Menghormati Sesepuh
Oleh Agung Kuswantoro
Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya (QS. al-Baqoroh:172)
Syukur adalah salah satu ciri orang yang beriman. Salah satu bentuk syukur adalah menerima apa pun kenikmatan Allah SWT yang diterima oleh kita. Kita adalah hamba Allah yang diutus oleh Allah untuk menjadi pemimpin.
Kita bekerja di lembaga ini, harus penuh dengan rasa syukur. Bukti syukur kita di lembaga ini adalah masih diberi kenikmatan untuk berislam dan beriman. Sebagai pegawai fungsional (dosen dan tenaga kependidikan) di UNNES ini, kita sudah sepatutnya untuk bersyukur.
Bentuk syukur sebagai pegawai adalah menaati pemimpin kita. Pastinya, pemimpin kita itu baik/sholeh. Insya Allah di lembaga kita, semua pemimpin adalah sholeh/baik. Oleh karenanya, sebagai “Makmum” yang baik itu, wajib mengikuti semua gerakan Imam.
Jika pemimpin melakukan “gerakan” A, maka bawahan akan melakukan “gerakan” A. Jika Imam sujud, maka Makmum juga akan sujud. Jika Imam lupa tidak sujud, maka Makmum wajib mengingatkan Imam untuk sujud. Demikian juga, pemimpin, jika melakukan sebuah kealpaan/kelupaan/kekhilafan, maka makmum mengingatkan pemimpin.
Bentuk syukur sebagai pegawai adalah mendoakan leluhur/sesepuh pendiri lembaga. Tercatat, di arsip UNNES itu banyak tokoh yang membesarkan ada 9 Rektor UNNNES yaitu: (1) Bapak Mochtar Almarhum: Ketua Presidium IKIP Semarang 1965-1966; (2) Bapak Moenadi Almarhum: Ketua Presidium IKIP Semarang 1966-1967; (3) Bapak Wuryanto Almarhum: Rektor IKIP Semarang 1967-1977; (4) Bapak Hari Mulyono Almarhum : Rektor IKIP Semarang 1977-1986; (5) Bapak Retmono Almarhum: Rektor IKIP Semarang 1986-1994; (6) Bapak Rasdi Ekosiswoyo Almarhum: Rektor IKIP Semarang/ UNNES 1994-2002; (7) Bapak Ari Tri Soegito –Alhamdulillah masih sehat dan aktif—Rektor UNNES 2002- 2006; (8) Bapak Sudijono Sastroatmodjo –Alhamdulillah masih sehat dan aktif— Rektor UNNES 2006-2013, dan (9) Bapak Fathur Rokhman–Alhamdulillah masih sehat dan aktif— Rektor UNNES 2014-sekarang
Ada dua Presiden yang mengesahkan dan menyetujui pendirian Institut Negeri di Semarang/IKIP Semarang/UNNES ini, yaitu Presiden Soekarno dan Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie. Presiden Soekarno yang mengesahkan IKIP di Semarang tanggal 14 September 1965. BJ Habibie yang mengesahkan perubahan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Semarang menjadi Universitas Negeri Semarang/UNNES tanggal 7 Oktober 1999.
Jika dalam dunia pondok pesantren hukumnya wajib mendoakan pada musonnep/pengarang kitab sebelum mengaji kitab. Dengan kalimat “qolal mushonnefu rohimakumullah wana fa ‘ani dan seterusnya. Tujuannya membaca surat al-Fatikhah dan doa tersebut agar berkah dan diberi kemanfaatan dalam membaca dan belajar kitab tersebut.
Sama dengan kita, sebagai pegawai dianjurkan sekali mendoakan kepada sesepuh UNNES mulai dari mantan Rektor yang sudah meninggal agar selalu diberikan ketenangan di alam kubur. Dan, mendoakan bagi mantan Rektor yang masih hidup agar selalu diberikan kenikmatan hidup.
Kita sangat beruntung punya atmosfer “Islam” yang baik di lembaga ini. Mau sholat Jum’at/wajib, dekat. Pimpinan mengajak khataman al-Qur’an, bershalawat dan berdzikir. Demikian juga mengajak ziarah ke makam sesepuh. Syukur, insya Allah bisa berziarah ke makam mantan Presiden Soekarno dan BJ Habibie.
Tugas kita sebagai pegawai sederhana, yaitu mendoakan pimpinan kita setiap hari. Siapakah pimpinan kita? Subkoordinator, Koordinator, Wakil Dekan, Dekan, Kepala, Ketua, Wakil Rektor, dan Rektor. Doakanlah mereka yang tiap hari kita lihat.
Insya Allah “naluri” pemimpin akan turun kepada pegawai yaitu kepedulian dan kasih sayang. Naluri kasih sayang dan kepedulian itu, berupa doa. Pemimpin tersebut akan mendoakan pegawai tersebut agar diberi kelancaran rizki. Hal ini sangat jelas, karena Allah mengizinkan pemimpin dan pegawai tersebut masih hidup dan diberi umur panjang. Jika Allah tidak menghendaki, maka Allah tidak mengizinkan kejadian hari terjadi.
