Mengapa Berkata “Maaf”, Usai Berpuasa?
Oleh Agung Kuswantoro
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Qaulan Sadida/perkataan yang benar” (QS. an-Nisa: 9).
Sudah 11 hari kita masuk bulan Syawal 1443 Hijriah, umat Islam di seluruh dunia akan merayakan hari raya Idul Fitri, Idul Fitri identik dengan ucapan “mohon maaf lahir batin”. Ada sebuah pertanyaan besar: mengapa kita pada hari kemenangan, berkata “mohon maaf lahir dan batin?” Mengapa tidak berkata: “merdeka?” tetapi, malah berkata: “maaf”.
Secara logika orang yang “menang“ akan mengatakan suatu kebahagiaan dengan kalimat “alhamdulillah”; “yes, menang”; “merdeka”; “musuh telah pergi”; “kita menang”; “musuh kalah”; dan ucapan lainnya.
Logika akal manusia, berbeda dengan logika agama Islam. Agama Islam mengatakan: setelah “berperang” melawan hawa nafsu, justru hati tidak diungkapkan dengan rasa selebrasi/perayaan, namun hati harus “menunduk”, “menunduknya” dengan berkata: “maaf”.
Lalu, mengapa kita berkata maaf kepada manusia? Karena, kita telah melakukan kesalahan kepada seseorang. Cara melebur/menghapus kesalahan kepada sesama manusia adalah meminta maaf kepada yang telah dibuat salah.
Meminta maaf, hanya berlaku kepada manusia. Tidak ada saling maaf, antar manusia dengan tumbuhan. Tidak ada, saling memaafkan antara manusia dengan hewan. Dan, tidak ada, saling memaafkan antara hewan dengan tumbuhan. Namun, ada manusia minta maaf dari manusia kepada Tuhan, yaitu bernama permohonan ampun/istigfar.
Maafnya, manusia kepada Allah dinamai tobat. Ciri-ciri tobat diawali dengan sifat “merasa” dan “menyadari”. Bisa jadi, tanpa ucapan: “maaf” itu, tidak masalah. Artinya: tidak harus berkata: “Ya Allah, aku minta maaf”. Tanpa perkataan tersebut, tidak masalah.
Sekali lagi, maaf kepada Allah yang sangat dibutuhkan adalah “merasa salah” dan “menyadari atas kesalahannya”. Sama dengan kesalahan seorang manusia dengan kepada sesama manusia. Manusia akan mengetahui dirinya bersalah, jika manusia tersebut/ia telah “merasa” dan “menyadari” akan kesalahan yang dilakukan kepada orang lain. Disinilah, peranan hati akan “berfungsi”.
Sadar itu dalam hati. Sadar itu, bukan di otak. Bisa jadi, otak masih merasa “kekeh” atau “bersih keras” atau “angkuh” untuk melawan akan sebuah kesalahan. Namun, hati akan mendorong sesorang akan “lemes”, atau “merelakan”, atau mengikhlaskan atas kesalahan orang lain kepada diri kita.
Lantas, bentuk kesalahan seperti apa yang bisa menjadikan dosa? Menurut Amiruddin (2011) dalam buku “Ketika Dosa Tak Dirasa: Yang Kecil pun Bisa Menjadi Besar” mengatakan bahwa, ada delapan dosa yang tak dirasa yaitu (1) berbohong; (2) berkata ”ah” kepada orang tua; (3) menyalahgunakan jabatan; (4) ghibah; (5) mengadu domba; (6) su’udzon; (7) mempercayai ramalan; dan (8) menyembunyikan aib barang dalam transaksi jual beli.
Dari kedelapan perbuatan dosa kecil/dosa yang tak dirasa tersebut, bahwa 6 dari 8 perbuatan dosa tersebut (75%) berasal dari “mulut”. Bahasa penulis, “mulut” adalah sumber utama orang melakukan dosa.
Mulut sumber utama orang melakukan dosa atau melakukan kesalahan kepada orang lain. Misal saja: berbohong, melawan nasihat orang tua, ngrasani/ghibah, memprovokasi/mempengaruhi berita buruk, berprasangka buruk/su’udzon, dan menyembunyikan cacat dalam transaksi jual beli.
