• Saturday, June 16th, 2018

Arti Huruf Fitri

Oleh Agung Kuswantoro

 

Dalam khutbah Jumat yang tepat dilaksanakan pada 1 Syawal 1439 Hijriah, saya melakukan ibadah sholat Jumat di Masjid Agung Pemalang. Khotib menyampaikan materi tentang makna Fitri. Salah satunya ditinjau dari huruf yang tertulis dalam lafal Fitri. Fitri terdiri dari 3 huruf yaitu fa, tho, dan ro. Masing-masing memiliki arti.

 

FA artinya Fastabiqul khoirot. Maksudnya adalah berlomba-lomba dalam kebaikan. Saat Idul Fitri, kita tetap harus melaksanakan kebaikan-kebaikan, bahkan berlomba. Sebagaimana dalam ibadah bulan Ramadhan seperti puasa, zakat, tadarus, itikaf, sedekah, dan amalam sholih lainnya.

 

THO artinya Thumakninatul qolbi. Maksudnya adalah tenangnya hati. Ibadah yang telah dilakukan selama berpuasa berdampak pada tenangnya, hati. Hati menjadi kunci dalam setiap perbuatan. Termasuk pemikiran. Ibadah melahirkan ketenangan, bukan kegrusahgrusuhan. Oleh karenanya, tenangnya hati menjadi penting untuk seseorang dalam beribadah. Karena, itu salah satu efeknya.

 

RO artinya Roddul Madhor. Maksudnya adalah menolak bahaya/kedholiman. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan seorang beriman dan bertakwa dapat menolak suatu bahaya atau kedholiman. Mengapa? Ia selalu berpihak di Allah. Allah menjadi sandaran hidupnya. Bukan, hawa nafsu yang menjadi rujukan hidupnya. Dengan demikian, bala/cobaan atau kedholiman dapat ia minimalisir dengan cara beridah-beribadah layaknya di bulan Ramadhan. Sehingga, saat bulan Syawal menolak bahaya/kedholiman dapat dilakukan.

 

Itulah makna huruf yang melekat pada kata Fitri. Hingga sekarang, saya belum mendapatkan sumber/referensi yang valid dari masing-masing makna tersebut. Namun, saya mencatatnya dari Khotib Jumat pada tanggal 15 Juni 2018 di Masjid kebanggaan warga Pemalang, Jawa Tengah. Terima kasih ilmu Pak Khotib. Semoga Anda sehat selalu. Amin.

 

Rembang, 16 Juni 2018

• Friday, June 15th, 2018

Sama-Sama Menang

Oleh Agung Kuswantoro

 

Khutbah sholat Idul Fitri di Masjid Agung Pemalang oleh Ustad Miftah, S.Ag. Ia adalah guru saya waktu di Pondok Pesantren Salafiah Kauman Pemalang. Ada beberapa point yang menarik saat, ia menyampaikan khutbah yaitu

 

  1. Idul Fitri harus diharapkan menghasilkan pribadi yang soleh sosial. Tidak cukup soleh individu. Fenomena ini sangat cocok dengan keadaan sekarang.

 

Misal, silaturahmi. Orang berbondong-bondong menyampaikan ucapan dengan handphone/WA. Minim budaya silaturahmi denga tatap muka. Padahal ajaran agama menganjurkan untuk silaturahmi dengan tatap muka. Saat tatap muka disitulah, kita mengetahui yang bersangkutan apakah merelakan atas kesalahan yang telah diperbuat.

 

  1. Takbir mengajarkan kepada kita untuk sama-sama menang. Takbir diucapkan secara bersama-sama. Dalam kehidupan juga seperti itu. Tidak ada istilah kamu menang, saya kalah. Tetapi sama-sama menang.

 

Misal, saat pilkada. Saat ada yang pemenang diumumkan oleh KPU. Sesungguhnya peserta Pilkada itu menang semua. Hanya caranya berbeda. Yang mendapatkan suara terbanyak ia akan memimpin jalannya pemerintahan. Sedangkan yang tidak mendapatkan suara terbanyak tetap menjalankan pelayanan untuk mengayomi masyarakat melalui pendidikan, ekonomi, budaya, atau menjadi oposisi yang baik. Ini semua hakikatnya adalah melayani masyarakat. Itulah pemimpin. Itu pula sama-sama menang.