Sekali lagi, penulis mengajak untuk bersyukur. Bersyukur yang paling mudah adalah berdoa. Jika tidak bisa berdoa, maka diamlah karena diam adalah sebuah kebaikan. Syukur, dalam diri Anda memiliki kemampuan yang bermanfaat untuk UNNES/lembaga, maka “perjuangkan” kemampuan Anda tersebut di lembaga ini, karena kemanfaatan itu harus diperjuangkan. Bukankah, manfaat itu lebih tinggi derajatnya dibanding kebaikan?
Dari penjelasan di atas, ada beberapa simpulan yaitu:
- Bersyukur adalah salah satu ciri orang yang beriman.
- Bersyukurnya pegawai dan pimpinan adalah berdoa. Pegawai mendoakan pimpinan. Dan, pimpinan mendoakan pegawai.
- Kita patut dan harus bersyukur hidup dan mendapatkan rizki di UNNES, karena lembaga ini memiliki atmosfer “keislaman” yang baik.
- Terakhir, mari doakan para sesepuh kita mulai dari Presiden yang berjasa atas pendirian UNNES yaitu Soekarno dan BJ Habibie. Dan, para mantan Rektor yang sudah meninggal agar selalu diberi pahala yang terus mengalir. Dan, Rektor yang masih hidup agar selalu diberi nikmat sehat, berkah rizki, dan mampu memajukan UNNES menjadi PTN BH. Amin. []
Semoga bermanfaat tulisan ini. []
Semarang,3 Juni 2021
Ditulis Di Rumah jam 08.00 – 08.55 WIB.
Buku Adalah Pembuka Hidupku
Oleh Agung Kuswantoro
Buku bagi saya adalah sebuah petunjuk hidup. Saya sangat jeli dalam memilih dan membaca buku. Pengarang/penulis buku, pasti saya cek dulu keilmuan dari yang ia tulis. Jangan sampai, ada penulis buku itu menulis yang tidak sesuai dengan bidangnya.
Saya sangat berterima kasih kepada buku. Terkhusus kepada penulis buku tersebut. Biasanya, saya membaca buku berdasarkan apa yang saya rasakan. Misal, cara menghormati orang tua (baca: Ibu). Banyak sekali, buku yang membahas masalah Ibu. Namun, belum tentu isinya sesuai dengan yang saya harapkan. Belum lagi, keilmuan penulis buku tersebut, apakah mampu mengurai masalah tentang tema tersebut.
Sebut saja, penulis bernama Ummi Maya dengan buku berjudul “Kekuatan Doa Ibu”. Dalam buku tersebut, Ummi Maya sangat pintar dalam menyampaikan pesan akan kekuatan “idu geni” (ludah api) dari mulut Ibu. Artinya, mulut atau perkataan yang diucapkan oleh Ibu adalah doa. Oleh karenanya, seorang Ibu seharusnya berkata baik kepada anaknya. Karena, apa yang dikatakan oleh Ibu itulah doa kepada anak.
Dalam buku tersebut, Ummi Maya memberikan contoh-contoh nyata mengenai ucapakan yang baik dari mulut yang dikatakan oleh sosok Ibu. Mulai dari, Ibu dari Nabi Ismail yaitu Siti Hajar, di mana walaupun kondisi yang buruk, namun masih bisa berkata baik. Siti Hajar berdoa agar diberikan air minum. Padahal, kondisi Siti Hajar sangat kerepotan menggendong anak dan kecapean lari dari bukut Sofa ke Marwah hingga bolak-balik untuk mencari air. Contoh ucapan sederhana itulah, menjadikan doa yang mujarab bagi seorang Ibu kepada anaknya.
Itu hanya contoh dari pesan sebuah buku. Oleh karenanya, bagi saya sekali lagi, buku adalah sebuah petunjuk hidup. Rujukan yang tertera dalam buku, juga perlu dicek. Referensinya. Demikian juga, kitab-kitab juga menjadi referensi yang saya butuhkan dalam menjalani hidup. Jika kitab, insyaallah sudah sesuai dengan keilmuan dan akhlak penulis. Berdasarkan ilmu yang disampaikan oleh Kiai/Ustadz, bahwa seorang Musonnep/Penulis kitab itu sebelum menulis itu selalu mengambil air wudhu dan berdoa agar kitab yang dikarang selalu memberikan manfaat dan keberkahan kepada orang yang membaca. Terlebih, kitab tersebut ditulis dalam kaidah Bahasa Arab. Jadi, insyaallah secara isi itu valid. Wallahu ‘alam.
Pemalang, 29 Mei 2021
Ditulis di rumah Pemalang, jam 21.00-21.20 WIB.