Gosip/ngrasani/membicarakan kesalahan orang lain/ghibah, menurut para ahli sering dilakukan oleh seseorang dalam masyarakat. Cirinya: ada dua orang berkumpul. Terkait tempat melakukan “ngrasani” tidak memperhatikan “kesucian” suatu tempat atau lokasi. Misalnya, di Masjid/Musholla. Artinya, ngerasani bisa dilakukan di Masjid/Musholla. Minimal, ada orang berkumpul. Disinilah potensi setan masuk untuk “menyulutkan” atau “menyalakan” perbuatan dosa. Setan dimanapun kita berada, pasti ada. Oleh karenanya, jaga iman kita selalu dimana pun dan kapan pun berada, agar setan tidak hadir di sekitar kita.
Lalu, apa “obat” atas kesalahan/dosa kepada sesama manusia? Jika kesalahan kepada sesama manusia, maka minta maaflah. Yang minta maaf yang memiliki/melakukan kesalahan. Konteks di dunia, ada istilah “pengadilan”. Pengadilan itulah yang akan menunjukkan sebuah kesalahan dan menujukkan bukti-bukti yang autentik dalam persidangan.
Tanpa, ada bukti yang autentik atas suatu kesalahan, maka kebenaran tidak akan muncul. Sebaliknya, jika bukti menunjukkan suatu kesalahan, maka hukuman yang akan menimpa seorang yang bersalah. Kebenaran yang akan muncul/berkata.
Namun konteks dunia, berbeda dengan konteks akhirat/agama. Jika kesalahan itu tertuju kepada Allah, maka bertobat. Menurut Amirullah (2011) bahwa cara menghapus dosa/kesalahan kepada Allah dengan cara (1) sholat, (2) shaum/puasa, (3) bersedekah, (4) memperbanyak istigfar, dan (5) taubatan nasuha.
Sedangkan, untuk kesalahan mulut manusia dapat dilakukan, sebagaimana tuntunan al-Quran mengatakan dengan berkata (1) qaulan sadida/berkata benar, (2) qaulan baligh/berkata yang berbekas dalam jiwa, (3) qaulan ma’rufan/berkata yang baik, (4) qaulan karima/perkataan yang mulia, (5) qaulan layyina/perkataan yang lemah lembut, (6) dan qaulan maysura/perkataan yang mudah.
Demikianlah tulisan singkat ini, ada beberapa simpulan yaitu:
1. Kemenangan Idul Fitri tidak dilakukan dengan pesta/selebrasi, namun dilakukan dengan memperbanyak kata “maaf” atau “meminta maaf”.
2. Kita berkata “maaf” kepada sesama manusia, karena kita telah melakukan sebuah kesalahan. Meminta maaf itu, hanya pada sesama manusia. Meminta maaf manusia kepada hewan dan tumbuhan itu tidak ada. Meminta maaf hewan kepada tumbuhan, juga tidak ada. Namun meminta maaf manusia kepada Tuhan, dinamakan tobat.
3. Contoh kesalahan/dosa manusia kepada manusia yaitu: berbohong, melawan/berkata “ah” kepada orang tua, menyalahgunakan jabatan, ngrasani/ghibah, memprovokasi/mempengaruhi/adu domba, su’udzon, mempercayai ramalan, dan menyembunyikan aib barang saat jual beli.
4. 75% kesalahan/dosa manusia kepada manusia berasal dari mulut. “Ngrasani” adalah perbuatan yang sering dilakukan oleh manusia yang tanpa melihat kesucian suatu tempat dan waktu yang tak terbatas.
5. Salah satu cara menghilangkan kesalahan sesama manusia dalam konteks “dunia” adalah meminta maaf kepada orang yang telah diperlakukan salah. Sedangkan cara menghapus kesalahan dosa kepada Allah adalah dengan sholat, berpuasa, besedekah, memperbanyak istigfar, dan taubatan nasuha.
6. Mari, berkata baik sesuai dengan tuntunan al Quran dengan qaulan sadida/berkata benar, qaulan baligha/berkata yang berbekas dalam hati, qaulan ma’rufan/berkata baik, qaulan karima/berkata yang mulia, dan qaulan maysura/berkata yang mudah.
Semoga bermanfaat tulisan ini. Amin. []
Semarang, tulisan ini pernah ditulis 8 Mei 2021 dan diedit tanggal 12 Mei 2022
Ditulis di rumah jam 05.00 – 05.55 WIB. Disampaikan juga dalam halal bihalal yang diselenggarakan oleh mahasiswa.
Recent Comments