Archive for the Category ◊ Uncategorized ◊

• Saturday, June 26th, 2021

Selamat Menuju Perjalanan Tarikh Berikutnya, Ustadz Karim

Oleh Agung Kuswantoro

 

Terima kasih Ustadz Karim telah mengajariku ilmu tarikh dengan kitab Khulasoh Nurul Yaqin dari Juz awal/satu hingga juz akhir/tiga. Saya jadi paham mengaji tarikh dengan cara mengabsahi dan memahami setiap makna dalam kitab tersebut. Ngaji sejarah, namun dengan membaca dan memaknaiknya kitab. Itulah kesan yang saya dapatkan dari model pembelajaran Ustadz Karim.

 

Biasanya orang belajar tarikh/sejarah lebih banyak bercerita atau “oral” melalui mulutnya. Kemudian, orang mendengarkan atas penjelasan dari orang yang menyampaikan. Namun, Ustadz Karim dalam model pembelajarannya, tidak seperti itu. Ustadz Karim model pembelajarannya dengan model membaca, mengabsahi, dan menerangkan dari isi kitab Kholash Tarikh.

 

Lalu, dalam penjelasannya sangat “ceto” dengan khas bahasa “logat” Pemalang. Tatapan mata dan gerakan tubuh ke santri saat menjelaskan dari isi kitab tersebut. Suaranya yang tegas dalam memaknai dan menerangkan dari pesan kitab tersebut, menjadi ciri khas Ustadz Karim.

 

Selamat jalan Ustadz menuju bab tarikh kehidupan berikutnya. Insya Allah, Ustadz di sana (Akhirat) akan mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan yang hakiki lebih dibanding di dunia ini. Semangat mengajar dan mengayuh sepeda ke Salafiah dari rumah Ustadz ke Ponpes Salafiah Pemalang (Pulang-Pergi) menjadi semangat hidup saya dalam menggapai hidup yang penuh ketenangan. Dengan beramal soleh melalui menyampaikan ajaran agama berupa (menyampaikan) ilmu tarikh menjadikan pembelajaran kepada saya, bahwa hidup harus memberikan “nilai” kepada sesama. Berbagi kepada sesama dari apa yang kita miliki. Berbagi kepada sesama tidak harus materi, namun psikis pun bisa.

 

Ustadz Karim adalah sosok yang sederhana dalam kehidupannya. Kala itu (tahun 1996-1998) saya diajar ilmu tarikh di Salafiah, Almarhum dengan sepedanya, mengayuh sendiri. “Ngontel”, istilahnya. Semoga setiap “genjotan” kaki pedalnya menjadikan pahala yang tak ternilai bagi Allah. Dan, suara yang tegas menjadikan amal yang tak terputus dari penjelasan yang Almarhum sampaikan kepada santri-santrinya.

Semoga Ustadz Karim dimudahkan oleh Allah menuju “perjalanan” tarikh kehidupan berikutnya. Semoga ilmu yang disampaikan kepada santri-santrinya bermanfaat dan bisa disampaikan kepada sesama di lingkungannya masing-masing. Ilmunya bisa “berputar” dan disampaikan kepada “santri-santri” berikutnya. Amin.

 

Ditulis di rumah orang tua yang beralamat di Pelutan Pemalang, 27 Juni 2021

Jam 04.40 – 05.00 WIB.

• Monday, June 21st, 2021

 

Ngaji “Nata Ati”
Oleh Agung Kuswantoro

Antara tahun 2000-2001, saya pernah aktif mengikuti kajian kitab Ihya Ulumuddin di Masjid Agung Pemalang. Kajian dilakukan pada jam 09.00 11.00 WIB tiap hari Ahad dengan pemateri/pengampu Kiai Masruhi (Pelutan) dan Kiai Dimyati (Comal).

Waktu itu, usia saya sekitar 18 – 19 tahun saat kajian tersebut. Saat saya mengikuti kajian tersebut, tidak memiliki kitab Ihya Ulumuddin. Saya hanya mengaji jiping/ngaji nganggo kuping (baca:mengaji dengan menggunakan telinga). Alias mengaji dengan mendengarkan dari pemateri yang disampaikan.

Ketika mendengar pun—waktu itu—saya belum paham apa yang saya dengar dari penjelasan kedua pemateri. Artinya, materi-materi yang disampaikan dalam kitab tersebut, belum saya pahami sepenuh hati. Jadi, saya asal ngaji saja. Paham, gak paham itu, urusan lain.