Tahun Emas, Tahun Digitalisasi Arsip
Oleh Agung Kuswantoro
Hari ini, kita sedang merayakan hari kearsipan nasional yang ke-50. Adapun tema yang diusung dalam perayaan emas ini adalah “Satukan Langkah Menuju Arsip Digital”. Saya sebagai orang yang awam dalam bidang arsip, sangat setuju dengan tema ini. Tema yang dipilih oleh ANRI itu sangat relevan dengan keadaan saat ini. Terlebih, pada masa pandemi Covid-19. Dimana, semua pekerjaan sebisanya dilakukan di Rumah.
Salah satu, “alat” yang “menjembatani” antara rumah dan kantor adalah teknologi. Lalu, bagaimana teknologi dalam bekerja, padahal arsipnya ada di kantor? Jawabnya, sebagaimana tema kearsipan ini, yaitu: didigitalkan, arsipnya. Arsip harus digitalisasi.
“Rumah” digital adalah sistem/aplikasi. Ibaratnya, arsip yang didigitalkan adalah “isinya”, sedangkan “rumahnya” adalah sistem/aplikasi. Beberapa tahun yang lalu, ANRI pernah mengenalkan SIKD/Sistem Informasi Kearsipan Dinamis dan SIKS/Sistem Informasi Kearsipan Statis. Artinya, “rumah” sudah dibuat oleh ANRI. Belum lagi, ada JIKN/Jaringan Informasi Kearsipan Nasional. JIKN, adalah “rumah besar” yang menyambungkan “rumah-rumah kecil” yang ada di Indonesia ini.
Dengan hadirnya, “rumah-rumah” berupa sistem/aplikasi, maka “pemiliki rumah” harus menyiapkan segala kebutuhan yang ada didalamnya. Misalnya: alat scan, kamera, computer, database, flasdisk, memory internal, hard disk, dan alat perekam file lainnya.
Jika alat/peralatannya sudah, maka langkah berikutnya adalah orangnya. Orang yang ada dalam rumah tersebut. “Bisakah orang yang menangani arsip dapat mengoperasikan peralatan tersebut?” Artinya, seorang arsiparis harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan zamannya.
Dulu, arsip berwujud kertas. Sekarang, arsip harus bisa diwujudkan dalam bentuk file/gambar yang dapat dinikmati oleh orang lain melalui media yang tanpa batas waktu. Arsiparis harus kompeten. Termasuk, dalam mengolah arsip yang akan digitalkan. Dengan arsip digital ini, informasi kearsipan dapat dinikmati oleh masyarakat dengan cepat.
Mari, di hari kearsipan nasional ini, saya mengingatkan kepada diri saya dan mengajak kepada orang sekitar saya untuk mulai mendigitalkan arsip yang dimilikinya. Simpan dalam folder Anda, agar arsip yang autentik, tetap terjaga dengan baik.
Arsip digitallah yang akan menjawab setiap orang yang akan meminta informasi yang dicari dari diri arsip tersebut. Selamat hari kearsipan yang ke-50. Semoga UNNES bisa mendigitalkan arsipnya dalam Sistem Arsip Digital yang sudah diwadahi oleh lembaga berwawasan konservasi dan bereputasi Internasional tersebut. []
Semarang, 17 Mei 2021
Ditulis di Rumah, jam 21.30- 21.50 WIB.
Solat Tarawih Mengajarkan Kita Untuk Solat Sebanyak-banyaknya
Oleh Agung Kuswantoro
Ramadan telah pulang ke sisi Allah, kita masih bertahan di bumi yang penuh ujian ini. Setan sudah dilepas dari belunggu rantainya. Setan sudah siap untuk mengganggu dan menggoda manusia untuk taat kepada Allah.
Di bulan Syawal ini, tenaga Setan pastinya, lebih tinggi/kuat. Karena, pada bulan Ramadan, Setan tidak bekerja. Sehingga, Setan memiliki tenaga yang ekstra pada bulan usai Ramadan. Pastinya pula, Setan memiliki strategi yang jitu dalam menggoda manusia usai bulan Ramadan.
Namun, tak usai bingung dan galau, wahai para hamba Allah yang di bulan Ramadan telah “kenceng” beribadah. Sebut saja waktu bulan Ramadan, ada solat Tarawih. Solat Tarawih mengajarkan kita agar sering melakukan solat sunah. Solat Tarawih mengajarkan kita agar banyak melakukan solat sunah dalam sehari.
Dalam pemahaman saya, bilangan rokaat solat Tarawih itu, ada 8 Rokaat, 20 rokaat, dan 36 rokaat dalam satu malam di bulan Ramadan. Semisal pada malam usai bulan Ramadan, bilangan rokaat tersebut bisa diwujudkan dengan solat Hajat (2 rokaat), solat Tasbih (4 rokaat), solat Mutlak (2 rokaat), solat Tahajud (2 rokaat), dan solat Witir (3 rokaat). Total dari solat sunat dalam satu malam di atas adalah 11 rokaat.
