke arah kebaikan dan keburukan. Jadi, berteman bukan berarti ke arah kebaikan. Namun, sangat mungkin ke arah negatif. Bisa juga, seperti itu. Belum lagi, waktu yang hilang saat berkomunikasi/berkegiatan dalam pertemanan tersebut.

 

Beberapa hari yang lalu saya menerima 5 buku antologi dari komunitas “Sahabat Pena Kita”. Komunitas ini sangat “kuat” dalam berliterasi. Orang yang tergabung dalam komunitas ini memiliki kewajiban menulis setiap bulan (setoran wajib dan sunah). Jika diantara anggotanya tidak mengirimkan setoran wajib selama tiga kali, maka dikeluarkan dalam komunitas tersebut. Hasil kumpulan dari para anggota tersebut, dibukukan dalam sebuah karya buku.

 

Saya baca isinya dari buku yang saya terima itu bagus sekali. Pesannya dari masing-masing penulis memiliki gaya/karakter dalam menulis dan menyampaikan pesannya. Background/latar budaya, pendidikan, dan kemampuan tiap penulis sangat terlihat sekali.

 

Saya sebagai orang awam dalam berliterasi, melihat keadaan seperti ini menjadikan semangat untuk saya agar lebih banyak mambaca dan mempertajam menulisnya. Karena, membaca tanpa menulis itu tetap kurang. Membaca saja, itu ada yang kurang. Kurangnya, ditulis dari apa yang dibaca. Sedangkan menulis tanpa membaca, pasti tulisannya terasa “hambar” tanpa pesan yang “kuat”.

 

Melalui komunitas inilah kita akan mendapatkan “vaksin” antar teman. Melihat tulisan teman yang diposting di grup, menjadikan “cambuk” untuk membaca dan membuat tulisan. Jadi, alur/prosesnya bisa membaca dulu, baru menulis. Atau, menulis dulu. Baru, membaca. Terserahlah memilih yang mana, asal sinergi antara membaca dan menulis.

 

Komunitas literasi adalah “vaksin” bagi anggota untuk semangat menjaga budaya membaca. Mengingat budaya membaca pada masa serba digital dan video, menjadikan malas untuk membaca. Orang cenderung lebih suka melihat dan mendengar. Padahal, membaca itu awal dari sebuah kemampuan untuk menjadi pintar/pandai.

 

Lihatlah perintah Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw dimana perintah pertama dari wahyu yang turun adalah membaca, membaca, dan membaca. Tahapan membaca dulu. Dalam membaca ada yang namanya mengeja. Setelah bisa mengeja, baru membaca per kata, kalimat, paragrf, subjudul, judul, dan tema.

 

Dalam membaca pun ada keterampilannya. Sehingga, bagi orang yang sering atau banyak membaca, maka menjadi “lincah” dalam membaca dan mudah menangkap pesan yang telah dibaca. Kemudian dilanjut dengan keterampilan menulis. Untuk tulisan ini, saya  tidak membahas dalam keterampilan menulis.

 

Kembali lagi ke tema “vaksin”. Jadi begini, dengan adanya teman yang “selektif” atau berilmu menjadikan kita belajar menjadi orang yang berilmu pula. Ilmu pun harus selektif. Karena, ada orang yang hanya pandai bicara, tapi lemah mempraktikkan dari yang diucapkan.

 

Artinya: ada orang yang pandai menulis, tapi tidak sesuai dengan kemampuan yang ditulis. Bisa jadi, ia meminta “pihak” lain untuk menuliskannya. Berarti, kurang pas jika ada orang yang seperti itu. Menurut saya.

 

Jadi, karaker anggota dalam sebuah komunitas juga perlu dipahami. Jangan asal gabung ke sebuah komunitas saja, tanpa ada komitmen yang kuat. Karena orang yang seperti ini, jelas tidak akan mendapatkan “vaksin” literasi.

