Archive for ◊ May, 2022 ◊

• Friday, May 06th, 2022

Alhamdulillah Masih Diingat dan Dianggap Baik Oleh Mereka

Oleh Agung Kuswantoro

Adalah Mas Dafa dan Mba Nisa/Mba Anis—panggilan akrab saya kepada kedua (alumni) santri Madrasah ‘Aqidatul ‘Awwam—yang berkunjung ke rumah saya pada saat suasana Idul Fitri 1443 Hijriah ini. Saat ke rumah ada satu perbincangan yang menarik yaitu “selalu ingat saat membuka kitab Juz ‘Amma yang Pak Agung bagikan kepada saya”, ujar Mba Anis kepada saya.

 

Lalu, saya (Mba Anis) dapat tambahan ilmu-ilmu lain—seperti tauhid, fikih, tajwid, praktik solat, dan ilmu-ilmu yang didapat saat Madrasah—hingga saat ini sulit didapatkan ditempat tinggal sekarang (luar Semarang). Sehingga, hal tersebut sangat mengena bagi Mba Anis dan Mas Dafa. Terlebih, model pembelajaran yang berkesan: “ada menulis, membaca, dan melafalkan. Tidak hanya, ngaji saja”, kata Mas Dafa sambil tersenyum.

 

Itulah pertemuan saya dengan kedua santri alumni Madrasah ‘Aqidatul ‘Awwam di rumah saya. Saat mereka dating, saya ditemani istri saya—Lu’lu’ Khakimah—yang juga Ustadah di Madrasah berlokasi di Sekaran tersebut. Sebelum Mba Anis pulang ke kampung halaman dan Mas Dafa akan memulai mondok, saya memberikan kenang-kenangan berupa buku “perjuangan” yang saya tulis dari kumpulan khutbah di Masjid Nurul Iman Sekaran, Gunungpati, Semarang selama 3 tahun. Adapun buku tersebut berjudul “Bicara Islam di Sekitar Kita”.

 

Semoga sukses dunia-akhirat untuk kedua dan santri alumni (lainnya) Madrasah ‘Aqidatul ‘Awwam. Mohon doanya kepada Bapak Ibu, agar ada kebaikan terkait kelanjutan Madrasah ‘Aqidatul ‘Awwam, karena menyampaikan sebuah ilmu di masyarakat, kata orang bijak itu, tidaklah mudah. Semoga kita termasuk kategori orang yang berilmu, syukur termasuk kategori yang peduli dan menyebarkan ilmu di masyarakat. Amin. [].

 

Semarang, 5 Mei 2022

Ditulis di Rumah Semarang jam 21.00-21.20 Wib, usai mudik dari Rembang-Pemalang.

• Wednesday, May 04th, 2022

Memanfaatkan Lingkungan
Oleh Agung Kuswantoro

Adalah Muhammad—seorang Nabi—yang sangat pandai dalam memanfaatkan lingkungan. Walaupun hidup pada waktu zaman jahilyah/kebodohan, namun ia tidak menjadi manusia yang bodoh. Justru, Nabi Muhammad memiliki sifat wajib yaitu fathonah (cerdas).

Kurikulum dalam lingkungan jahiliyah adalah tidak mengakui wanita sebagai makhluk yang memiliki kedudukan/martabat, miras/minuman keras ada di mana-mana, masyarakat yang suka berbicara “kotor” atau mengadu domba, antar golongan/suka memiliki kebiasaan berperang (tidak suka bermusyawarah), judi menjadi suatu kebiasaan, dan kurikulum yang buruk lainnya.

Nah, bagaimana dengan lingkungan kita sekarang? Bisa jadi “suasana” ke-jahiliyah-an secara hakikat, tetap ada. Misal: jika kita akan solat duhur secara berjamaah usai hari raya Idul Fitri terasa “aneh”, mengikuti kajian/majlis jarang, ucapan para tetangga yang “kotor”, perbuatan sahabat yang jauh dari tuntunan agama, dan “pemandangan” yang kurang baik dari perbuatan orang tua yang dilihat oleh anak di lingkungan kita.

Jika kita ada dalam kategori yang termasuk dalam lingkungan tersebut, maka apa yang kita lakukan? Jawabannya: keluar dari lingkungan tersebut atau mengambil manfaat (yang baik) dari lingkungan tersebut. Saya yakin, tidak 100% lingkungan tersebut itu, sangat buruk. Ambillah sisi positifnya saja, jika kita tidak mampu untuk “pindah” dari lingkungan tersebut.

Misal: di tempat yang buruk, ada Masjid atau orang yang baik (satu orang), maka dekatilah orang tersebut. “Timbalah” ilmu orang tersebut di tempat mulia (Masjid) yang biasa ia gunakan dalam kegiatan kebaikan; datangilah satu dari tempat yang baik tersebut, lalu amati apa yang dilakukan oleh tersebut.

Mungkin diantara kita—ada yang jadi orang tua—dimana, setiap orang tua belum tentu menjadi orang tua yang baik, seperti ngajari ngaji. Tetapi, ada lingkungan yang baik yaitu Masjid yang melakukan kegiatan ngaji, maka orang tua tersebut memiliki kewajiban mengantarkan anak tersebut pergi ke Masjid agar anak bisa ngaji. Pastinya, dalam kegiatan ngaji, ada kegiatan baik mengikutinya. Misal: berdoa, menulis, membaca, dan mendengarkan lafal-lafal Allah Swt.

Seperti itulah, caranya dengan memanfaatkan lingkungan sekitar. Jika memang sudah tidak sesuai dengan keyakinan hati lagi untuk berbuat baik, maka pilihan terakhir adalah pindah dari tempat tersebut/berhijrah. Tujuannya agar menemukan sesuatu yang baru dan bernilai positif/ibadah, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dengan hijrah ke Madinah. Dimana, kondisi Mekkah itu tidak baik saat itu. Semoga kita pandai dalam memanfaat lingkungan yang baik. Amin. []

Pemalang, 3 Mei 2022
Diitulis di Rumah Pemalang lagi mudik, jam 12.30-13.00 Wib.