Belum lagi ditambahkan dengan solat badiyah Isya (2 rokaat) dan qobliyah Subuh (2 rokaat). Ada tambahan 4 rokaat. Terlebih, masing-masing solat sunah tersebut memiliki pahala/ganjaran yang sangat luar biasa. Jadi, bisa menjadi motivasi untuk melakukan solat sunah tersebut bagi seseorang.
Dari bilangan-bilangan rokaat solat sunah di atas: “Apakah Anda bisa latihan untuk melakukan pada malam-malam usai Ramadan?” Jika, belum, mari belajar/latihan untuk solat sunah tersebut. Mulai dari hal yang kecil saja. Misal, solat sunah badiyah Isya (2 rokaat). Dilanjutkan dengan solat Hajat (2 rokaat). Lalu, beraktivitas seperti biasa (tidur). Baru, usai bangun tidur solat Tasbih (4 rokaat). Atau, solat Tahajud (2 rokaat), dan diakhiri solat Witir (2 rokaat).
Seperti itulah latihannya. Mulai dari yang kecil. Syukur, direncanakan dalam hidup Anda dalam malam tertentu, saat Anda tidak sibuk dengan urusan pekerjaan. Cobalah, nanti apa yang terjadi dalam hidup Anda. Minimal, Anda akan mendapatkan kedamaian dan ketenteraman hati. Amin. [].
Semarang, 15 Mei 2021
Ditulis di Rumah, jam 05.00 – 05.15 WIB.
Usai solat Subuh, saya membersihkan Madrasah dari debu dan kotoran. Termasuk, menyirami tanaman yang berada di luar Madrasah.
Berjuang itu tak mudah. Agar bisa berdiri “gagahnya”, Madrasah butuh pengorbanan mental dan fisik.
Pengorbanan mental itu bisa berwujud “diomong wong”. Pengorbanan fisik bisa berwujud menyapu, mengajar, dan membersihkan halaman. Yang sangat berat, ada di pengorbanan mental.
Doakan kami semua agar bisa bertahan, sabar, dan tetap berjuang agar Madrasah ini bisa “berdiri” dengan “tegak”. Karena, didalamnya ada “ilmu-ilmu” Allah yang kami sampaikan ke santri dan masyarakat. Amin.
Mengapa Berkata “Maaf”, Usai Berpuasa?
Oleh Agung Kuswantoro
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Qaulan Sadida/perkataan yang benar” (QS. an-Nisa: 9).
Dua hari lagi (13 Mei 2021/1 Syawal 1441) umat Islam di seluruh dunia akan merayakan hari raya Idul Fitri, Idul Fitri identik dengan ucapan “mohon maaf lahir batin”. Ada sebuah pertanyaan besar: mengapa kita pada hari kemenangan, berkata “mohon maaf lahir dan batin?” Mengapa tidak berkata: “merdeka?” tetapi, malah berkata: “maaf”.
Secara logika orang yang “menang“ akan mengatakan suatu kebahagiaan dengan kalimat “alhamdulillah”; “yes, menang”; “merdeka”; “musuh telah pergi”; “kita menang”; “musuh kalah”; dan ucapan lainnya.
Logika akal manusia, berbeda dengan logika agama Islam. Agama Islam mengatakan: setelah “berperang” melawan hawa nafsu, justru hati tidak diungkapkan dengan rasa selebrasi/perayaan, namun hati harus “menunduk”, “menunduknya” dengan berkata: “maaf”.
Lalu, mengapa kita berkata maaf kepada manusia? Karena, kita telah melakukan kesalahan kepada seseorang. Cara melebur/menghapus kesalahan kepada sesama manusia adalah meminta maaf kepada yang telah dibuat salah.
Meminta maaf, hanya berlaku kepada manusia. Tidak ada saling maaf, antar manusia dengan tumbuhan. Tidak ada, saling memaafkan antara manusia dengan hewan. Dan, tidak ada, saling memaafkan antara hewan dengan tumbuhan. Namun, ada manusia minta maaf dari manusia kepada Tuhan, yaitu bernama permohonan ampun/istigfar.
Maafnya, manusia kepada Allah dinamai tobat. Ciri-ciri tobat diawali dengan sifat “merasa” dan “menyadari”. Bisa jadi, tanpa ucapan: “maaf” itu, tidak masalah. Artinya: tidak harus berkata: “Ya Allah, aku minta maaf”. Tanpa perkataan tersebut, tidak masalah.
Sekali lagi, maaf kepada Allah yang sangat dibutuhkan adalah “merasa salah” dan “menyadari atas kesalahannya”. Sama dengan kesalahan seorang manusia dengan kepada sesama manusia. Manusia akan mengetahui dirinya bersalah, jika manusia tersebut/ia telah “merasa” dan
“menyadari” akan kesalahan yang dilakukan kepada orang lain. Disinilah, peranan hati akan “berfungsi”.
