• Saturday, January 27th, 2024

Ujian Menulis dan Membaca

Oleh Agung Kuswantoro

Setelah khatam/berakhir belajar menulis – membaca huruf pegon dari kitab/buku yang berjudul “Tuntunan Membaca dan Menulis Arab Pegon Jilid I – III” karangan Ustad Ichsan Sardi, maka tiba saatnya untuk ujian menulis – membaca huruf pegon.

Adapun ketentuannya adalah membaca huruf pegon dari kitab tarih Nabi selama 5 menit. Kemudian, menulis huruf pegon dari sebuah kalimat selama 5 menit.

Adalah Muhammad Fathul Mubin yang sedang ujian menulis – membaca huruf pegon. Sedangkan Muhammad Syafa’atul Quddus ujiannya adalah menulis – membaca huruf hijaiyah dan menulis beberapa ayat suci Al-Qur’an.

Kami lakukan ini dengan bahagia dan semangat. Semoga ada hasilnya untuk kemudian hari. Amin. []

24 Januari 2024

Ditulis di bus saat perjalanan Rapat Kerja FEB Semarang – Malang, jam 10.45 – 10.50 Wib. (Tol Mojokerto – Surabaya).

• Saturday, January 27th, 2024

Qunut

Oleh Agung Kuswantoro

Adalah doa qunut yang sedang kami pelajari saat ini bersama Muhammad Fathul Mubin dan Muhammad Syafa’atul Quddus. Doa ini rutin, kami lafalkan usai sholat Subuh.

Tepatnya, pada saat materi madrasah saya dulu, saya menyebutnya: pelajaran fiqih. Jika sudah memahami dan lancar bacaannya, maka ujiannya adalah praktik sholat Subuh. Itulah cara kami belajar. Semoga dan insya Allah memberikan manfaat untuk kami. []

24 Januari 2024

Ditulis di tol Surabaya – Malang

Jam 11.50 – 11.55 Wib. Menuju Raker FEB UNNES di Malang.

• Saturday, January 27th, 2024

Berlogika

Oleh Agung Kuswantoro

Dalam berlogika, tak selamanya menggunakan akal sehat. Adalah Muhammad Quraish Shihab yang mengajarkan dan mempraktikkan tentang pentingnya berlogika agama. Logika agama mengarahkan kepada kebaikan. Dalam pemahaman saya, baik itu benar. Tapi benar, belum tentu baik.

Orang yang sedang menuntut ilmu, itu dianjurkan untuk makan dan minum secukupnya agar bersemangat dalam belajar. Namun, jika ia melakukan perbuatan bermalas-malasan karena sedang melakukan “ibadah” tertentu (misal: puasa bukan wajib), maka hal ini, tidak diperkenankan. Mengapa? Karena menuntut ilmu itu wajib, sehingga perbuatan orang menuju wajib (baca: menuntut ilmu), maka menjadi wajib, seperti: makan/sarapan. Itulah logika agama. Artinya, saat kita berfilsafat atau proses berpikir. Jangan lupa, gunakan pula logika agama. Insya Allah lebih menyelamatkan dunia – akhirat. Amin. []

Malang, 26 Januari 2024

Ditulis di hotel Savana, Malang, jam 08.25 – 08.30 Wib.

• Tuesday, January 23rd, 2024

Menulis Artikel (Ilmiah) Pun Butuh Keterampilan
Oleh Agung Kuswantoro

Punya artikel bukan berarti langsung bangga bisa publish di jurnal (internasional). Karena, menulis itu butuh keterampilan. Terlebih menulis di jurnal internasional. Dibutuhkan keterampilan menyunting (baca: paraphase), menyusun, dan membangun sebuah kalimat yang baik, benar, “berisi”, dan “bergizi”. Pekerjaan tersebut adalah sebuah proses.