 

Singkat cerita, bergabunglah dalam sebuah perkumpulan yang dekat dengan  keilmuan. Hindari sebuah perkumpulan yang tidak berdasarkan ilmu. Pahami karakter masing-masing gaya membaca dan menulis tiap anggota perkumpulan tersebut. Pasti, Anda akan merasa malu, jika tidak aktif melakukan sebuah kegiatan yang ada dalam perkumpulan tersebut. Temukan “gaya”Anda dalam setiap tulisan/karya yang diposting/ditampilkan dalam perkumpulan tersebut. Saat Anda “malas” membuat tulisan/karya. Lalu, melihat tulisan orang lain dalam perkumpulan tersebut, muncullah perasaan untuk membaca dan menulis (baca:berkarya) berarti Anda sudah “divaksin” dalam perkumpulan tersebut. [].

 

Semarang, 1 Agustus 2021

Ditulis di Rumah, jam 11.00 – 11.30 WIB malam.

 

• Tuesday, July 27th, 2021

Menjadi Orang Tua Bijak
Oleh Agung Kuswantoro

Pandemi Covid-19 menjadikan orang tua berkesempatan untuk berkumpul dengan anak yang di rumah. Kondisi pandemi Covid-19 yang mengharuskan mengurangi mobilitas dan mengurangi bekerja di kantor menjadikan orang tua melakukan aktivitasnya di rumah.

Demikian juga, anak yang sedang bersekolah mengharuskan Pembelajaran Jarak Jauh/PJJ, sehingga dapat dilakukan di rumah. Bertemunya antara orang tua dan anak di rumah saat pandemi Covid-19 adalah momentum yang “langka” bagi kedua orang tuanya yang sibuk bekerja. Saat inilah, waktu yang tepat agar menjadi orang tua yang bijak.

Adalah Ayah Edi yang mengajarkan kepada kita agar orang tua dalam mendidik tanpa ada teriakan dan bentakan. Kurangilah marah. Kalau bisa: Jangan marah. Adapun efek oroang tua yang marah yaitu: (1) menyebabkan tekanan darah; (2) “ledakan” marah memperbesar resiko serangan jantung; (3) resiko strok meningkat; (4) merusak paru-paru; (5) memicu stres dan kesedihan; (6) depresi; dan (7) memperburuk gangguan kecemasan (hal. 45-46).

Oleh karenanya dalam masalah marah, perlu ada manajemennya. Ada istilah anger management. Rumus dari anger management adalah pikiran, ucapan, dan respon harus baik. Ketika pikiran buruk, maka kalimat yang diucapkan menjadi buruk, kasar, dan menyakitkan. Dampaknya, respon orang yang mendengar menjadi negatif atau perbuatan yang menimbulkan konflik.

Setiap orang tua harus mengetahui, memahami, dan mempraktikkan anger management yang baik. Dimulai dari sesuatu yang baik. Minimal, pikirannya. Karena, pikiran akan berdampak pada perbuatan dan ucapan. Perbuatan adalah sesuatu yang dapat dilihat orang lain. Demikian juga, ucapan adalah sesuatu yang didengar oleh orang lain. Dampak dari pikiran, perbuatan, dan ucapan adalah respon atau reaksi orang lain dari apa yang dipikirkan, diperbuat dan diucapkan tersebut.

Menjadi orang tua yang bijak selain dengan memahami anger management, juga dapat dilakukan dengan komunikasi yang efektif antara anak dengan orang tua. Komunikasi yang baik dapat dilihat dari kalimat yang disampaikan orang tua kepada anak. Minimal orang tua menggunakan kalimat penghargaan dan penguatan.

Contoh kalimat penghargaan: “Wah, bagus sekali kamu melakukan itu”; “Terima kasih, kamu sudah menepati janji”; Papa berterima kasih, kamu mau berusaha”; “Mama bahagia, kamu sudah mau berubah”: “Papa bangga karena anak Papa berani jujur; dan kalimat-kalimat penghargaan lainnya.