Sadar itu dalam hati. Sadar itu, bukan di otak. Bisa jadi, otak masih merasa “kekeh” atau “bersih keras” atau “angkuh” untuk melawan akan sebuah kesalahan. Namun, hati akan mendorong sesorang akan “lemes”, atau “merelakan”, atau mengikhlaskan atas kesalahan orang lain kepada diri kita.
Lantas, bentuk kesalahan seperti apa yang bisa menjadikan dosa? Menurut Amiruddin (2011) dalam buku “Ketika Dosa Tak Dirasa: Yang Kecil pun Bisa Menjadi Besar” mengatakan bahwa, ada delapan dosa yang tak dirasa yaitu (1) berbohong; (2) berkata ”ah” kepada orang tua; (3) menyalahgunakan jabatan; (4) ghibah; (5) mengadu domba; (6) su’udzon; (7) mempercayai ramalan; dan (8) menyembunyikan aib barang dalam transaksi jual beli.
Dari kedelapan perbuatan dosa kecil/dosa yang tak dirasa tersebut, bahwa 6 dari 8 perbuatan dosa tersebut (75%) berasal dari “mulut”. Bahasa khotib, “mulut” adalah sumber utama orang melakukan dosa.
Mulut sumber utama orang melakukan dosa atau melakukan kesalahan kepada orang lain. Misal saja: berbohong, melawan nasihat orang tua, ngrasani/ghibah, memprovokasi/mempengaruhi berita buruk, berprasangka buruk/su’udzon, dan menyembunyikan cacat dalam transaksi jual beli.
Gosip/ngrasani/membicarakan kesalahan orang lain/ghibah, menurut para ahli sering dilakukan oleh seseorang dalam masyarakat. Cirinya: ada dua orang berkumpul. Terkait tempat melakukan “ngrasani” tidak memperhatikan “kesucian” suatu tempat atau lokasi. Misalnya, di Masjid/Musholla. Artinya, ngerasani bisa dilakukan di Masjid/Musholla. Minimal, ada orang berkumpul. Disinilah potensi setan masuk untuk “menyulutkan” atau “menyalakan” perbuatan dosa. Setan dimanapun kita berada, pasti ada. Oleh karenanya, jaga iman kita selalu dimana pun dan kapan pun berada, agar setan tidak hadir di sekitar kita.
Lalu, apa “obat” atas kesalahan/dosa kepada sesama manusia? Jika kesalahan kepada sesama manusia, maka minta maaflah. Yang minta maaf yang memiliki/melakukan kesalahan. Konteks di dunia, ada istilah “pengadilan”. Pengadilan itulah yang akan menunjukkan sebuah kesalahan dan menujukkan bukti-bukti yang autentik dalam persidangan.
Tanpa, ada bukti yang autentik atas suatu kesalahan, maka kebenaran tidak akan muncul. Sebaliknya, jika bukti menunjukkan suatu kesalahan, maka hukuman yang akan menimpa seorang yang bersalah. Kebenaran yang akan muncul/berkata.
Namun konteks dunia, berbeda dengan konteks akhirat/agama. Jika kesalahan itu tertuju kepada Allah, maka bertobat. Menurut Amirullah (2011) bahwa cara menghapus dosa/kesalahan kepada Allah dengan cara (1) sholat, (2) shaum/puasa, (3) bersedekah, (4) memperbanyak istigfar, dan (5) taubatan nasuha.
Sedangkan, untuk kesalahan mulut manusia dapat dilakukan, sebagaimana tuntunan al-Quran mengatakan dengan berkata (1) qaulan sadida/berkata benar, (2) qaulan baligh/berkata yang berbekas dalam jiwa, (3) qaulan ma’rufan/berkata yang baik, (4) qaulan karima/perkataan yang mulia, (5) qaulan layyina/perkataan yang lemah lembut, (6) dan qaulan maysura/perkataan yang mudah.
Demikianlah tulisan singkat ini, ada beberapa simpulan yaitu:
1. Kemenangan Idul Fitri tidak dilakukan dengan pesta/selebrasi, namun dilakukan dengan memperbanyak kata “maaf” atau “meminta maaf”.
2. Kita berkata “maaf” kepada sesama manusia, karena kita telah melakukan sebuah kesalahan. Meminta maaf itu, hanya pada sesama manusia. Meminta maaf manusia kepada hewan dan tumbuhan itu tidak ada. Meminta maaf hewan kepada tumbuhan, juga tidak ada. Namun meminta maaf manusia kepada Tuhan, dinamakan tobat.