Tulisan yang seperti ini (baca: yang sedang Anda baca), bukanlah sebuah tulisan artikel ilmiah. Tapi, tulisan populer. Saya membahasakan dengan tulisan “lepas”. Asal, ingin menulis saja.

Ada kekurangan dalam diri saya yang sangat dibutuhkan saat ini, yaitu peningkatan menulis artikel (ilmiah) dalam bahasa Inggris. Belum lagi. Kaidah referensi yang digunakan: APA (American Psycological Association), MLA (Modern Language Association), atau Harvard Style dalam jurnal tersebut.

Tahapan yang paling sederhana yang biasa saya lakukan adalah mentranslate. Setelah itu, baru melihat template dan panduan penulisan jurnal (internasional) tersebut, turnitin, dan ngecek sitasi.

Ngedit bahasa Inggris bagi saya, bukanlah hal yang mudah. Jika saya sudah merasakan kesulitan, baru menanyakan sahabat yang ahli bahasa Inggris. Setelah itu, konsultasi terkait artikel saya ini, akan dipublikasikan di jurnal mana. Susah lagi, jika kajiannya langsung menjerumus (tertuju) pada kajian tertentu, seperti pengelolaan kearsipan. Hampir dipastikan akan bermain scopus pada level Q1 dan Q2, karena kajian tersebut kebanyakan pada lever Q1 dan Q2.

Saya punya pengalaman saat submit ke jurnal bertema kearsiapan dengan scopus Q2, dimana saya tidak “sanggup” merevisi, karena deadline /waktu yang diberikan bersamaan dengan tugas-tugas kuliah yang harus dikumpulkan sewaktu studi lanjut doktoral.

Saya lebih memilih menyelesaikan tugas perkuliahan disbanding merevisi, saat itu. Seiring berjalannya waktu, saya berusaha “bangkit” lagi untuk bisa aktif menulis di jurnal internasional. Terlebih, saya masih sangat minim artikel yang ter-publish di jurnal internasional. Nama saya masih kurang “menjual“ di dunia internasional. Terlebih bidang pendidikan administrasi perkantoran yang saya geluti.

Semoga “peluru-peluru” artikel saya yang akan “ditembakkan” di jurnal internasional bisa mengenai sasaran scopus Q1, Q2, Q3, dan Q4 atau proseding internasional terindeks scopus. Memang masih banyak kekurangan dalam diri saya. Tapi, insya Allah kata guru saya, jika kita “bergerak” maka kita akan menemukan sebuah hasil. []

Semarang, 23 Januari 2024
Ditulis di ruang pendidikan ekonomi FEB UNNES, jam 08.00 – 08.15 Wib.

• Thursday, January 18th, 2024

Membaca – Menulis

Oleh Agung Kuswantoro

Adalah Muhammad Fathul Mubin (Mubin) yang sedang belajar dengan saya tentang menulis huruf pegon. Metode yang saya gunakan adalah membaca dan menulis secara langsung dari buku yang saya gunakan. Saya menggunakan buku karangan ustad Ichsan Sardi berjudul “Kitab Tuntunan Membaca dan Menulis Arab Pegon jilid I-III” yang saya beli di toko kitab Kartini, Rembang.

Adanya buku ini menjadikan saya mudah dalam menyampaikan pesan/materi yang saya sampaikan. Itulah cara saya menyampaikan materi kepada Muhammad Fathul Mubin.

Beda dengan Muhammad Syafa’atul Quddus, dimana saya harus menulis dulu sebuah ayat yang ada di surat Al-Qur’an. Baru, Syafa – panggilan Muhammad Sayfa’atul Quddus – menirukan huruf yang ditulis dibawah contoh tulisan saya. Materi untuk Syafa’ adalah materi dasar dalam menulis huruf hijaiyah dengan contoh ayat Al-Qur’an. Sedangkan untuk Mubin, materinya adalah membaca/menulis pegon mulai dari a, i, u, e, o, pepet, huruf p, huruf v, nya, dan menulis/membaca kalimat dalam tulisan pegon.

