• Monday, January 08th, 2024

Menokohkan

Oleh Agung Kuswantoro

Dalam hidup bermasyarakat, menurut pakar menyebutkan, ada istilah menokohkan. Menokohkan adalah seseorang yang mengatakan dan memposisikan diri sebagai sosok atau manusia yang memiliki peran dalam kehidupan bermasyarakat. Bisa jadi ia/tokoh yang menokohkan diri tersebut, tidak aktif dalam kegiatan masyarakat tersebut.

Misal: ada sosok yang menokohkan (diri) Kiai. Namun, faktanya Kiai (yang menokohkan tersebut) sebenarnya tidak pernah sholat lima waktu di Masjid yang berada di lingkungan masyarakat. Atau, yang bersangkutan tidak pernah memberikan khotbah sholat Jum’at, tidak pernah memberikan kultum, atau tidak pernah memberikan pengajian/nasihat kepada masyarakat/jamaahnya.

Lagi: ada sosok yang menokohkan (diri) penasihat/engurus Masjid. Namun, faktanya: sosok yang menokohkan pengurus/penasihat Masjid tersebut, sama sekali tidak aktif hadir sholat lima waktu di Masjid yang ia jabat. Meskipun, ia tidak aktif sholat di Masjid yang ia jabat, namun ia rajin memberikan masukan mengenai pelaksanaan apa pun yang terjadi di Masjid yang ia tidak pernah “sholati”.

Jika melihat kasus tersebut, sebagaimana kita—manusia biasa—yang dalam “hati” kurang “sreg” dengan keadaan tersebut, maka lebih baik, menghindari dari tempat yang “menokohkan” tersebut. Atau, berperilaku diam saja. Tujuannya, agar yang bersangkutan selamat.

Mengapa? Orang yang menokohkan tersebut, pasti akan lebih aktif dan dominan dalam Masyarakat tersebut, meskipun sebenarnya ia tidak memiliki peran sama sekali sebagai Kiai atau pengurus/penasihat Masjid. Hanya saja, ia hanya menokohkan (diri), namun masyarakat tidak menganggapnya sebagai tokoh masyarakat.

Yang benar adalah sosok yang ditokohkan oleh masyarakat sesuai ilmu dan kemampuannya. Misal: ada orang ahli agama rajin ke Masjid, maka masyarakat akan menokohkan dia sebagai tokoh agama dengan menjadikan imam atau ustad, khotib dalam masyarakat tersebut. Karena yang bersangkutan rajin sholat lima waktu di Masjid dan memiliki ilmu, ia aktif khotib di Masjid, ia aktif memberikan kajian/nasihat kepada jamaah di Masjid, dan contoh teladan yang santun untuk patut dicontoh oleh masyarakat.

Demikian pula masyarakat yang memiliki contoh tokoh masyarakat sebagai pengurus/penasihat Masjid yang baik, maka: pengurus/penasihat Masjid tersebut akan rajin beribadah di Masjid tersebut dan memperhatikan kondisi situasi Masjid, serta bersosialisasi dengan para jamaah.

Mari, kita belajar menjadi pribadi yang baik, agar menjadi tokoh untuk diri sendiri saja dengan memperbanyak ilmu dan mengamalkan ilmu tersebut, tanpa bermaksud menokohkan atau ditokohkan menjadi diri yang baik di Masyarakat. Biarlah Allah yang menilai!

Semarang, 7 Januari 2024

Ditulis di Rumah jam 04.36 – 04.50 Wib.

Category: Uncategorized
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Leave a Reply