Beberapa Tuntunan Agama yang Ditetapkan Pada Tahun Kedua Hijriah
Oleh Agung Kuswantoro
Beberapa hal penting yang berkaitan dengan tuntunan agama ditetapkan Allah pada tahun ke-2 hijriah yaitu:
- Pengalihan Kiblat ke Mekkah
Salah satu peristiwa penting di Madinah yang terjadi pada tahun ke-2 Hijriah adalah pengalihan kiblat ke Mekkah. Memang, sebelum hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad saw, berkiblat ke Ka’bah di Mekkah. Tetapi setelah hijrah ke Madinah, di mana bermukim banyak orang Yahudi, agaknya Nabi saw. bermaksud menunjukkan kepada mereka bahwa Islam tidak datang untuk merombak segala sesuatu yang pernah diajarkan oleh rasul-rasul terdahulu, termasuk Nabi Musa as., karena itu atas inisiatif Nabi sendiri atau atas petunjuk Allah, beliau dalam shalat mengarah juga ke Bait al-Maqdis yang merupakan kiblat orang-orang Yahudi. Enam belas bulan lamanya Nabi saw. dan kaum Muslim mengarah ke Bait al-Maqdis di Palestina, tetapi harapan beliau agar orang-orang Yahudi mau menerima Islam bukan saja tidak tercapai, bahkan mereka berusaha memadamkan cahaya llahi yang terpancar melalui Nabi Muhammad saw. Dari sini Nabi saw. merasa bahwa kebijakan tersebut tidak berhasil dan lebih baik dan tepat bila kaum Muslim mengarah ke Ka’bah di Mekkah.
Ini bukan saja karena Ka’bah jauh lebih tua daripada Bait al-Maqdis yang dibangun oleh Nabi Sulaiman, sedang Ka’bah dibangun – atau direnovasi – oleh Nabi Ibrahim as., tetapi juga karena Ka’bah adalah rumah peribadatan pertama buat kaum Muslim maupun Nasrani dan Yahudi, kesemuanya seharusnya berbangga karena Ka’bah dibangun dan diagungkan oleh Nabi Ibrahim as. yang merupakan bapak agama-agama Yahudi, Nasrani, dan Islam.
Bisa jadi juga Ka’bah di Mekkah dijadikan Allah kiblat bagi umat manusia karena disamping Ka’bah adalah rumah peribadatan pertama, juga karena, menurut banyak pakar kontemporer, posisi Mekkah adalah pusat bumi yang oleh al-Qur’an dinamai Umm al-Qura. Untuk mengetahui lebih banyak tentang hal ini, rujuklah antara lain ke Tafsir al-Misbah karya penulis ketika menguraikan makna Umm al Qura pada QS. Al-An’am [6]: 96
Apa pun pandangan ulama atau ilmuwan tentang Mekkah/Ka’bah atau apa pun latar belakang pemilihannya sebagai kiblat, yang jelas adalah keinginan Nabi Muhammad saw. untuk beralih ke Ka’bah itu sedemikian besar sehingga sering kali beliau mengarahkan pandangan ke langit bagaikan berdoa semoga turun perintah agar mengarah ke sana. Dan demikianlah adanya sehingga satu ketika pada tahun ke-2 H, tepat pula pada pertengahan rajab atau menurut riwayat lain pertengahan Sya’ban dan di saat Shalat Zhuhur – riwayat lain Ashar – turunlah firman Allah yang tercantum dalam QS. Al-Baqarah [2]: 144, yang menyatakan: “Sungguh Kami sering melihat wajahmu (penuh harap) menengadah ke langit. Allah mengetahui keinginan, isi hati, atau doamu, maka memenuhi keinginanmu serta mengabulkan doamu sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang engkau sukai, maka kini palingkanlah wakahmu ke arah Masjid al-Haram; dan di mana saja kamu, wahai Nabi, demikian juga kaum Muslim berada, palingkanlah wajah-wajah kamu ke arahnya walau bukan di rumah tempat turunnya ayat ini atau bukan pada waktu Zhuhur atau Ashar. Sesungguhnya orang-orang yang diberi al-Kitab yakni Taurat dan Injil, mengetahui, bahwa berpaling ke Masjid al-Haram itu adalah benar dari Tuhan mereka dan juga Tuhan kaum Muslim. Mereka mengetahui bahwa itu benar, karena dalam kitab mereka ada keterangan bahwa nabi yang akan diutus akan mengarah ke dua kiblat, pertama ke Bait al-Maqdis dan kedua Ka’bah; Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan termasuk upaya mereka menyembunyikan kebenaran itu”.