 

  1. Kebenaran manusia bersifat perspektif. Kebenaran Allah bersifat mutlak. Sehingga, saat ada perbedaan pendapat itu berdasarkan cara pandang yang berbeda saja. Jangan terlalu dibuat sepaneng. Karena ya itu, perbedaan manusia bersifat perspektif. Bukan mutlak. Jadi, beda pendapat itu hal yang biasa.

 

Itulah point-point yang saya dapatkan saat khutbah Idul Fitri. Sangat mengena sekali. Khotib sangat fasih dalam melafalkan doa-doanya, sehingga para Jamaah, khusuk dalam berdoa. Semoga kita menjadi pribadi yang fitri. Amin

 

Kudus, 16 Juni 2018

 

• Wednesday, June 13th, 2018

Harapan di Akhir Bulan Ramadhan 1439 Hijriah

Oleh Agung Kuswantoro

 

Alhamdulillah Ramadhan sebentar lagi selesai. Ia (Ramadhan) akan kembali ke Allah. Kalimat pertama yang saya ucapkan adalah puji syukur atas nikmat Allah berupa panjang umur hingga menyelesaikan ibadah di bulan suci tersebut.

 

Waktu menjadi kata kunci dalam kalimat di atas. Tahun depan, belum tentu kita akan berjumpa dengannya. Ia tetap ada, tetapi kita belum tentu berjumpa dengannya.

 

Jika Allah memberi izin panjang umur dan sehat, Insya Allah kita akan berjumpa tahun depan. Amin.

 

Setiap ia datang begitu terasa. 30/29 hari “kenceng” dengan ibadah, mulai sahur, tarawih, witir, tadarus, zakat, sedekah, itikaf, dan ibadah lainnya. Terlebih, ibadah tersebut dilakukan bersama dengan masyarakat.

 

Misal, sholat isya, tarawih dan witir tidak dilakukan secara munfarid. Tetapi dilakukan secara berjamaah dengan menjadi Imam di masjid. Sholat Subuh dan kultum dilakukan secara berjamaah dengan menjadi imam dan pemberi materi.

 

Tadarus bersama mahasiswa dan anak-anak dilakukan tiap sore di masjid. Tadarus juga dilakukan bersama warga kampung pada malam hari. Itulah kenangan Ramadhan tahun ini (2018/1439 H). Sekarang, tinggal kenangan.

 

Fokus kebanyakan orang saat ini lebaran. Lalu lalang kendaraan mudik sangat padat di daerah saya. Pusat perbelanjaan sangat ramai. Muda-mudi mulai sibuk mengurusi reuni dan halal bihal. Tak ketinggalan pula, dapur mulai mengepul menyiapkan opor ayam dan ketupat.

 

Namun, dalam hati mengatakan kenangan Ramadhan itu masih melekat dibalik hingar bingar persiapan Idul Fitri. Menurut saya, Idul Fitri itu satu hari saja dan pada jam itu saja. Yaitu, pada saat sholat Id dan setelah Khotib turun dari mimbar khutbah.

 

Setelah turun dari mimbar khutbah, berakhirlah Idul Fitri. Adanya perayaan Idul Fitri, mulai dari salam-salaman ke sanak saudara, halal bihalal, reuni, dan perayaan lainnya. Itulah perayaan Idul Fitri.

 

Oleh karenanya, saat Idul Fitri, terutama saat sholat itu perbanyak zikir, takbir, dan istigfar. Sembari jalan ke masjid/lapangan tetap berdoa. Doanya diperkuat, bukan memperhatikan tampilan baju, mekena yang mahal, sandal yang mahal, dan asesoris yang mahal pula yang dipakai oleh orang saat ke Masjid.

 

Sekali lagi doanya yang diperkuat. Mengapa? Itu, hanya bagian perayaan. Fitrinya adalah kemenangan bagi orang yang telah menjalani ibadah di bulan Ramadhan.

 

Eman-eman jika hanya peranyaan kita terbawa oleh situasi yang kita tidak bisa mengendalikan. Puasa dan ibadah saat di bulan Ramadhan dipertahankan di bulan-bulan berikutnya.

 

Kembali lagi ke sholat Id. Saat sholat Id, mulai dari niat dan takbir harus benar-benar memasrahkan hidup kita. Termasuk umur.

 

Allahu Akbar sambil dalam hati mengatakan “Wahai Allah, bisakah saya bertemu Ramadhan tahun depan?”

 

“Wahai Allah, Pemilik Waktu, berilah saya kesempatan untuk menikmati di bulan Ramadhan tahun depan.”