Santri yang mengaji kitab Ihya Ulumuddin waktu itu, kebanyakan para “senior” dari beberapa daerah di Pemalang. Mereka dari kalangan ustad dan santri berpengalaman dalam belajar agama dari pelosok kota/desa di daerah yang berjulukan Kota Ikhlas.

Di situlah saya menangkap cara Kiai dalam penyampaian materi. Kiai Masruhi – yang notabene berprofesi sebagai Ketua Hakim Pengadilan Agama kabupaten Pemalang waktu itu– sangat tegas dalam menjelaskan makna-makna kandungan kitab Ihya Ulumuddin. Tas tes tes, kaya gitulah dalam menerangkan.

Bahkan, dalam membuat contoh itu, lebih realitas dan kekinian. Model dalam membaca, mengabsahi, dan memaknai kitab Ihya Ulumuddin yaitu membacakan perlafal hingga beberapa baris, baru menerangkan maknanya. Dalam pemaknaannya pun, sering menggunakan bahasa Indonesia.

Biasanya, santri saat mengabsahi/mengartikan dalam bahasa Jawa. Namun, kali ini ada beberapa lafal/kalimat menggunakan bahasa Indonesia. Kiai Masruhi biasanya menyampaikan pada sesi I (jam 09.00 – 10.00). Jam 10.00 – 10.15 WIB, istirahat.

Jam 10.15 WIB masuk kajian sesi II oleh Kiai Dimyati dari Comal. Kiai Dimyati dalam menyampaikan sangat halus dan berhati-hati sekali dalam kaidah Nahwu dan Sorof-nya. Setiap lafal, beliau maknai secara bahasa dan istilah.

Belum lagi, Kiai Dimyati menerangkan suatu kalimat—dari lafal-lafal yang ada dalam kitab Ihya Ulumuddin—yang dibacakannya. Setelah itu, menerangkan isi kandungan yang dibaca olehnya.

Kiai Dimyati memiliki karakteristik halus dalam penyampaiannya. Target mendapatkan materi banyak, bukan tujuan utama yang penting dapat dipahami oleh santri. Kurang lebih seperti itu, gaya Kiai Dimyati dalam suatu kajian.

Kajian tersebut masih berlangsung saat usia saya memasuki 22 tahun. Atas izin Allah, saya dapat membeli kitab Ihya Ulumuddin versi kitab kuning 4 jilid di Toha Putra Semarang. Uang hasil dari kerja saya—waktu itu masih berprofesi sebagai guru—dengan gaji yang “amat tak seberapa”. Saya belanjakan kitab Ihya Ulumuddin saja. Tujuannya, agar saya dapat mengaji dengan mengabsahi secara langsung. Tidak jiping lagi.

Ternyata, kajian kitab Ihya Ulumuddin di tahun 2006 masih berlangsung. Namun, saya ketinggalan banyak bab. Karena, 1 tahun saya studi/belajar di UNNES dan bekerja sebagai guru di Semarang. Walaupun, ketinggalan banyak bab, saya tetap semangat mengaji. Setiap kali pulang Pemalang – tahun 2006 hingga 2007 – saya menyempatkan untuk mengkaji kitab Ihya Ulumuddin.

Oh ya, kajian kitab Ihya Ulumuddin ini—waktu itu—disiarkan langsung di Stasiun Radio Widuri Pemalang. Ibu dan Kakak saya, biasanya mengikuti kajian ini dari radio di rumah.

Tahun 2021, saya kurang tahu pastinya, apakah kajian Ihya Ulumuddin di Pemalang masih atau tidak. Harapannya, kajian yang berisi pesan-pesan kebaikan itu masih berlangsung. Meskipun, saya sudah berdomisili di Semarang.

Melalui kitab Ihya Ulumuddin, saya dituntun untuk belajar “nata ati”. Banyak ilmu-ilmu yang saya dapatkan dari kitab karangan Imam Gozali tersebut. Kitab ini menjadikan saya, lebih hati-hati dalam memaknai sebuah kehidupan. Kitab Ihya Ulumuddin menuntun seseorang agar “menghidupkan” ilmu-ilmu Allah di dunia ini.