- Puasa Ramadhan dan yang berkaitan erat dengannya
Pada tahun ke-2 H ditetapkan juga oleh Allah kewajiban berpuasa Ramadhan sebulan penuh berdasar firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah [2]: 183: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
Sebelum diwajibkannya puasa sebulan penuh ini, Nabi saw. bersama kaum Muslim telah melakukan puasa selama tiga hari dalam sebulan. Bahkn sementara ulama berpendapat bahwa pada mulanya Allah memberi alternatif berpuasa atau tidak bagi mereka yang slit/merasa berat berpuasa berdasar firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah [2]: 184: ”Bagi orang-orang yang merasakan beban berat bila ia berpuasa maka (bila ia tidak berpuasa), ia berkewajiban membayar fidyah berupa memberi makan seorang miskin”.
Zakat harta dalam berbagai jenisnya diwajibkan juga pada tahun ke-2 hijriah, demikian pendapat mayoritas ulama. Memang ada juga ulama yang berpendapat bahwa zakat diwajibkan sejak awal kenabian atau paling tidak “berdekatan” masanya dengan kewajiban shalat lima waktu, yakni di Mekkah setelah Isra’ Mi’aj, tahun kesepuluh kenabian, karena itu menurut penganut pendapat ini, zakat sering kali dirangkaikan penyebutannya dengan shalat. Disamping itu, kata mereka, sekian banyak ayat yang turun d Mekkah, sebelum Nabi saw. berhijrah, yang menyebut zakat, seperti QS. Al-Muzzammil [73]: 20 dan al-Bayyinah [98]: 5, yang keduanya merupakan wahyu-wahyu pertama yang diterima Nabi saw. Disisi lain, masih menurut mereka, kewajiban menyisihkan sebagian harta untuk fakir miskin merupakan satu hal yang sangat dibutuhkan dalam rangka mendukung fakir miskin dari kalangan kaum Muslim yang ketika itu cukup banyak, karena ketika itu yang memeluk Islam sering kali diusir oleh keluarganya atau tuan-tuan mereka, tanpa diberi hak-haknya. Bahwa perintah memungut zakat dalam firman-Nya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu ( menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. At-Taubah [9]: 103).
Perintah ini masih menurut penganut pendapat d atas, boleh jadi dalam konteks menyebut kadar zakat atau berfungsi menguatkan perintah-perintah sebelumnya, ketika kaum Muslim telah berada di Madinah dan bebas dari gangguan masyarakat Mekka, atau boleh jadi juga ia merupakan perintah untuk mengambilnya dari orang-orang munafik.
Pada tahun kedua hijriah, ada pernikahan putri Nabi Muhammad saw as-Sayyidah Fatimah az-Zahra dengan Sayyidina Ali bin Abi Tholib. Adapun Sayyidina Ali bin Abi Tholib berusia 21 tahun dan as-Sayyidah Fatimah az-Zahra berusia 15 tahun.
Selain itu, pada tahun kedua hijriah dilaksanakan solat sunah pertama Idul Fitri dan Idul Adha.
Demikian peristiwa-peristiwa tuntunan agama yang terjadi pada tahun kedua hijriah. Ternyata, sudah 1442 tahun yang lalu terjadi peristiwa tersebut. []
Selesai.
Materi pernah disampaikan di Masjid Ulul Albab UNNES pada kultum malam ke-3 solat Tarawih dan ngaji pasanan di Rumah.
Daftar Pustaka:
Kitab Tarikhun Nabi Muhammad Solla allahu ‘Alaihi wa Alihi wa Sallam karangan Kiai Toha Mahsun. Toko kitab Salim Nubhan Surabaya.
Quraish Shihab. 2012. Membaca Sirah: Nabi Muhammad Saw: dalam sorotan al-Qur’an dan Hadist-Hadist Shahih. Jakarta: Lentera Hati.
Ibnul Jauzi. 2018. Al-Wafa: Kesempurnaan Pribadi Nabi Muhammad. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Recent Comments