 

Mengapa kita mengatakan seperti itu? Karena, kita akan memasrahkan hidup kita kepada Pencipta bulan Ramadhan. Daripada umurnya panjang, tetapi tidak beribadah atau kurang kepada-Nya. Lebih baik, kita instrospeksi diri kepada-Nya.

 

Selamat jalan Ramadhan telah menghampiri kami selama satu bulan ini. Terima kasih telah mendidik kami menjadi manusia yang bertakwa, meskipun saya belum pantas untuk menjadi manusia bertakwa. Hanya Allah yang menentukan ketakwaan seseorang. Namun, saya akan mencobanya.

 

Ramadhan sapalah, kami semua di tahun depan. Engkan (Ramadhan) pasti ada 11 bulan kemudian, tetapi kami belum tentu ada.

 

Maafkan kami, apabila selama ini, belum bisa “bercumbu” denganmu melalui ibadah-ibadah yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.

 

Sekarang, usiamu (Insya Allah) kurang satu hari lagi. Engkau akan pulang ke Allah. Sampaikan ke Allah, bahwa kami mohon maaf belum bisa menjadi hamba yang beriman dan bertakwa.

 

Dosa kami masih banyak. Masiat kami juga masih banyak. Namun, melalui Ramadhan ini, hati kami sedikit terketuk untuk mengingat-Mu, Ya Allah.

 

Kami sudah mengajak masyarakat untuk berpuasa, sholat tarawih, witir, tadarus, sholat subuh berjamaah, dan belajar agama Islam melalui kultum. Melalui amalan-amalan itu, semoga Engkau mau memaafkan kami.

 

Catat nama kami di Lauhil Mahfud tertulis nama kami termasuk dalam kategori yang termasuk Lailatul Qodar. Dan, mohon selalu bombing hati kami agar selalu mengingat Engkau. Amin.

 

Pemalang, 13 Juni 2018

• Monday, June 11th, 2018

“Fitrinya”, Bukan Lebarannya

Oleh Agung Kuswantoro

 

Tak terasa Ramadhan akan selesai. Bulan yang penuh hikmah, akan kembali ke Allah pada tahun depan. Namun, “Sadarkah kita, jika Ramadhan akan kembali ke Allah?

 

Pertanyaan di atas hanya, pribadi manusia saja yang mengetahui. Profesi apa pun tidak bisa menduga atau menjawab pertanyaan tersebut. Hanya diri manusia dan Allah.

 

Mengapa? Karena, puasa itu ibadah rahasia. Puasa adalah ibadah yang hanya diketahui oleh manusia yang bersangkutan dan Allah.

 

Mulut boleh berkata “saya puasa pada pagi ini.” Tetepi, pada kenyataannya bahwa siang hari, ia makan siang di warung makan.

 

Orang lain tidak ada yang tahu, kecuali penjual makanan di warung tersebut. Lalu, setelah dari warung, ia mengatakan kepada orang yang berada di sekitarnya, dengan kalimat, “saya masih berpuasa di hari ini.”

 

Sah-sah saya mulut orang tersebut berkata sebagaimana di atas. Karena, ibadah puasa berkaitan dengan kerahasiaan. Kejujuran menjadi “kunci” dalam menjalankan ibadah puasa.

 

Sehingga, tujuan mulia dalam ibadah puasa yaitu takwa, tak cuma-cuma diraihnya dengan mudah. Dibutuhkan perjuangan dan karakter yang mulia.

 

Tak heran, jika tujuan akhir pada bulan Ramadhan adalah menjadi pribadi yang fitri atau suci. Bukan, perayaan yang mewah atau ramai pada malam takbiran.

 

Orang yang dicari dalam berpuasa adalah “fitrinya”. Sucinya. Sehingga, semakin mendekati Idul Fitri, maka semakin “kencang” ibadahnya.

 

Ia tidak sibuk ke pusat perbelanjaan untuk menghadiri “mid night discount”, di mana ada “zakat mall” (bukan zakat mal).

 

Ia tidak sibuk mencari model baju baru untuk dipakai di hari lebaran. Ia tidak sibuk mencari penjahit untuk menjahitkan bahan bajunya.

 

Ia sibuk berzikir. Ia tetap fokus berpuasa. Ibadah sunah tetap ia jalankan, seperti solat tarawih, witir, tahajud, tadarus, itikaf, dan amalan solih lainnya.