3. Contoh kesalahan/dosa manusia kepada manusia yaitu: berbohong, melawan/berkata “ah” kepada orang tua, menyalahgunakan jabatan, ngrasani/ghibah, memprovokasi/mempengaruhi/adu domba, su’udzon, mempercayai ramalan, dan menyembunyikan aib barang saat jual beli.
4. 75% kesalahan/dosa manusia kepada manusia berasal dari mulut. “Ngrasani” adalah perbuatan yang sering dilakukan oleh manusia yang tanpa melihat kesucian suatu tempat dan waktu yang tak terbatas.
5. Salah satu cara menghilangkan kesalahan sesama manusia dalam konteks “dunia” adalah meminta maaf kepada orang yang telah diperlakukan salah. Sedangkan cara menghapus kesalahan dosa kepada Allah adalah dengan sholat, berpuasa, besedekah, memperbanyak istigfar, dan taubatan nasuha.
6. Mari, berkata baik sesuai dengan tuntunan al Quran dengan qaulan sadida/berkata benar, qaulan baligha/berkata yang berbekas dalam hati, qaulan ma’rufan/berkata baik, qaulan karima/berkata yang mulia, dan qaulan maysura/berkata yang mudah.
Semoga bermanfaat tulisan ini. Amin. []
Semarang, 8 Mei 2021
Ditulis di rumah jam 05.00 – 05.55 WIB.
Susah Mana, Dakwah di Komunitas Atau Masyarakat?
Oleh Agung Kuswantoro
Apakah Anda, seorang Ustad, Guru, atau Kiai? Jika ya, saya mohon dibantu dalam menjawab pertanyaan ini: “Susah mana dakwah/berjuang di komunitas atau masyarakat?”
Jika pertanyaan tersebut, saya yang menjawabnya, maka akan saya jawab dengan susah di masyarakat. Saya mengalami betul, bahwa berdakwah di masyarakat itu sangatlah susah. Karena, masyarakat itu banyak dan beragam. Banyak, karena jumlahnya tidak sedikit orangnya. Beragam, karena banyak kalangan yang berkepentingan dalam lingkungan tersebut.
Sebut saja, konsep Masjid. Masjid di masyarakat, belum tentu dimaknai dengan tempat sujud (baca: sholat 5 waktu). Namun, bisa jadi, Masjid di mata orang, bahwa Masjid itu tempat berkumpul. Artinya, Masjid digunakan untuk berkumpulnya suatu kegiatan. Namun, saat pelaksanaan sholat, itu “sepi” orang. Tak seramai orang waktu berkumpul dalam kegiatan.
Itulah dakwah di masyarakat, dimana satu konsep memiliki arti yang banyak. Belum lagi, karena, faktor budaya dan pemahaman akan suatu ilmu. Adanya hanya adat.
Berbeda dengan komunitas. Komunitas itu tujuannya sudah jelas. Orang-orangnya sudah terbentuk. Misal, komunitas pecinta ikan cupang. Jelas tujuannya adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan ikan cupang. Sehingga, pemikiran akan ikan cupang itu sama. Atau, hampir/mirip akan pemahaman konsep “ikan cupang”.
Nah, kalau “konsep” Masjid berbeda dengan makna, jika dalam masyarakat. Namun, itulah fakta. Oleh karenanya, dakwah di masyarakat menurut saya itu lebih susah. Jadi ingat dakwah Nabi Muhammad SAW itu di masyarakat, dimana ada orang Kafir/Quraisy. Tahu sendirilah watak orang Kafir/Quraisy, dimana Nabi Muhammad SAW itu “musuhnya”. Namun, Nabi Muhammad SAW bisa berhasil dakwahnya. Itulah kehebatan, Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah. Ancaman nyawa, jadi taruhannya. Nah, bagaimana dengan Anda? Sudah sampai mana dakwahnya? Apa sudah sampai di komunitas atau di masyarakat? Waallahu’alam. []
Semarang, 30 April 2021
Ditulis Di Rumah jam 06.05 – 06.20 WIB
“Berliterasi” di Bulan Ramadhan
Oleh Agung Kuswantoro
Ramadhan 1442 Hijriah ini, bagi saya adalah sebuah “tantangan” dalam berliterasi. Saya selalu “menjagani” agar tidak terlalu banyak aktivitas rutin pekerjaan dan aktivitas yang bersifat fisik.
Mengapa saya “jagani” agar tidak terlalu sibuk dan aktivitas fisik? Agar saya bisa fokus beribadah dan berliterasi. Saya menyamakan antara berliterasi sama dengan beribadah. Dengan membaca dan menulis itu, beribadah. Semakin banyak membaca, maka pengetahuan saya bisa bertambah. Syukur, saya bisa menuliskan dari apa yang saya baca.
Sumber bacaan saya yang utama adalah al-Qur’an, kitab, dan buku. Tidak semua kitab dan buku menjadi rujukan saya dalam “berliterasi”. Sehingga, saya mencari informasi terkait buku/kitab. Biasanya, saya membuka kitab-kitab dan buku-buku yang saya miliki.