Alhamdulillah, saat ini, tahun 2021, saya masih mengaji kitab Ihya Ulumuddin secara daring yang diampu oleh Kiai Ulil Absor Abdullah. “Gaya” penyampaian Kiai Ulil Absor Abdullah sepintas seperti Kiai Masruhi (dulu saat saya mengaji) yang lebih kekinian dalam menafsirkan, memaknai, dan memberikan contoh.

Saya sangat bersyukur masih bisa mengaji lagi kitab tersebut, hingga kini. Bersyukur juga, bisa bertemu dengan kiai-kiai yang berilmu dan beramal baik seperti Kiai Masruhi, Kiai Dimyati dan Kiai Ulil Absor Abdullah. Tidak sembarang orang bisa mengaji kitab Ihya Ulumuddin ini. Karena, membutuhkan “hati yang telah tertata”. Hati yang “didandani” agar menjadi lebih baik. Itulah, inti belajar kitab Ihya Ulumuddin.

Semoga guru-guru saya yang mengajarkan kitab ini, selalu sehat dan diberi keberkahan dalam hidupnya. Itulah doa saya dari santri yang waktu itu mengaji dengan jiping.

Semarang, 19 Juni 2021
Ditulis di Rumah Jam 05.00 – 05.20 WIB.

• Thursday, June 17th, 2021
  1. more…
• Monday, June 14th, 2021

Mengistikamahkan Mengaji
Oleh Agung Kuswantoro

Rutin adalah salah satu kunci kesuksesan dalam menjalankan sesuatu. Sebut saja, mengaji. Mengaji adalah salah satu aktivitas yang ingin saya pertahankan dalam kehidupan saya.

Beberapa hari yang lalu, saya pernah menulis tentang lingkungan yang kurang mendukung untuk belajar, sehingga saya belajar secara mandiri dengan cara suara lantang dari kitab yang saya baca.

Setelah beberapa hari, saya membaca al-Aqur’an, kitab, dan nadzom. Ternyata ada yang aktif menyimak. Ia adalah Mbah Darman. Ia mendengarkan dan berusaha memahami apa yang saya ucapkan. Perlu diketahui bahwa Mbah Darman memiliki keterbatasan dalam penglihatan (baca: buta).

Setelah saya membaca, saya mengajak diskusi misal dengan kalimat: “Paham mboten, Mbah?”
Dari pertanyaan tersebut, muncullah diskusi-diskusi lanjutan. Setelah saling memahami antara saya dan Mbah Darman, kemudian ditutup dengan nadzoman kitab Hidayatussibyan.

Itulah cara saya dan Mbah Darman dalam belajar (baca: mengaji) agar selalu mendapatkan ilmu. Kuncinya, langgeng/istikamah dalam menjalankan suatu amalan. Semoga bisa istikomah selalu. Amin. []

Semarang, 14 Juni 2021
Ditulis Di Rumah jam 05.15 – 05.25 WIB.

• Friday, June 11th, 2021

Pembelajaran Madrasah (Sekolah Arab) Yang Tutup
Oleh Agung Kuswantoro

Harus berpikir ekstra keras dan tenaga full untuk mengatasi pembelajaran yang masih tutup hampir dua tahun. Berdasarkan pengalaman yang saya rasakan dulu waktu pembelajaran Madrasah bahwa pembelajaran di Madrasah dengan sekolah (umum) itu berbeda. Di Madrasah penekanan akan ilmu itu sangat kental. Kurikulumnya sederhana, namun mengena. Teorinya dalam, prakteknya nyata. Itulah, Madrasah.

Semenjak Pandemic Covid-19 – Desember 2020 – Madrasah di lingkungan saya tutup. Saya sendiri sebagai pengelola Madrasah mengambil keputusan tersebut. Dampak dari penutupan tersebut, saya harus atur strategi untuk kedua anak saya. Bagaimana dan harus dimana belajarnya? Padahal, Madrasah tutup.

Setelah pemikiran dan perenungan, saya melakukan pembelajaran di Rumah sendiri. Mubin dan Syafa – kedua anak saya – saya ajak untuk belajar bersama. Kurikulum sama seperti Madrasah. Kitab-kitab saya siapkan. Waktu belajar usai solat Subuh dan Magrib berjamaah di Rumah. Tiap hari saya melakukan itu kepada dua anak saya didampingi oleh istri. Selama pembelajaran fokus ke proses pembelajaran. Artinya, saya dan istri tidak aktivitas selain belajar bersama.