 

Konsentrasinya dia ada pada menggapai “fitrinya”, bukan lebarannya. Jika lebarannya, maka ia berpikiran pada liburan Idul Fitri, seperti berwisata, makan di restoran, berkumpul dengan teman, dan “kesenangan” yang lainnya.

 

Oleh karenanya, “fitri” itu untuk orang tertentu. Tetapi, lebaran untuk semua orang. Tidak semua orang mendapatkan “fitri”, hanya orang-orang tertentu yang mendapatkannya.

 

Lalu, pertanyaannya adalah “Siapakan yang mendapatkan fitri? Jawabnya adalah orang yang tetap berpuasa dan menjalankan ibadah-ibadah di bulan Ramadhan hingga tuntas.

 

Mengapa demikian? Karena menjaga ibadah-ibadah di bulan Ramadhan hingga tuntas (menurut saya) tidaklah mudah. Buktinya, saat kita mudik, banyak (lebih dari tiga orang) tidak berpuasa. Padahal ia sehat dan tidak ada halangan untuk menjalankan ibadah puasa.

 

Saat malam hari, justru pusat perbelanjaan ramai dengan pembeli. Seharusnya zikir, itikat, dan tadarus harus dikuatkan di akhir bulan Ramadhan.

 

Mereka yang masih berjuang melawan godaan dunia, jika selesai melakukan perjuangan hingga tuntas Ramadhan, Insya Allah akan mendapatkan “fitri”.

 

Berbeda dengan orang yang mendapatkan lebaran. Batin atau ketenanganlah yang dirasakan bagi orang yang mendapatkan “fitri”. Orientasi tujuan sudah berbeda, sehingga orang yang berlebaran, belum tentu mendapatkan “fitri”.

 

Sebagai orang beriman, seharusnya “fitri” yang harus digapai. Mari, “ketuk” diri sendiri agar “fitri” harus dicapai, bukan lebaran dengan liburannya.

 

jika kita saja, masih berpikiran liburan lebarannya, lalu siapa yang akan mendapatkan “fitri”? Mari, luruskan mind set pikiran kita, agar hati kita juga menjadi lurus.

 

Sebagai penguat di akhir tulisan ini, ada sebuah kalimat yaitu lebaran dengan segala bentuk liburan yang menyenangkan itu boleh, tetapi jangan sampai “melupakan” atau menjadikan Ramadhan yang “suci” tidak bermakna “suci” lagi, karena perbuatan kita yang terlalu membesarkan perayaannya, dibanding ibadahnya.

 

Pemalang, 11 Juni 2018

 

 

• Sunday, June 03rd, 2018

Pancasila dan Alqur’an

Oleh Agung Kuswantoro

 

Hari Pancasila telah kita peringati kemarin (1/6/2018). Momentum lahir Pancasila sangat tepat kita renungkan, terlebih di bulan Ramadhan. Dimana Pancasila juga lahir di bulan Ramadhan. 17 Agustus 1945 bertepatan jatuh pada tanggal 9 Ramadhan. Kemudian, Pancasila disusun.

 

Sudah tidak tepat lagi kita merubah ideologi negara kita (Pancasila) dengan ideologi lainnya. Founding Father kita sudah melakukan pemikiran, penajaman, istikharah, dan meyakini bahwa Pancasila adalah ideologi yang tepat untuk negara Indonesia.

 

Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Alqur’an mengatakan “Qul huallahu ahad” (QS. Al Ikhlas : 1). Artinya, “Katakanlah, bahwa Allah itu Esa”. Tuhan yang satu. Negara Indonesia mengakui Tuhan. Siapa yang tidak bertuhan, bukanlah warga Indonesia.

 

Sila Kedua, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab. Alqur’an mengatakan “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri, ibu, bapak, dan kerabatmu” (QS. Annisa: 135). Adil itu untuk diri sendiri. Tidak hanya untuk hakim. Tetapi, semua manusia. Adil harus ada dalam setiap diri manusia.

 

Sila Ketiga, Persatuan Indonesia. Alqur’an mengatakan “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal” (QS. Alhujurat: 13). Tujuan dari ayat di atas adalah persatuan, melupakan kpentingan individu, kepentingan negara harus diutamakan di atas kepentingan golongan.

 

Sila Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Alqur’an mengatakan “Dan (bagi) orang-orang yang menerima/mematuhi seruan Rob-nya, dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah (QS. Assyuro: 38). Musyawarah mufakat adalah ajaran Alqur’an. Bukan dengan cara vooting atau pengambilan suara terbanyak. Bangsa Indonesia lebih mengutamakan musyawarah mufakat.