Selain itu, saya juga rutin membaca koran di koran Suara Merdeka yang berisi informasi kitab. Adapun kitab yang sudah saya dapatkan yaitu: kitab Tuhfatul al-Lubab, Maqasid Ash-Shaum, kitab tafsir Al-Bayan Fii Ma’rifati Ma’ani al Qur’an, kitab ar – Rozan, kitab al – Awail wal fadhoil, dan kitab-kitab yang lain.
Dengan membaca ulasan dari kitab-kitab tersebut, saya mencoba membeli kitab tersebut dan membacanya. Tujuannya, untuk diri/saya saja agar menjadi tahu. Saya jadi “melek” dengan ilmu.
Selain mencari referensi, saya juga aktif membuka internet dengan mengaji online. Biasanya saya menyimak kajian dari teras Salafiah Kauman Pemalang – Kitab ‘Qomiut Thugyan’ – yang diampu oleh KH. Romadon SZ, kajian kitab Burdah yang diampu oleh Kiai Mustofa Bisri, kitab Ihya Ulumuddin dan kitab Misykatul Anwar yang diampu oleh Kiai Ulil Absor Abdullah.
Saya suka kajian online tersebut, karena “kental” dengan ilmu. Cara membacanya, sangat jeli. Mulai dari nahwu, shorof, dan tafsirnya. Jadi, menyeluruh dalam membahasnya.
Diri saya memang banyak kekurangan, harapannya dengan berliterasi saya dapat beribadah. Yuk, perbanyak berliterasi agar kita “melek” ilmu Allah. []
Semarang, 30 April 2021
Ditulis di Rumah jam 05.45 – 06.05 WIB.
Puasa Itu Wajib, Bagi Siapa?
Oleh Agung Kuswantoro
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (Q.S. al–Baqarah: 183).
Dalam kitab Fathul Muin bab tentang puasa, disebutkan bahwa puasa itu wajib bagi mukallaf. Mukallaf dalam hal ini, dimaknai yaitu baligh dan berakal. Mukallaf secara hukum dan kenyataan. Secara hukum artinya, sudah sah sesuai dengan aturan. Secara kenyataan, artinya sudah memenuhi kriteria yang telah ditentukan.
Berbeda kasus mukallaf dalam hal ini, yaitu anak kecil dan orang gila. Anak kecil yang mampu berpuasa dari imsak hingga futur/magrib, maka secara hukum, tetap belum memenuhi. Karena, masih kecil. Orang berpuasa harus baligh. Orang berpuasa harus dewasa.
Demikian juga, (maaf) orang dewasa yang gila, ia sudah berumur, namun syarat mukallaf—dalam hal ini, yaitu berakal—itu tidak memenuhi. Jadi, walaupun ada orang dewasa yang gila itu, beribadah puasa. Maka, secara syarat/hukum itu, tidak memenuhi. Orang yang berpuasa itu, harus berakal.
Syarat mukallaf menjadi gugur/batal/tidak berlaku, ketika seorang wanita dewasa sedang haid, nifas, atau wiladah. Mengapa wanita yang haid, nifas, atau wiladah menjadi gugur secara hukum, walaupun yang bersangkutan itu mampu melakukan ibadah puasa? Para ulama mengatakan, bahwa puasa harus dilakukan dalam keadaan suci bagi seorang wanita. Bukan, dilakukan oleh wanita yang dalam keadaan “kotor”.
- H. Sukiman Rusli, SpPD – seorang dokter dan anggota Komisi Fatwa MUI DKI – dalam bukunya, “Berpuasa Di Saat Sakit dan Sehat”, mengatakan seorang pasien/orang yang sakit dapat memutuskan berpuasa atau batal harus menggunakan beberapa petunjuk yaitu (1) Berkonsultasi dengan dokter muslim yang mahir dan terpercaya, (2) Apabila dokter belum bisa membuat keputusan “apakah berpuasa atau batal”, maka pasien/orang tersebut, dapat membuat keputusan berdasarkan pengalaman pribadi pasien, saat pelaksanaan puasa sebelumnya. Sebaiknya pasien tersebut—dalam membuat keputusan—didukung oleh informasi/ilmu dari buku, majalah, atau pengajian, (3) Bila dokter tidak ada yang mahir dan pengalaman belum ada, maka pasien tersebut melaksanakan ibadah puasa saja. Pastinya, selama berpuasa mengamati organ tubuh dan gejala penyakit yang dirasakan. Nah, disinilah pasien dapat membuat keputusan untuk tetap melanjutkan berpuasa atau batal puasa (Rusli, 2018:139-140).