Semoga apa yang saya lakukan kepada ke-2 santri saya ini, bisa istikamah, sehingga harapannya bisa menulis dan membaca huruf hijaiyah dan huruf pegon dengan benar. []

Semarang, 16 Januari 2024

Ditulis di Gedung Kearsipan UNNES jam 14.00 – 14.10 Wib.

• Monday, January 08th, 2024

Menokohkan

Oleh Agung Kuswantoro

Dalam hidup bermasyarakat, menurut pakar menyebutkan, ada istilah menokohkan. Menokohkan adalah seseorang yang mengatakan dan memposisikan diri sebagai sosok atau manusia yang memiliki peran dalam kehidupan bermasyarakat. Bisa jadi ia/tokoh yang menokohkan diri tersebut, tidak aktif dalam kegiatan masyarakat tersebut.

Misal: ada sosok yang menokohkan (diri) Kiai. Namun, faktanya Kiai (yang menokohkan tersebut) sebenarnya tidak pernah sholat lima waktu di Masjid yang berada di lingkungan masyarakat. Atau, yang bersangkutan tidak pernah memberikan khotbah sholat Jum’at, tidak pernah memberikan kultum, atau tidak pernah memberikan pengajian/nasihat kepada masyarakat/jamaahnya.

Lagi: ada sosok yang menokohkan (diri) penasihat/engurus Masjid. Namun, faktanya: sosok yang menokohkan pengurus/penasihat Masjid tersebut, sama sekali tidak aktif hadir sholat lima waktu di Masjid yang ia jabat. Meskipun, ia tidak aktif sholat di Masjid yang ia jabat, namun ia rajin memberikan masukan mengenai pelaksanaan apa pun yang terjadi di Masjid yang ia tidak pernah “sholati”.

Jika melihat kasus tersebut, sebagaimana kita—manusia biasa—yang dalam “hati” kurang “sreg” dengan keadaan tersebut, maka lebih baik, menghindari dari tempat yang “menokohkan” tersebut. Atau, berperilaku diam saja. Tujuannya, agar yang bersangkutan selamat.

Mengapa? Orang yang menokohkan tersebut, pasti akan lebih aktif dan dominan dalam Masyarakat tersebut, meskipun sebenarnya ia tidak memiliki peran sama sekali sebagai Kiai atau pengurus/penasihat Masjid. Hanya saja, ia hanya menokohkan (diri), namun masyarakat tidak menganggapnya sebagai tokoh masyarakat.

Yang benar adalah sosok yang ditokohkan oleh masyarakat sesuai ilmu dan kemampuannya. Misal: ada orang ahli agama rajin ke Masjid, maka masyarakat akan menokohkan dia sebagai tokoh agama dengan menjadikan imam atau ustad, khotib dalam masyarakat tersebut. Karena yang bersangkutan rajin sholat lima waktu di Masjid dan memiliki ilmu, ia aktif khotib di Masjid, ia aktif memberikan kajian/nasihat kepada jamaah di Masjid, dan contoh teladan yang santun untuk patut dicontoh oleh masyarakat.

Demikian pula masyarakat yang memiliki contoh tokoh masyarakat sebagai pengurus/penasihat Masjid yang baik, maka: pengurus/penasihat Masjid tersebut akan rajin beribadah di Masjid tersebut dan memperhatikan kondisi situasi Masjid, serta bersosialisasi dengan para jamaah.

Mari, kita belajar menjadi pribadi yang baik, agar menjadi tokoh untuk diri sendiri saja dengan memperbanyak ilmu dan mengamalkan ilmu tersebut, tanpa bermaksud menokohkan atau ditokohkan menjadi diri yang baik di Masyarakat. Biarlah Allah yang menilai!

Semarang, 7 Januari 2024

Ditulis di Rumah jam 04.36 – 04.50 Wib.