Saya menikmati betul proses ini. Terlebih, akhir-akhir ini saya banyak melakukan ibadah di Rumah. Jadi, bisa lebih intensif dalam belajar “Madrasah” ala di Rumah saya. Bagi saya, pembelajaran Madrasah harus tetap berlangsung, apapun keadaannya. Karena, dalam materi-materi Madrasah ada sebuah harapan yang sangat besar untuk kesalehan, kebaikan, akhlak, berbakti kepada orang tua, dan masa depan yang sangat baik untuk anak. Bukankah kita selalu berdoa agar memiliki anak yang soleh? Yuk, bangun Madrasah di Rumah Anda. Waallahu ‘alam. [].

Semarang, 11 Juni 2021
Ditulis di Rumah, jam 05.30-05.45 WIB.

• Saturday, June 05th, 2021

more…

• Saturday, June 05th, 2021

Menghormati Sesepuh

Oleh Agung Kuswantoro

 

Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya (QS. al-Baqoroh:172)

 

Syukur adalah salah satu ciri orang yang beriman. Salah satu bentuk syukur adalah menerima apa pun kenikmatan Allah SWT yang diterima oleh kita. Kita adalah hamba Allah yang diutus oleh Allah untuk menjadi pemimpin.

 

Kita bekerja di lembaga ini, harus penuh dengan rasa syukur. Bukti syukur kita di lembaga ini adalah masih diberi kenikmatan untuk berislam dan beriman. Sebagai pegawai fungsional (dosen dan tenaga kependidikan) di UNNES ini, kita sudah sepatutnya untuk bersyukur.

 

Bentuk syukur sebagai pegawai adalah menaati pemimpin kita. Pastinya, pemimpin kita itu baik/sholeh. Insya Allah di lembaga kita, semua pemimpin adalah sholeh/baik. Oleh karenanya, sebagai “Makmum” yang baik itu, wajib  mengikuti semua gerakan Imam.

 

Jika pemimpin melakukan “gerakan” A, maka bawahan akan melakukan “gerakan” A. Jika Imam sujud, maka Makmum juga akan sujud. Jika Imam lupa tidak sujud, maka Makmum wajib mengingatkan Imam untuk sujud. Demikian juga, pemimpin, jika melakukan sebuah kealpaan/kelupaan/kekhilafan, maka makmum mengingatkan pemimpin.

 

Bentuk syukur sebagai pegawai adalah mendoakan leluhur/sesepuh pendiri lembaga. Tercatat, di arsip UNNES itu banyak tokoh yang membesarkan ada 9 Rektor UNNNES yaitu: (1) Bapak Mochtar Almarhum: Ketua Presidium IKIP Semarang 1965-1966; (2) Bapak Moenadi Almarhum: Ketua Presidium IKIP Semarang 1966-1967; (3) Bapak Wuryanto Almarhum: Rektor IKIP Semarang 1967-1977; (4) Bapak Hari Mulyono Almarhum : Rektor IKIP Semarang 1977-1986; (5) Bapak Retmono Almarhum: Rektor IKIP Semarang 1986-1994; (6) Bapak Rasdi Ekosiswoyo Almarhum: Rektor IKIP Semarang/ UNNES 1994-2002; (7) Bapak Ari Tri Soegito –Alhamdulillah masih sehat dan aktif—Rektor UNNES 2002- 2006; (8) Bapak Sudijono Sastroatmodjo –Alhamdulillah masih sehat dan aktif— Rektor UNNES 2006-2013, dan (9) Bapak Fathur Rokhman–Alhamdulillah masih sehat dan aktif— Rektor UNNES 2014-sekarang

 

Ada dua Presiden yang mengesahkan dan menyetujui pendirian Institut Negeri di Semarang/IKIP Semarang/UNNES ini, yaitu Presiden Soekarno dan Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie. Presiden Soekarno yang mengesahkan IKIP di Semarang tanggal 14 September 1965. BJ Habibie yang mengesahkan perubahan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Semarang menjadi Universitas Negeri Semarang/UNNES tanggal 7 Oktober 1999.

 

Jika dalam dunia pondok pesantren hukumnya wajib mendoakan pada musonnep/pengarang kitab sebelum mengaji kitab. Dengan kalimat “qolal mushonnefu rohimakumullah wana fa ‘ani dan seterusnya. Tujuannya membaca surat al-Fatikhah dan doa tersebut agar berkah dan diberi kemanfaatan dalam membaca dan belajar kitab tersebut.