Dari penjelasan di atas, sungguh “terbalik” saat ada orang yang sehat berjenis kelamin laki-laki dan sudah memenuhi hukum untuk melaksanakan ibadah puasa (mukallaf), namun ia tidak berpuasa. Dan, laki-laki tersebut ada, di lingkungan kita. Ia merasa dirinya, tidak wajib berpuasa dengan alasan yang menurut dia, itu benar. Misal, dengan alasan yaitu:pekerjaan yang susah, berat, cuaca panas, dan fisik tidak mampu, dimana ia memutuskan tidak berpuasa. Namun, ia tetap sholat.
Bagaimana, para pakar menghadapi kasus di atas? Para ahli mengatakan, bahwa kebanyakan orang tidak melakukan puasa—walaupun sudah mukallaf/baligh/berakal—dikarenakan ia memiliki banyak dosa. Dosa yang banyak, itulah menutupi hatinya.
Ia melakukan perbuatan dosa dimulai dari pekerjaan yang tidak dirasa—berpotensi menjadi sebuah dosa—seperti:berbohong, berkata ah kepada orang tua, menyalahgunakan jabatan, menggosip (ghibah), mengadu domba/memprovokasi perbuatan buruk kepada orang lain, berprasangka buruk, mempercayai ramalan, dan dosa kecil lainnya.
Dosa-dosa kecil bisa menjadikan hati seseorang bisa sakit (qolbun marid), yaitu hati yang tidak bisa membedakan hak/benar dan batil/salah, sehingga ia tidak sadar telah melakukan dosa—baik dosa kecil—yang “bertumpuk” menjadi dosa besar.
Oleh karenanya, sebagai orang muslim harus melakukan ibadah puasa. Muslim adalah syarat orang diperbolehkan untuk melakukan ibadah puasa. Secara fiqih itu, cukup syarat berpuasa yaitu muslim saja. Akan tetapi, tidak cukup secara al-Qur’an, bahwa syarat berpuasa itu muslim. Syarat berpuasa secara al-Qur’an itu, harus beriman.
Secara tauhid ada istilah islam, iman, dan ihsan. Ketiga istilah tersebut, harus selalu beriringan. Ada orang islam, namun belum beriman akan keberadaan alam akhirat. Ada orang islam, namun untuk berbuat sedekah (baca: ihsan), ia masih eman-eman. Sehingga, kita harus belajar tingkatan islam, iman, dan ihsan. Kita ada pada level mana? Hanya, Anda sendirilah yang lebih yang bisa menjawabnya.
Dengan demikian, mengapa ada orang sehat, berakal, mampu, dan tidak ada masalah penyakit dalam dirinya itu—tidak melakukan puasa—dengan alasan yang menurut dia benar yaitu pekerjaan susah, banyak, cuaca panas, dan tidak kuat lapar adalah kurang tepat. Seharusnya, pendekatan hati yang digunakan. Bukan, pendekatan fisik. Karena pendekatan fisik secara kesehatan itu, tidak masalah. Namun, pendekatan hati orang tersebut, bermasalah. Bermasalahnya karena apa? Karena, dosa yang menutupi hatinya, sehingga akal mencari alasan, agar tidak berpuasa. Jelas hal ini tidak tepat. Oleh karenanya, kembalilah ke al-Qur’an, agar kita beriman. Berimanlah yang dipanggil oleh Allah untuk melakukan ibadah puasa (ya ayyulah aldzina amanu). Bukan, ya ayyuhal muslimun (wahai orang-orang islam). Karena, orang islam, belum tentu melakukan ibadah puasa. Baru setelah beriman yang berpuasa, akan naik kelas menjadi tattaqun orang bertakwa (QS. al-Baqoroh 183).
Demikian, tulisan singkat ini. Ada beberapa simpulan, yaitu:
- Syarat berpuasa, fiqih menyebutkan dengan istilah mukallaf. Mukallaf artinya berakal dan baligh.
- Ada orang yang sakit bisa berpuasa atas anjuran dokter yang sangat mahir dan beragama muslim, serta atas keyakinan dan keteguhan diri orang yang akan melakukan puasa. Dasarnya, konsultasi ke dokter dan keyakinan pasien.
- Ada orang islam dan mukallaf (baligh dan berakal), tetapi tidak berpuasa, dengan alasan pembenaran atas dirinya. Dalam konteks ini, itu tidak dibenarkan. Karena ia membenarkan dirinya.
- Bisa jadi, dosa yang banyak menghambat orang sehat, dewasa, dan berakal (mukallaf) untuk tidak melakukan ibadah puasa. Orang yang tertutup hatinya, menjadikan penghalang dan malas untuk melakukan ibadah puasa. Agar terbuka hatinya, bertobatlah segera bagi orang yang telah sakit hatinya (qolbun marid).
Semoga bermanfaat tulisan ini. Amin. []
Semarang, 6 April 2021
Ditulis Di Rumah jam 03.00 – 03.30 WIB, kemudian dilanjutkan di Madrasah Aqidatul Awwam jam 05.00 – 05.15 WIB.
Recent Comments