Contoh kalimat penguatan: “Mama yakin kamu mampu mengatasinya. Tidak perlu khawatir”; Hati kecil Mama yakin kamu itu anak yang baik. Soalnya, sewaktu kecil kamu itu baik sekali”; “Anakku, tidak ada orang yang berhasil tanpa pernah gagal”, dan kalimat-kalimat penguatan lainnya.

Orang tua juga harus menghindari kalimat-kalimat negatif kepada anak, karena kalimat negatif akan meninggalkan kesan dan luka yang lama pada diri seorang anak. Bahkan, bisa jadi tertanam dalam benaknya sepanjang hidup (hal. 66).

Contoh kalimat negatif: “Begitu saja gak bisa, kamu bisanya apa sih?”; “Dasar anak bandel! Anak nakal! Ngak pernah nurut sama orang tua!”; “Sudah dibilangi berkali-kali, ngak berubah. Mau jadi apa, kamu nanti?”, dan kalimat-kalimat negatif lainnya.

Ada dua “kunci” agar kita menjadi orang tua yang bijak, tidak marah, dan membentak kepada anak adalah (1) mampu me-manage/mengelola marah dan (2) komunikasi yang efektif. Sekali lagi pikiran orang tua harus baik dulu terhadap anak, lalu katakan (baca:komunikasikan) yang lembut kepada anak. Semoga kita menjadi orang tua yang bijak itu. Amin. [].

Semarang, 23 Juli 2021
Ditulis di rumah, jam 19.00-19.30 WIB.

• Sunday, July 18th, 2021

 

Berpikir/Merenung, lalu Mengetahui
Oleh Agung Kuswantoro

Saya termasuk kategori orang bodoh—usai sahur puasa sunah ‘arofah—membuka kamus al-Munawwir, sekadar membuka makna tarwiyyah dan arofah. Dua nama yang dijadikan puasa sunah dalam menyambut hari raya Idul Adha.

Tarwiyyah berasal dari kata tarowwa yang artinya sama dengan merenung/berpikir. Seakar dengan kata tafakkaro. Kemudian, ‘arofah artinya mengetahui.

Sederhananya, maknanya adalah pada tanggal 8 Dzulhijjah Nabi Ibrohim sedang merenung/berpikir mengenai mimpinya untuk menyembelih putranya/Nabi Ismail. Setelah perenungan/pemikiran yang matang, baru pada tanggal 9 Dzulhijah Nabi Ibrohim mengetahui bahwa mimpinya, ternyata berasal dari Setan.

Kemudian, pada tanggal 10 Dzulhijjah dinamai hari “Nahr” atau “Adha” yang bermakna menyembelih. Karena pada hari atau tanggal tersebut Nabi Ismail/putranya disembelih. Lalu, pada tanggal 11,12,dan 13 Dzulhijjah dinamakan hari Tasyriq. Tasriq – tanpa tasydid pada ro—asal kata syaroqo yang berarti terbit. Sedangkan, tasriq – dengan panjang huruf ro—dimana masdar dari syarroqo yang bermakna pendendengan/dendeng/daging.

Artinya, setelah tanggal 10 Dzulhijjah disembelih, lalu hewan dagingnya dibuat dendeng/daging dijemur dibawah terik terbit matahari/terbit. Tujuannya biar dimasak, sehingga pada ketiga hari itu (11,12, dan 13 Dzulhijjah) dilarang berpuasa. Tujuannya agar makan dendeng yang dijemur di bawah terik terbit matahari.

Kurang lebih itu makna “kasar” secara bahasa Arab dari saya yang masih “miskin” ilmu. Mohon masukannya. Tetap semangat berpuasa sunah ini, karena hanya orang tertentu yang melakukan ibadah sunah ini. Semoga Allah mempermudah puasa dan menerima ibadah puasa sunah ini. Amin. [].