 

Sila Kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Alqur’an mengatakan “Sesungguhnya Allah menyuruh manusia berlaku adil dan berbuat baikan, memberi sedekah kepada kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan” (QS. An Nahl: 90). Bangsa Indonesia mengharapkan rakyat dan pimpinannya untuk berbuat baik kepada sesama (sosial). Itu juga anjuran Allah dalam Alqur’an.

 

Itulah nilai-nilai Alqur’an yang termaktub dalam Pancasila. Tidak diragukan lagi untuk kita mengamalkan. Mengamalkan nilai-nilai Pancasila juga mengamalkan nilai-nilai Alqur’an.

 

 

Founding Father kita sudah memikirkannya dengan penuh khusyuk dan sholat istikharah mengharap ridho Allah dalam memikirkan bangsa Indonesia.

 

Itulah pesan khotib, Dr. Ali Mahsyar, MH yang saya tangkap. Saya beruntung sekali bisa belajar dengannya. Setelah saya selesai sholat, saya menemuinya diskusi kecil terkait pekerjaan saya di UPT Kearsipan berupa Peraturan Rektor Kearsipan. Dan, saya menyampaikan ucapan terima kasih atas masukannya dan ilmu-ilmunya yang telah disampaikan kepada saya. Semoga Bapak sehat selalu. Amin.

 

 

Semarang, 2 Juni 2018

 

 

 

• Saturday, June 02nd, 2018

Catatan Kultum Ramadhan (2)

Oleh Agung Kuswantoro

 

  1. Zakat Fitrah

 

Zakat fitrah hukumnya wajib bagi orang dewasa, anak-anak, tua, dan muda. Kalimat dalam kitab yang saya gunakan disebutkan makhluk. Maknanya, manusia itu wajib zakat fitrah termasuk janin yang dalam kandungan.

 

Lalu, dia (janin/anak) bagaimana ia mengeluarkan zakat fitrah, padahal ia belum kerja? Jawabnya adalah ia menjadi tanggungjawab orang tuanya. Berarti orang tuanya akan mengeluarkan zakat fitrah juga ke anaknya.

 

Kapan dimulai zakat fitrah? Berdasarkan sumber yang saya baca, banyak perbedaan pendapat. Biasanya zakat fitrah dikeluarkan pada malam idul fitri/takbiran.

 

Batas pengeluaran zakat fitrah hingga sholat Id selesai. Jika ada orang mengeluarkan zakat setelah sholat Id dinamakan sedekah. Namun, jika dikeluarkan sebelum sholat id dinamakan zakat fitrah.

 

Zakat fitrah, orang yang memberikan wajib niat. Adapun niatnya yaitu Nawaitu an uhrija zakatal fitri linafsi (Agung) fardolillahi ta’ala. Artinya, saya berniat akan mengeluarkan zakat fitrah untuk diri saya Agung fardu karena Allah ta’ala.

 

 

Etika

 

Setiap orang wajib zakat fitrah, maka apabila ia telah menerima zakat fitrah. Kemudian, ia belum membayar zakat fitrah, maka alangkah baiknya ia “mengolah” beras/zakatnya yang telah diterima.

 

Misal, mengganti bungkus/plastik zakat yang telah diterima. Atau, mencampurkan beras dengan beras lainnya.

 

Bagusnya lagi, zakat fitrah dengan uang sendiri. Jadi, hasil kerjanya dibelanjakan uang untuk zakat.

 

Jangan beras yang telah diterima, kemudian dizakatkan lagi ke orang lain. Hal ini (menurut saya) kurang beretika. Walaupun itu, haknya. Jadi, etika perlu ditegakkan dalam penyaluran zakat.

 

Siapa yang menerima zakat fitrah? Utamakan saudara kita yang fakir dan miskin. Itu dulu diutamakan. Zakat dalam bentuk makanan pokok di daerah setempat.

 

Mulailah dari sekarang, untuk menabung zakat fitrah. Utamakan zakat dari rizki kita. Jika tidak punya, gunakan “sesuatu” yang Anda punya untuk zakat. Terpaksa, kita tidak memiliki olahlah beras yang kita peroleh dengan mencampur atau mengganti plastik sebagai bentuk penghormatan atas orang yang telah memberikan kepadanya.