• Monday, January 01st, 2024

Masjid (1)
Oleh Agung Kuswantoro

Ada sholat, di situlah fungsi Masjid berperan. Bisa jadi, tidak ada sholat, maka kebendaan Masjid tidak ada. Sehingga, kualitas sholat jamaah bisa menunjukkan kemakmuran suatu Masjid.

Sama halnya, isi/pesan Khotib saat sholat Jumat juga, menunjukkan kualitas suatu Masjid. Kualitas Khotib mewakili jamaah/masyarakat dalam memahami agama Islam di lingkungannya.

Tegaknya suatu Masjid, terlihat dari kualitas pelaksanaan sholat lima waktu. Perhatikanlah: ada tidak jadwal Imam dan muadzinnya? Disitulah, letak manajemen Masjid. Oleh karenanya, Masjid yang terbaik adalah Masjid yang didirikan atas dasar takwa dan iman. Semoga takwa dan iman ada dalam diri kita semua. Amin.

Semarang, 1 Januari 2024
Ditulis di rumah, Jam 03.00-03.15 Wib.

• Friday, December 29th, 2023

Ibu: 99 % Susah, 1 % Berkah
Oleh Agung Kuswantoro

Menjadi seorang Ibu, bukanlah hal yang mudah. Karena ada fase menikah dan melahirkan seorang anak. Lalu, memelihara dan mendidik anaknya.

Demikian juga, seseorang menghadapi Ibu, bukanlah hal yang mudah, karena Ibu memiliki nurani yang “tajam” dibanding seorang Bapak (dimana wanita lebih pandai menggunakan perasaan dibanding laki-laki). Oleh karenanya, saya mengatakan bahwa menghadapi Ibu itu susah, tetapi berkah.

Mengapa saya mengatakan kalimat tersebut? Karena apa pun kondisi Ibu, sebagai manusia (apalagi anak) harus dekat dengan orang tua. Pendekatannya adalah hati (baca: iman). Bukan, pendekatan akal. Jika menggunakan pendekatan akal, dalam posisi susah, maka harus ditinggalkan. Namun, dalam judul saya: jika susah, maka ada keberkahan. Bahkan, pahala yang besar saat “menghadapi” Ibu. “Menghadapi” memiliki arti berkomunikasi dan berinteraksi.

Dalam berinteraksi dan berkomunikasi seseorang dengan Ibu, bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan ilmu. Pastinya, tidak cukup ilmu yang didapatkan saat di sekolah. Tetapi ilmu kehidupan.

Judul tulisan saya, bisa jadi ekstrem atau tidak lazim bagi kalangan umum. Namun, dalam kasus tertentu itu terjadi. Ingatkah istri Fir’aun yang solehah bernama Asiyah? Dimana, Asiyah dijamin masuk surga oleh Allah SWT, padahal suaminya (Fir’aun) sama sekali tidak taat kepada Allah Swt. Tercatat dalam tarikh/sejarah bahwa Asiyah dua kali menolak keinginan Fir’aun yaitu (1) hendak dipinang orang yang menganggap dirinya sebagai Tuhan dan (2) Asiyah tidak mau membunuh anak laki-laki yang ditemukan di keranjang.

Contoh kasus di atas, menunjukkan bahwa “kualitas” keimanan Asiyah sangat kuat, sehingga walaupun penolakan kepada Fir’aun (baca: suaminya), tetapi Fir’aun menyetujui. Artinya, dalam diri Asiyah (baca: Ibu) ada 99% kesusahan, tetapi ada 1 % keberkahan.

Tidak semua wanita bisa menempatkan posisi seperti Asiyah. Itulah sekelumit tentang Ibu yang berkah. Semoga, kita belajar dari prinsip tersebut. Tidak selamanya susah itu menyedihkan, pasti didalamnya ada keberkahan. []

Semarang, 28 Desember 2023
Ditulis di Gedung UPT Kearsipan jam 14.00 – 14.20 Wib.