Semarang, 19 Juli 2021
Ditulis di Rumah jam 04.00-04.20 WIB.

• Friday, July 16th, 2021

Beragama “Intelek”
Oleh Agung Kuswantoro

Pada saat Pandemi Covid-19 dan PPKM (Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) “Darurat” tanggal 3 Juli hingga 20 April 2021, ada beberapa yang harus kita tanggapi dengan jiwa beragama intelek. Beragama intelek itu beragama yang menggunakan akal “sehat” dan hati. Sederhananya, memahami kondisi saat ini dan taat pada imam.

Siapakah imam di Negara/masyarakat ini? Jika keadaan darurat, jelaslah bahwa imamnya adalah pemerintah.

Bisa jadi dikalangan ustad dan umat Islam menerima keadaan Covid-19 ini sangat berbeda pendapat. Misalkan, Masjid tidak menyelenggarakan solat jamaah selama PPKM. Di lapangan/faktanya, ada Masjid yang tidak menyelenggarakan solat jamaah dan menyelenggarakan solat jamaah.

Jika kondisi seperti itu, bagaimana sikap kita? Jadilah muslim yang “intelek”. “Ujung” dari islam intelek adalah beragama secara “intelek”. Muslim “intelek” selalu menggunakan ilmu dalam bernalar/berpikir. Dalil al-Qur’an, hadist dan ilmu-ilmu lain dalam agama menjadi rujukan. Bukan, semata-mata pendapat pribadi.

Misalkan: MUI/Majlis Ulama Idonesia. MUI adalah sebuah majelis – bukan individu – perorangan yang didalamnya ada ahli fiqih, tauhid, filsafat, sosial, tarikh dan ahli-ahli lainnya.

Orang yang ahli-ahli ini berkumpul dan menyampaikan pandangannya, sesuai dengan dalil yang jelas/valid satu sama lain, sehingga muncullah satu kesepakatan. Dimana, kesepakatan ini menjadi rujukan umat Islam dalam menjalankan suatu perbuatan.

Salah satu hasil keputusan MUI, diantaranya: Masjid tidak menyelenggarakan solat jamaah saat PPKM. Alasannya, yaitu beragama mementingkan keselamatan. Sebagai muslim dan orang yang “bodoh”, maka taat adalah sebuah kewajiban. Termasuk pengurus Masjid, agar tidak menyelenggarakan solat jamaah di Masjid adalah sebuah pilihan yang tepat.

Lalu, muncul pertanyaan, “Mengapa tidak menyelenggarakan solat jamaah di Masjid, sedangkan Pasar dibuka? Sederhana jawabannya seperti ini: karena semua aktivitas di Masjid dapat dilakukan di Rumah. Sedangkan tidak semua aktivitas di Pasar bisa dilakukan di Rumah.

Sholat Ied, bisa dilakukan di Rumah. Sholat Jum’at, bisa diganti sholat Dhuhur di Rumah, sholat jamaah/fardu bisa dilakukan di Rumah. Dan, mengaji pun bisa dilakukan di Rumah.

Namun, aktivitas jual beli antara pembeli dan penjual belum tentu bisa dilakukan di Rumah. Beli gas, gasnya belum tentu di Rumah. Beli beras, berasnya belum tentu di Rumah. Dan, beli onderdil mobil/motor, belum tentu onderdil mobil/motor di Rumah juga, ada. Itulah, mengapa Pasar/Toko tetap buka pada masa PPKM.

Dengan demikian, jadilah/berkeinginanlah menjadi muslim yang “intelek”. Sabar, ilmu, dan menjadi ciri khasnya menghadapi sesuatu dapat secara logis dan tenang. Selain itu, menghormati setiap pendapat orang lain. Ia tidak menganggap pendapat dirinya paling benar. Waallahu ‘alam. []

Semarang, 11 Juli 2021
Di tulis Di Rumah jam 05.00 – 05.20 WIB.