 

Bayarlah zakat agar rukun Islam kita lebih sempurna, karena zakat termasuk rukun Islam yang ke-4. Rukun islamnya belum sempurna. Dan, sempurnakanlah rukun Islam kita. Semoga Allah menerima amal baik kita. Amin.

 

 

  1. Itikaf

Oleh Agung Kuswantoro

 

Itikaf adalah berdiam diri di masjid. Ada banyak perbedaan terkait lamanya Itikaf. Seperti, Itikaf itu sehari semalam. Ada juga yang mengatakan tidak harus sehari, tetapi cukup bacaan tertentu. Sehingga, Itikaf perlu niat.

 

Adapun niatnya, nawaitul ‘itikafi hadal masjid sunnatalillahi ta’ala. Artinya, saya berniat ‘itikaf di masjid ini, sunatulillahi ta’ala.

 

Diriwayatkan beberapa hadist bahwa, Nabi Muhammad SAW sangat antusias melakukan Itikaf, terutama pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Sampai-sampai, Nabi Muhammad SAW rambutnya, yang menyisirkan/jungkati adalah Siti Aisyah/istrinya. Mengapa, sedemikian begitunya? Karena, Nabi Muhammad SAW sangat konsen terhadap ibadah Itikaf.

 

Semakin Ramadhan akan habis, ibadah yang bersifat individual seperti Itikaf diperkuat. Bukan sebaliknya, saat Ramadhan akan habis, justru masjid yang sepi. Mall yang ramai. Nah, disinilah tantangannya.

 

Yuk, perkuat ibadah bersifat individual ini (Itikaf) karena Nabi Muhammad SAW melakukan hal itu. mumpung Ramadhan belum habis. Bukan, sibuk di pusat perbelanjaan. Tirulah Nabi Muhammad SAW. Ingat takwa sebagai tujuan akhir puasa. Itikaf itu sebagai jalan menuju takwa. Banyak merenung, dzikir, dan berpikir agar lebih dekat dengan Allah.

 

 

Semarang, 1 Juni 2018

 

 

• Friday, June 01st, 2018

Catatan Kultum Ramadhan (1)

Oleh Agung Kuswantoro

 

Selama Ramadhan ini, kultum yang saya sampaikan ke masjid seputar Ramadhan. Berikut catatan saya:

 

  1. Lailatul Qodar

Lail itu malam. Qodar itu mulia. Menurut Kamus, Qodar memiliki tiga arti yaitu (1) mulia, (2) sempit, (3) ketentuan/ketetapan.

 

Mulia karena pada malam itu yang turun malaikat untuk mencatat amal manusia.

 

Sempit karena bumi diisi oleh Malaikat, sehingga bumi menjadi sempit.

 

Ketetapan/ketentuan karena malam itu pasti terjadi.

 

Banyak perbedaan pendapat terkait turunnya Lailatul Qodar. Ada yang mengatakan diturunkan Alqur’an yaitu malam 17 Ramadhan. Ada yang mengatakan pula malam ganjil (21, 23, 25, 27, dan 29). Bahkan di daerah tertentu (Timur Tengah) Lailatul Qodar dipercayai turun pada tanggal 27 Ramadhan. Sehingga, peristiwa Nuzulul Qur’an di daerah tersebut diperingati tanggal 27 Ramadhan. Berbeda di Indonesia diperingati 17 Ramadhan. Dari penjelasan di atas lengkap ada dalilnya.

 

Namun, guru saya mengajari saya bahwa Lailatul Qodar, jangan dinanti. Mengapa? Karena itu pasti terjadi. Tugas kita adalah memantaskan apakah kita layak mendapatkan Lailatul Qodar?

 

Layak/pantas menjadi kata kunci untuk memasuki Lailatul Qodar. Mengapa? Malaikat yang akan mencatat amal manusia. Berarti, Malaikat akan mencatat orang yang melakukan kebajikan pada hari/malam itu.

 

Malaikat tidak akan mencatat amal manusia yang buruk. Berarti kita harus memperbanyak amalan sholih/kebajikan. Itu yang perlu diperhatikan. Kuncinya Malaikat itu dengan  kebajikan.

 

Jika Lailatul Qodar tidak usah dinanti, berarti kita harus berbuat baik selama Ramadhan, mulai tanggal 1 hingga 30 Ramadhan. Insya Allah dengan cara ini Lailatul Qodar akan diperoleh.