• Friday, December 22nd, 2023

Ngaji Kitab Safinatunnajah Ala Mahasiswa
Oleh Agung Kuswantoro

Dulu, saya pernah belajar kitab Safinatunnajah di Madrasah Diniyah Hidayatussibyan, Pelutan, Pemalang dengan Ustad Rofiqul ‘Ala (almarhum). Usia saya waktu itu kurang lebih 10 – 12 tahun. Sewaktu saya belajar kitab fiqih klasik tersebut, jujur saya belum/tidak paham sepenuhnya. Adapun faktor ketidakpahaman saya karena belum lancar membaca dengan tulisan pegon dan penggunaan bahasa Jawa halus dalam kitab tersebut dalam maknanya. Dengan keterbatasan saya tersebut, tidak masalah. Bagi saya, (minimal) pernah belajar kitab tersebut.

Seiringnya berjalannya, ternyata saya belajar kitab Safinatunnajah lagi dengan para mahasiswa S1 dan S2. Pastinya, keterbatasan saya yang dulu – belum lancar bahasa Jawa halus yang lemah dan belum lancar membaca huruf pegon – saya perbaiki. Bahkan, saya mengutamakan keilmuan yang terkandung dalam kitab tersebut dan perluasan studi kasus dari tiap pasal, mengingat yang mengaji adalah orang dewasa/mahasiswa S1 dan S2, sehingga pola pikir dan kritisnya tajam. Termasuk, pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh mahasiswa itu sangat kritis berdasarkan kasus dan pengalaman mereka. Oleh karenanya, saya membaca kitab fiqih lainnya (Fathul Mu’in) sebagai penguat dalam studi kasus.

Demikianlah cara belajar kami, dimana kitab yang sederhana mampu “disajikan” pada level tertentu (dari SD hingga Perguruan Tinggi). Kitab ini masih bisa dipelajari, oleh semua kalangan dengan pemahaman dan contoh yang sesuai dengan yang mempelajari. Terlebih di lingkungan perguruan tinggi yang saya tempati – notabene umum—bukan berdasarkan perguruan tinggi ilmu berdasarkan agama Islam, namun kitab sederhana ini, masih layak dipelajari dihadapan mahassiwa. []

Semarang, 21 Desember 2023
Ditulis di Ruang ujian skripsi pendidikan ekonomi FEB UNNES jam 08.00 – 08.30 Wib.

• Wednesday, December 13th, 2023

Berziarah dan Berliterasi

Oleh Agung Kuswantoro

Salah satu ucapan syukur atas penyebar agama Islam di tanah Jawa ini adalah berziarah. Tercatat  di Jawa Tengah ada 3 wali yaitu Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Kadilangu. Kami menziarahi makam penyebar agama Islam tersebut. Pastinya, berdoa kepada Allah atas nikmat ajaran Islam dari waliyullah tersebut.

Selain berziarah, tak lupa kami juga melakukan kegiatan literasi dengan berkunjung ke Toko buku dan kitab Menara Kudus. Toko buku dan kitab Menara Kudus adalah toko penjual kitab-kitab dan buku yang terkenal dalam pembelajaran Madrasah. Termasuk, kitab yang selama ini kami pelajari. Beberapa kitab dan buku, kami beli dan baca untuk bisa dipahami kandungan isinya.

Lokasi antara makam Sunan Kudus dengan Toko kitab Menara Kudus itu dekat, jadi tidak usah membutuhkan kendaraan, namun cukup jalan kaki saja. Itulah cara kami bersyukur atas segala kenikmatan Allah yang telah diberikan. Mari, kita tetap bersemangat berdoa kepada penyebar agama Islam dan tetap semangat berliterasi dengan membaca kitab/buku. []

Semarang, 11 Desember 1977

Ditulis di Rumah, jam 18.58 – 19.05 Wib.