• Monday, March 14th, 2016

 

Jessica, tersangka kasus tewasnya Wayan Mirna Solihin (Mirna) akibat minum es kopi di Kafe Olivier yang mengandung racun sianida sebesar 15 gram pada (6/1). Teka-teki pembunuh Mirna masih simpang siur, meskipun polisi sudah menetapkan Jessica Kumolo Wongso (Jessica) sebagai tersangka pada Senin (30/1). Penetapan Jessica sebagai tersangka oleh polisi pun dibutuhkan alat bukti yang kuat, polisi mengklaim memiliki empat alat bukti.

Pihak kepolisian mengatakan kasus ini membutuhkan bukti yang mampu mengungkap kematian Mirna, mengingat saat kejadian hanya beberapa orang yang terlibat dan tanpa kontak fisik. Oleh karenanya, alat bukti itulah yang akan mengungkap, seperti kamera pengawas (CCTV), paper bag, peralatan penyeduh kopi, celana hitam Jessica, bahkan dalam penggeledahan Rabu (2/2) laptop, CPU, dan tisu dibawa oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. CCTV dan jelana hitam menjadi alat bukti yang ampuh bagi kepolisian untuk menyelidiki kasus ini. Celana panjang robek yang belum ditemukan dicari oleh polisi untuk kelengkapan penyelidikan, sedangkan CCTV tidak diputarkan dan ditunjukkan kepada Jessica, akan ditunjukkan saat persidangan di pengadilan.

Bicara

Benda-benda tersebut pada hakikatnya sama dengan benda yang lain. Namun benda tersebut memiliki peran yang sangat besar dalam moment tersebut. “Senjata” yang digunakan oleh polisi adalah benda-benda tersebut. Mengapa benda tersebut? Karena benda-benda tersebut mampu berbicara, saat berbicara tidak berdusta. Ia jujur terhadap kejadian yang menimpanya. Ia selalu mengatakan apa adanya setiap peristiwa yang dialaminya.

Benda-benda tersebut menurut Vernon B. Santan (1984) adalah warkat. Warkat merupakan catatan tertulis, gambar, atau rekaman yang memuat sesuatu hal atau peristiwa yang digunakan orang sebagai pengingat (alat bantu ingatan). Warkat otomatis menjadi arsip begitu diproses untuk penyelesaian kegiatan organisasi (Sularso Mulyono, 2012,5).

Warkat sebagai bagian arsip mempunyai empat kegunaan yaitu informasi, yurudis, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Misalnya, CPU rusak, speker, laptop Jessica yang dibawa oleh penyidik di rumahnya, digunakan untuk mencari informasi hubungan antara Jessica dan Mirna. Data-data yang tersimpan didalamnya digunakan polisi untuk mencari informasi mengenai keintiman diantara mereka, saat di Australia, atau dokumen lainnya. Tisu-tisu bekas mengandung informasi mengenai bekas-bekas kopi Jessica sepulang dari Cafe Olivier.

Hal yang terpenting dari warkat tersebut adalah CCTV. CCTV memberikan informasi yang detail runtutan peristiwa tersebut. CCTV sebagai arsip yang memiliki nilai guna informasi akurat. Menurut penyelidik kesaksian Jessica dengan hasil rekaman CCTV berbeda, sehingga pada Ahad (7/2) polisi mengadakan rekonstruksi ulang (kedua kalinya) berdasarkan versi Jessica dan penyelidik polisi.

Ini menunjukkan orang bisa berbohong atau mengelak suatu kejadian, namun arsip tidak pernah bohong. Mengapa polisi sampai membuat rekonstruksi kedua versi rekaman CCTV? Karena CCTV dalam kasus ini memiliki nilai guna yuridis. Nilai guna hukum yang kuat. Ia mampu merekam suatu peristiwa dan sebagai bahan atau alat bantu pengingat. Jika orang yang disekitarnya melupakan kejadian tersebut, namun dengan diperlihatkan CCTV akan membuka memori peristiwa tersebut.

Pada peristiwa pertama berdasarkan pada keterangan Jessica. Jessica adalah manusia. Manusia memiliki dua ciri dalam bicara, jujur dan bohong. Bahkan lupa, jika ditanya mengenai sesuatu, oleh karenanya polisi mengadakan reka ulang kedua versi CCTV. Berbeda dengan arsip, ia selalu berkata jujur, dalam peristiwa tersebut. CCTV akan mengatakan peristiwa yang sesungguhnya.

Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya Kombes Krishna Murti mengatakan bahwa tersangka punya hak ingkar. Hal ini menunjukkan bahwa dalam diri adalah manusia. Dalam dirinya memiliki sifat saat bicara jujur dan bohong (ingkar). Berbeda dengan saksi (arsip) berupa benda yang disekitarnya pasti tidak bisa bicara ingkar.

Sebagai penutup, saya mengutip pernyataan Presiden Panama Ricardo J. Alafro (1937) yaitu pemerintah tanpa arsip ibarat tentara tanpa senjata, ibarat dokter tanpa obat, ibarat petani tanpa benih, dan ibarat tukang tanpa alat. Demikian juga, ibarat polisi tanpa pistol. Arsip mampu berbicara, meskipun ia benda mati. Ia mampu merekam suatu peristiwa. Ia tak terpisahkan, handal, jujur, abadi, dan tak pernah lupa terhadap peristiwa yang menimpa padanya.

 

Agung Kuswantoro, Dosen Pendidikan Administrasi Perkantoran Fakultas Ekonomi dan koordinator layanan kearsipan Universitas Negeri Semarang

Artikel pernah dipublikasikan di facebook penulis.

 

 

 

Category: Uncategorized
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Leave a Reply