 

Contoh Malaikat turun ke bumi, bahwa Alqur’an mengatakan dengan tegas pada saat perang Badar, Malaikat membantu pasukan muslim. Jumlah sedikit pasukan muslim, namun bisa mengalahkan pasukan Kafir/Quraisy yang berjumlah lebih banyak.

 

Ternyata, Malaikat membantu pasukan muslim. Salah satu faktor dibantunya pasukan muslim karena telah melakukan amal baik/kebajikan. Sehingga, Malaikat turun ke bumi.

 

Sebaliknya, pada perang Uhud, pasukan muslim tidak dibantu oleh Malaikat dikarenakan pasukan muslim tidak sabar terhadap godaan dunia, berupa harta rampasan milik pasukan Kafir/Quraisy. Padahal, perintah Nabi sangat jelas, bahwa apa pun keadaannya, pasukan muslim harus tetap di atas bukit. Jangan turun bukit, walaupun sudah selesai perang. Namun, karena meraka tergoda dengan “harta” yang berada dibawah bukit, menjadikan pasukan muslim mengalami kekalahan. Baca QS. Ali Imron ayat 124.

 

Itulah sebabnya, Malaikat akan turun, jika kita berbuat kebajikan, sebagaimana kondisi dalam perang Badar.

 

Ada benarnya juga hadist yang mengatakan Lailatul Qodar akan turun dengan pertanda seperti matahari tidak terlalu panas, suasana tenang, angin sepoi-sepoi dan tanda alam  lainnya yang mendamaikan.

 

Menurut saya, hal itu tidak menjadi patokan. Saya lebih sepakat dengan cara Lailatul Qodar itu pasti terjadi. Tugas kita hanya memantaskan untuk bisa masuk dalam Lailatul Qodar dengan cara berbuat baik/kebajikan, sehingga Malaikat akan turun mencatat amal kita.

 

Bersambung

 

Semarang, 1 Juni 2018

 

 

 

 

• Thursday, May 31st, 2018

Masjid Sebagai Sarana Belajar Bersosial

Oleh Agung Kuswantoro

 

Ramadhan adalah momentum tepat untuk mendekatkan diri dengan masyarakat. Bersosialisasi di bulan Ramadhan. Banyak ibadah yang sifatnya sosial seperti sholat fardu berjamaah di masjid. Ada juga, sholat sunah tarawih dan witir. Selain itu, kajian dan tadarus.

 

Kegiatan itu semua dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat. Kurang lebih itulah yang saya rasakan. Ramadhan menjadikan kegiatan untuk mempererat hubungan sosial bermasyarakat melalui masjid. Alhamdulillah, saya dapat kepercayaan untuk menjadi imam sholat subuh, tarawih, dan tadarus sore. Kegiatan ini saya lakukan dengan santai dan dinikmati saja. Jalani apa adanya. Hal yang terpenting adalah menjaga amanah (kepercayaan) dari masyarakat.

 

Saya berkomitmen sekali dengan hal itu. Di usia ke-34 tahu ini, saya ingin berlajar dari tokoh teladan terbaik ini yaitu Nabi Muhammad SAW bahwa di usia 35 tahun ia sudah terjun ke masyarakat. Ia turun tangan dalam peristiwa peletakan Hajar Aswad. Padahal, usianya masih mudah yaitu 35 tahun.

 

Dari inilah, saya ingin belajar bermasyarakat di usia 30 tahunan. Saya yakin sekali, jika kita berbaik kepada orang lain, maka orang itu juga akan baik kepada kita. Sudah saatnya untuk terjun ke masyarakat. Menjaga amanah melalui kegiatan-kegiatan di masjid pada bulan Ramadhan sebagai bentuk ibadah pula.

 

Saya senang bisa melakukan ini. Tujuannya semata-mata lillahi ta’ala saja. Bukan, karena manusia atau kepentingan tertentu.

 

 

Semarang, 31 Mei 2018

• Tuesday, May 29th, 2018

Alhamdulillah Banyak Yang Tadarus

Oleh Agung Kuswantoro

 

Sore tadi (29/5/2018) menjadi penyemangat bagi saya untuk tetap mensyiarkan agama Islam pada bulan Ramadhan di lingkungan saya. Yang datang mengaji yaitu Kalisa, Nanda, Rando, Raihan, Wawan, dan Maulana. 5 anak-anak dan 1 orang dewasa.