 

Sama dengan kita, sebagai pegawai dianjurkan sekali mendoakan kepada sesepuh UNNES mulai dari mantan Rektor yang sudah meninggal agar selalu diberikan ketenangan di alam kubur. Dan, mendoakan bagi mantan Rektor yang masih hidup agar selalu diberikan kenikmatan hidup.

 

Kita sangat beruntung punya atmosfer “Islam” yang baik di lembaga ini. Mau sholat Jum’at/wajib, dekat. Pimpinan mengajak khataman al-Qur’an, bershalawat dan berdzikir. Demikian juga mengajak ziarah ke makam sesepuh. Syukur, insya Allah bisa berziarah ke makam mantan Presiden Soekarno dan BJ Habibie.

 

Tugas kita sebagai pegawai sederhana, yaitu mendoakan pimpinan kita setiap hari. Siapakah pimpinan kita? Subkoordinator, Koordinator, Wakil Dekan, Dekan, Kepala, Ketua, Wakil Rektor, dan Rektor. Doakanlah mereka yang tiap hari kita lihat.

 

Insya Allah “naluri” pemimpin akan turun kepada pegawai yaitu kepedulian dan kasih sayang. Naluri kasih sayang dan kepedulian itu, berupa doa. Pemimpin tersebut akan mendoakan pegawai tersebut agar diberi kelancaran rizki. Hal ini sangat jelas, karena Allah mengizinkan pemimpin dan pegawai tersebut masih hidup dan diberi umur panjang. Jika Allah tidak menghendaki, maka Allah tidak mengizinkan kejadian hari terjadi.

 

Sekali lagi, penulis mengajak untuk bersyukur. Bersyukur yang paling mudah adalah berdoa. Jika tidak bisa berdoa, maka diamlah karena diam adalah sebuah kebaikan. Syukur, dalam diri Anda memiliki kemampuan yang bermanfaat untuk UNNES/lembaga, maka “perjuangkan” kemampuan Anda tersebut di lembaga ini, karena kemanfaatan itu harus diperjuangkan. Bukankah, manfaat itu lebih tinggi derajatnya dibanding kebaikan?

 

Dari penjelasan di atas, ada beberapa simpulan yaitu:

  1. Bersyukur adalah salah satu ciri orang yang beriman.
  2. Bersyukurnya pegawai dan pimpinan adalah berdoa. Pegawai mendoakan pimpinan. Dan, pimpinan mendoakan pegawai.
  3. Kita patut dan harus bersyukur hidup dan mendapatkan rizki di UNNES, karena lembaga ini memiliki atmosfer “keislaman” yang baik.
  4. Terakhir, mari doakan para sesepuh kita mulai dari Presiden yang berjasa atas pendirian UNNES yaitu Soekarno dan BJ Habibie. Dan, para mantan Rektor yang sudah meninggal agar selalu diberi pahala yang terus mengalir. Dan, Rektor yang masih hidup agar selalu diberi nikmat sehat, berkah rizki, dan mampu memajukan UNNES menjadi PTN BH. Amin. []

 

Semoga bermanfaat tulisan ini. []

 

Semarang,3 Juni 2021

Ditulis Di Rumah jam 08.00 – 08.55 WIB.

 

 

 

 

 

 

• Saturday, May 29th, 2021

 

Buku Adalah Pembuka Hidupku
Oleh Agung Kuswantoro

Buku bagi saya adalah sebuah petunjuk hidup. Saya sangat jeli dalam memilih dan membaca buku. Pengarang/penulis buku, pasti saya cek dulu keilmuan dari yang ia tulis. Jangan sampai, ada penulis buku itu menulis yang tidak sesuai dengan bidangnya.

Saya sangat berterima kasih kepada buku. Terkhusus kepada penulis buku tersebut. Biasanya, saya membaca buku berdasarkan apa yang saya rasakan. Misal, cara menghormati orang tua (baca: Ibu). Banyak sekali, buku yang membahas masalah Ibu. Namun, belum tentu isinya sesuai dengan yang saya harapkan. Belum lagi, keilmuan penulis buku tersebut, apakah mampu mengurai masalah tentang tema tersebut.

