Kajian Arbain Nawawi (34): Siapakah Jiwa (Seorang) Yang Terpelihara?
Oleh Agung Kuswantoro
Kajian arbain nawawi kali ini adalah hadist ke-14. Adapun makna hadist tersebut adalah: “Dari Ibnu Mas’ud r.a., dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Tidak halal darah seseorang Muslim yang telah bersaksi tidak ada Ilah, kecuali Allah, dan aku sebagai utusan Allah, kecuali disebabkan, salah satu di antara tiga hal, (yaitu) ats-tsayyib az-zaaniy (orang yang sudah menikah, janda, atau duda yang berzina), jiwa dengan jiwa (membunuh), dan orang yang meninggalkan agamanya, dia memisahkan diri dari jamaah”.
Kiai Farid (2020) mengatakan hadits ini memuat beberapa permasalahan penting sebagai berikut. Pertama, hadist ini mengajarkan bahwa seorang yang sudah menjadi Muslim telah terpelihara dan terjaga darahnya, yaitu nyawanya. Mereka menjadi terhormat karena keislamannya. Telah menjadi ijma’ bahwa haram hukumnya seorang Muslim dibunuh tanpa hak. Jika sengaja melakukannya, dia termasuk pelaku dosa besar dengan ancaman neraka, bahkan kekal di dalamnya. Allah azza wa jalla berfirman: “Barang siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja maka balasannya Neraka Jahannam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya dan melaknatnya, serta menyediakan dzab yang besar baginya.” (Qs. an-Nisa: 93).
Dari beberapa sahabat, seperti Ibnu mas’ud r.a. dan Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. bersabda: “Mencela seorang Muslim adalah fasik dan membunuhnya adalah kafur.”
Kedua, ada tiga sebab – menurut hadis tersebut – seorang Muslim boleh diperangi (dibunuh). Jika tiga sebab ini terjadi – walaupun hanya salah satunya – dia berhak ditumpahkan darahnya, namun hal tersebut harus dilakukan setelah mendapat vonis dari mahkamah syari’at secara meyakinkan dan yang mengeksekusi adalah Negara. Seorang individu sangat tidak dibenarkan main hakim sendiri. Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengomentari hadist yang kita bahas ini, “Kemudian, jika terjadi sesuatu dari tiga hal ini, bukanlah seseorang dari rakyat yang membunuhnya. Sesugguhnya, hal itu adalah tugas imam (pemimpin) atau wakilnya.
Ketiga hal tersebut, yaitu seorang yang sudah menikah, atau janda, atau duda yang berzina; seorang yang membunuh orang lain secara tidak haq; orang yang meninggalkan agama dan jamaahnya (murtad). Syekh Isma’il al-Anshari rahimahullah menjelaskan, “Kecuali, disebabkan salah satu di antara tiga hal, yaitu perbuatan yang dengannya membuat imam (Pemimpin) wajib memeranginya karena di dalamnya terkandung kemaslahatan umum, yaitu menjaga jiwa, menjaga nasab, dan agama.
Sebenarnya ada sebab lain selain tiga hal tersebut yang membuat seseorang boleh diperangi sebagaimana tertera dalam beberapa hadist, ketetapan para fiqaha, dan kenyataan pelaksanaan syari’at pada masa awal Islam, yaitu setelah adanya keputusan Negara dan dieksekusi pula oleh Negara. Hal-hal tersebut, seperti menolak zakat, meninggalkan shalat wajib (menurut Ahmad dan asy-Syafi’i), serta memperolok-olok Allah SWT, Rasul-Nya, dan al-Qur’an – bahkan sebagian tabi’in juga memasukkan para pencela sahabat Rasulullah swa. Sebagai kelompok yang boleh diperangi – begitu juga para pengaku nabi baru, pelaku liwath (homoseks) dan Muslim yang memata-matai kaum Muslimin sendiri.
Ketiga, hadist ini menegaskan kembali ketinggian nilai seorang Muslim. Oleh karena itu, setiap Muslim harus memperhatikan perilaku saudaranya. Jangan sampai menyakitinya, baik perasaan, fisik, maupun hartanya, serta dilakukan oleh lisan, tulisan, ataupun tangan. Semua adalah perbuatan terlarang secara pasti.
Keempat, secara tersirat (mafhum mukhalafah), menunjukkan bahwa orang kafir (non-muslim) tidaklah terjaga darahnya kecuali jika mereka termasuk kafir mu’aahad, kafir dzimmi, dan kafir musta’man.
Bersambung.
Semarang, 28 Agustus 2022
Ditulis di Rumah jam 20.00 – 20.15 Wib.
Sumber: Hasan, F.N. 2020. Syarah Hadist Arba’in An-Nawawi. Depok: Gema Insani.
Recent Comments