 

Biasanya yang mengaji 2 hingga 3 orang. Karena yang datang mengaji banyak, saya dibantu oleh Maulana. Maulana saya beri amanah untuk mengajari Kalisa, pada sesi kedua. Maulana saya nilai sudah pantas untuk mendampingi saya. Kemudian, saya konsen ke-4 orang yang lain. Pembagian tugasnya seperti itu.

 

Sebelum ke-5 anak datang ke masjid, saya dan Maulana sudah datang terlebih dahulu. Maulana sudah aktif bertanya mengenai materi yang telah ia baca. Saya memberikan tugas ke dia agar mempelajari materi mana yang belum dipahami dari kitab ghorib.

 

Singkat cerita, datanglah ke-5 anak datang ke masjid. Saya menggunakan model pembelajaran dengan cara meniru. Bacaannya adalah surat alhamuttakur dibaca secara bersama. Hasilnya, mereka hanya hafalan.

 

Ini diketahui, ketika juz amma yang mereka bawa, saya tukarkan dengan Alquran tanpa huruf latin. Hasilnya, mereka pun kurang mengusai. Terbukti, saat menunjukkan aoa yang dilafalkan dengan hurufnyanya tidak sama. Itu artinya, mereka hafalan.

 

Setelah mereka mengetahui bacaannya tidak sama dengan yang diucapkan. Lalu, saya memberikan materi tentang hunnah, dimana bacaan mereka tidak pas. Sehingga, saya perlu menyampaikan materi tersebut kepada mereka. Kemudian, mereka praktik melisankan dan memberikan ketukan yang tepat. Dengan cara itu, apa yang dilisankan dan yang ada ditulisan itu sama.

 

Waktu telah menunjukkan, akan memasuki buka puasa. Segera saya mengakhiri kajian sore itu. Alhamdulillah, ada donatur yang memberikan sebagian rizkinya untuk kajian sore ini untuk berbuka puasa bersama di masjid.

 

Demikian cerita singkat ini. Semoga membawa kita untuk tetap semangat untuk menjalankan ibadah di bulan Ramadhan tahun ini. Amin

 

Semarang, 29 Mei 2018

 

• Monday, May 28th, 2018

Menikmati Tadarus

Oleh Agung Kuswantoro

 

Akhir-akhir ini, saya berdua bertadarus dengan salah satu mahasiswa FMIPA UNNES. Ia selalu datang lebih dulu di masjid. Padahal, kostnya, di depan Rektorat Banaran. Sedangkan letak masjid di Sekaran. Ia membawa motor.

 

Tadarus yang saya terapkan ini tergantung pada teman yang mengaji. Misal, yang datang itu anak-anak, maka tadarus konsennya pada bacaan anak tersebut, dengan surat pendek. Itupun diulangi bacaannya. Tidak cukup sekali.

 

Jika yang datang orang dewasa dan telah memahami bacaan, maka konsen tadarusnya pada tajwidnya. Bahkan, ghorib.

 

Untuk saat ini yang sering (baca: rajin) datang adalah mahasiswa FMIPA UNNES itu. Maulana namanya. Ia sudah punya dasar mengaji di pesantren. Ia sudah memahami kitab tajwid Hidayatussibyan. Bahkan, ia kritis dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, bacaan-bacaan imalah, isymam, dan bacaan “aneh” lainnya.

 

Gaya tadarus dengannya pun berbeda. Saya konsen pada konsep. Kitab ghorib yang saya bawa. Saya menjelaskan konsep-konsep yang ada di ghorib. Ia menyimak dan melafalkan ayat-ayat yang ada dalam konsep tersebut.

 

Bagi saya, orang yang datang (meski hanya satu), untuk bertadarus adalah tamu Allah. Satu saja, yang hadir itu sudah luar biasa. Dari situlah, kita “kenceng” dengan materi.

 

4 hari lagi tadarus di masjid berakhir. Selanjutnya, saya akan konsen dengan ibadah yang bersifat individu, seperti ‘itikaf. Atau, konsen mudik bagi yang rumahnya jauh. Toh, kita adalah perantau.

 

Maulana, tetap semangat mengaji. Khatamkan konsep-konsep yang ada di ghorib. Hari ini saya bawakan kitab Nahwu Alfiyah. Sebagaimana, pertanyaannmu mengenai Imalah. Di dalam kitab tersebut, ada bab tentang Imalah.

 

Semoga Allah selalu memberikan keberkahan dan manfaat untuk kita dari setiap rizki yang telah diberikan kepada kita. Amin.

 

Semarang, 27 Mei 2018