Sebut saja, penulis bernama Ummi Maya dengan buku berjudul “Kekuatan Doa Ibu”. Dalam buku tersebut, Ummi Maya sangat pintar dalam menyampaikan pesan akan kekuatan “idu geni” (ludah api) dari mulut Ibu. Artinya, mulut atau perkataan yang diucapkan oleh Ibu adalah doa. Oleh karenanya, seorang Ibu seharusnya berkata baik kepada anaknya. Karena, apa yang dikatakan oleh Ibu itulah doa kepada anak.

Dalam buku tersebut, Ummi Maya memberikan contoh-contoh nyata mengenai ucapakan yang baik dari mulut yang dikatakan oleh sosok Ibu. Mulai dari, Ibu dari Nabi Ismail yaitu Siti Hajar, di mana walaupun kondisi yang buruk, namun masih bisa berkata baik. Siti Hajar berdoa agar diberikan air minum. Padahal, kondisi Siti Hajar sangat kerepotan menggendong anak dan kecapean lari dari bukut Sofa ke Marwah hingga bolak-balik untuk mencari air. Contoh ucapan sederhana itulah, menjadikan doa yang mujarab bagi seorang Ibu kepada anaknya.

Itu hanya contoh dari pesan sebuah buku. Oleh karenanya, bagi saya sekali lagi, buku adalah sebuah petunjuk hidup. Rujukan yang tertera dalam buku, juga perlu dicek. Referensinya. Demikian juga, kitab-kitab juga menjadi referensi yang saya butuhkan dalam menjalani hidup. Jika kitab, insyaallah sudah sesuai dengan keilmuan dan akhlak penulis. Berdasarkan ilmu yang disampaikan oleh Kiai/Ustadz, bahwa seorang Musonnep/Penulis kitab itu sebelum menulis itu selalu mengambil air wudhu dan berdoa agar kitab yang dikarang selalu memberikan manfaat dan keberkahan kepada orang yang membaca. Terlebih, kitab tersebut ditulis dalam kaidah Bahasa Arab. Jadi, insyaallah secara isi itu valid. Wallahu ‘alam.

Pemalang, 29 Mei 2021
Ditulis di rumah Pemalang, jam 21.00-21.20 WIB.

• Tuesday, May 18th, 2021

Tahun Emas, Tahun Digitalisasi Arsip

Oleh Agung Kuswantoro

kabar_arsip_001

Hari ini, kita sedang merayakan hari kearsipan nasional yang ke-50. Adapun tema yang diusung dalam perayaan emas ini adalah “Satukan Langkah Menuju Arsip Digital”. Saya sebagai orang yang awam dalam bidang arsip, sangat setuju dengan tema ini. Tema yang dipilih oleh ANRI itu sangat relevan dengan keadaan saat ini. Terlebih, pada masa pandemi Covid-19. Dimana, semua pekerjaan sebisanya dilakukan di Rumah.

 

Salah satu, “alat” yang “menjembatani” antara rumah dan kantor adalah teknologi. Lalu, bagaimana teknologi dalam bekerja, padahal arsipnya ada di kantor? Jawabnya, sebagaimana tema kearsipan ini, yaitu: didigitalkan, arsipnya. Arsip harus digitalisasi.

 

“Rumah” digital adalah sistem/aplikasi. Ibaratnya, arsip yang didigitalkan adalah “isinya”, sedangkan “rumahnya” adalah sistem/aplikasi. Beberapa tahun yang lalu, ANRI pernah mengenalkan SIKD/Sistem Informasi Kearsipan Dinamis dan SIKS/Sistem Informasi Kearsipan Statis. Artinya, “rumah” sudah dibuat oleh ANRI. Belum lagi, ada JIKN/Jaringan Informasi Kearsipan Nasional. JIKN, adalah “rumah besar” yang menyambungkan “rumah-rumah kecil” yang ada di Indonesia ini.

 

Dengan hadirnya, “rumah-rumah” berupa sistem/aplikasi, maka “pemiliki rumah” harus menyiapkan segala kebutuhan yang ada didalamnya. Misalnya: alat scan, kamera, computer, database, flasdisk, memory internal, hard disk, dan alat perekam file lainnya.

 

Jika alat/peralatannya sudah, maka langkah berikutnya adalah orangnya. Orang yang ada dalam rumah tersebut. “Bisakah orang yang menangani arsip dapat mengoperasikan peralatan tersebut?” Artinya, seorang arsiparis harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan zamannya.

 

Dulu, arsip berwujud kertas. Sekarang, arsip harus bisa diwujudkan dalam bentuk file/gambar yang dapat dinikmati oleh orang lain melalui media yang tanpa batas waktu. Arsiparis harus kompeten. Termasuk, dalam mengolah arsip yang akan digitalkan. Dengan arsip digital ini, informasi kearsipan dapat dinikmati oleh masyarakat dengan cepat.

 

Mari, di hari kearsipan nasional ini, saya mengingatkan kepada diri saya dan mengajak kepada orang sekitar saya untuk mulai mendigitalkan arsip yang dimilikinya. Simpan dalam folder Anda, agar arsip yang autentik, tetap terjaga dengan baik.

 

Arsip digitallah yang akan menjawab setiap orang yang akan meminta informasi yang dicari dari diri arsip tersebut. Selamat hari kearsipan yang ke-50. Semoga UNNES bisa mendigitalkan arsipnya dalam Sistem Arsip Digital yang sudah diwadahi oleh lembaga berwawasan konservasi dan bereputasi Internasional tersebut. []

 

Semarang, 17 Mei 2021

Ditulis di Rumah, jam 21.30- 21.50 WIB.

• Friday, May 14th, 2021

Solat Tarawih Mengajarkan Kita Untuk Solat Sebanyak-banyaknya
Oleh Agung Kuswantoro

 

Ramadan telah pulang ke sisi Allah, kita masih bertahan di bumi yang penuh ujian ini. Setan sudah dilepas dari belunggu rantainya. Setan sudah siap untuk mengganggu dan menggoda manusia untuk taat kepada Allah.

Di bulan Syawal ini, tenaga Setan pastinya, lebih tinggi/kuat. Karena, pada bulan Ramadan, Setan tidak bekerja. Sehingga, Setan memiliki tenaga yang ekstra pada bulan usai Ramadan. Pastinya pula, Setan memiliki strategi yang jitu dalam menggoda manusia usai bulan Ramadan.

Namun, tak usai bingung dan galau, wahai para hamba Allah yang di bulan Ramadan telah “kenceng” beribadah. Sebut saja waktu bulan Ramadan, ada solat Tarawih. Solat Tarawih mengajarkan kita agar sering melakukan solat sunah. Solat Tarawih mengajarkan kita agar banyak melakukan solat sunah dalam sehari.

Dalam pemahaman saya, bilangan rokaat solat Tarawih itu, ada 8 Rokaat, 20 rokaat, dan 36 rokaat dalam satu malam di bulan Ramadan. Semisal pada malam usai bulan Ramadan, bilangan rokaat tersebut bisa diwujudkan dengan solat Hajat (2 rokaat), solat Tasbih (4 rokaat), solat Mutlak (2 rokaat), solat Tahajud (2 rokaat), dan solat Witir (3 rokaat). Total dari solat sunat dalam satu malam di atas adalah 11 rokaat.

Belum lagi ditambahkan dengan solat badiyah Isya (2 rokaat) dan qobliyah Subuh (2 rokaat). Ada tambahan 4 rokaat. Terlebih, masing-masing solat sunah tersebut memiliki pahala/ganjaran yang sangat luar biasa. Jadi, bisa menjadi motivasi untuk melakukan solat sunah tersebut bagi seseorang.

Dari bilangan-bilangan rokaat solat sunah di atas: “Apakah Anda bisa latihan untuk melakukan pada malam-malam usai Ramadan?” Jika, belum, mari belajar/latihan untuk solat sunah tersebut. Mulai dari hal yang kecil saja. Misal, solat sunah badiyah Isya (2 rokaat). Dilanjutkan dengan solat Hajat (2 rokaat). Lalu, beraktivitas seperti biasa (tidur). Baru, usai bangun tidur solat Tasbih (4 rokaat). Atau, solat Tahajud (2 rokaat), dan diakhiri solat Witir (2 rokaat).

Seperti itulah latihannya. Mulai dari yang kecil. Syukur, direncanakan dalam hidup Anda dalam malam tertentu, saat Anda tidak sibuk dengan urusan pekerjaan. Cobalah, nanti apa yang terjadi dalam hidup Anda. Minimal, Anda akan mendapatkan kedamaian dan ketenteraman hati. Amin. [].

Semarang, 15 Mei 2021
Ditulis di Rumah, jam 05.00 – 05.15 WIB.