• Saturday, November 27th, 2021

Mempopulerkan Hasil Karya Ulama Melalui Menulis

Oleh Agung Kuswantoro

 

Tahun 2014—tepatnya bulan Juni 2014—ada lomba esai menulis mengenai pemikiran Gus Dur yang diselenggarakan oleh PMII Rayon Abdurrahman Wahid, Semarang. Saya sebagai orang awam tertarik untuk mengikuti lomba tersebut.

 

Mengapa, saya tertarik mengikuti lomba tersebut? Karena sosok Gur Dur itu unik, menurut saya. Saya mengumpulkan bahan untuk menuliskan pemikiran Gur Dur dari sisi pendidikan. Ketemulah, judul: “Pesantren: Minoritas Masuk Formal”.

 

Dalam esai yang sudah dijadikan buku, ternyata ada 18 penulis yang masuk dalam buku tersebut. Oleh panitia diambil lima besar pemenang. Alhamdulillah, saya masuk dalam 5 pemenang tersebut. Nama saya, ada diurutan ketiga. Berikut pengumumannya: https://www.pmiigusdur.com/2014/01/pengumuman-lomba-esai-gus-dur.html.

 

Kisah di atas adalah pengantar saya dalam menyampaikan materi tentang literasi pada kegiatan MAKESTA/Masa Kesetiaan Anggota yang diselenggarakan oleh IPNU IPPNU Wahab Hasbullah UNNES yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Rahmatallil Alamin Patemon, Semarang pada Jumat-Ahad (26-27 November 2021).

 

Melalui kegiatan tersebut, saya akan menyampaikan: bagaimana cara mempopulerkan dari pemikiran ulama melalui menulis?

 

Jawaban singkatnya adalah banyak baca. Membaca tidak hanya sekali, namun berkali-kali. Membaca bukan hanya dimaknai bersumber dari buku saja. Namun, dari pengamatan/memperhatikan/menganalisis situasi lingkungan sekitar.

 

Pahami betul, keadaan saat ini. Lalu, bandingkan dengan keadaan ulama saat melakukan sebuah “terobosan” pada zamannya. Misal: Gus Dur. Beliau “berani” memasukkan Pondok Pesantren “menjadi” Formal. Padahal, Pondok Pesantren termasuk dalam kategori non formal yang dikelola secara swadaya (Yusuf: 2015:1).

 

Dari situlah saya membahas pemikiran Gus Dur yang “nyleneh” itu diantaranya: meliburkan belajar sekolah full selama satu bulan Ramadan, siswa dapat “nyantri” gaya belajar “pasaran” di pesantren saat Ramadan, pembelajaran selama Ramadan di pesantren lebih lama dibandingkan pesantren kilat yang dilakukan di sekolah, buku/kitab sebagai referensi kajian selama Ramadan lebih valid dibandingkan dengan pesantren kilat di sekolah, Guru (baca: Ustad/Kiai) yang menyampaikan pembelajaran juga lebih bisa dijadikan contoh teladan bagi santrinya, materi yang ada dalam kitab berisikan “nilai” yang luhur dan kuat dengan ilmu alat (nahwu, sorof, balagoh, mantik) dan pemikiran lainnya mengenai pesantren.

 

Kemudian, yang paling penting adalah pemikiran kebaruan/novelty dari sebuah tulisan. Saya contohkan dalam tulisan saya mengenai Gus Dur, kebaruannya adalah mengkombinasikan sekolah dengan pesantren dengan membuat model/bagan, dimana memasukkan faktor lingkungan, budaya, teknologi, dan komunikasi dalam satu “kotak kecil” yang mempengaruhi kombinasi antara sekolah dan pesantren.

 

Nah, bagaimana dengan kita di sini? Cobalah untuk lebih banyak membaca karya atau pemikiran pada ulama. Bacalah kitab-kitab kuning selama kita belajar di Pesantren. Bacalah karya ulama yang kita kagumi. Pahami dan amatilah lingkungan sekitar. Lalu, tulislah. Dengan cara kita menulis, maka dengan sendirinya kita telah mempopulerkan pemikiran Ulama kepada masyarakat dan menyampaikan isi kitab atau buku yang kita baca kepada lingkungan sekitar.

 

Semarang, 27 November 2021

Ditulis di Rumah, jam 02.00-02.40 WIB.

 

• Sunday, November 21st, 2021

Menata Diri (6): Mengidentifikasi Persoalan Pribadi
Oleh Agung Kuswantoro

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (QS. al-Baqarah: 286).

Salah satu ciri orang yang sudah memahami dan mampu mengidentifikasi persoalan pribadi/personal problem yaitu “separuh” permasalahan/problem dan beban hidup sudah terselesaikan. Bisa jadi, beban hidup terasa berat bukan karena besarnya permasalahan/problem yang menumpuk di atas pundak, tetapi karena kita tidak mampu memetakan permasalahan/problem.

Bisa jadi, persoalan kehidupan merupakan masalah psikologis dalam diri orang tersebut. Bisa jadi, persoalan itu sesungguhnya tantangan, bukan sebagai persoalan. Oleh karenanya, kita harus membedakan: mana persoalan hidup dan tantangan hidup.

Personal problem/persoalan pribadi yang sering dirasakan oleh banyak orang adalah (1) adanya “jarak” antara tuntutan kerja dan kecenderungan hati nurani, serta (2) kecenderungan nurani seringkali terkalahkan dengan mancari untung.

Adanya “jarak” antara tuntutan kerja dan kecenderungan hati nurani seperti: hati sesungguhnya tidak setuju dengan pekerjaannya, tetapi apa boleh buat hanya pekerjaan ini yang tersedia. Sehingga, saat bekerja ia tidak merasa optimal dalam berkarya. Kecenderungan nurani yang “terkalahkan” oleh mencari untung disebabkan oleh sikap rakus dan ambisi. Yang dikejar hanya “uang” dan urusan dunia saja.

Setiap manusia, pasti memiliki permasalahan/”beban hidup”, sebagaimana firman Allah pada ayat paragraf di atas/QS. al-Baqarah: 286. Al-Mawardi memaknai ayat tersebut, yaitu: penetapan beban “hidup” atau taklif yang “dibebankan” Allah kepada manusia ada tiga bentuk yaitu (1) perintah untuk menyakininya; (2) perintah untuk mengerjakannya; dan (3) perintah untuk meninggalkannya. Dengan adanya “beban” hidup ini menunjukkan kasih sayang Allah kepada manusia dalam memberikan kemudahan dan keringanan kepada manusia untuk berusaha menyelesaikan permasalahan hidupnya.

Agama
Prof. KH Dr. Nasaruddin Umar, MA (2021) mengatakan cara terbaik mengatasi permasalahan pribadi adalah menguatkan agama kita. Agama adalah “sahabat” paling “intens” dengan manusia. Dikatakan “sahabat” karena setiap manusia memiliki kodrat dan naluri untuk beragama. Dikatakan “intens” karena sepanjang waktu, kapan, dan dimanapun, agama harus selalu hadir didalam jiwa dan raga manusia.

Tapi terkadang manusia, terbebani dengan agama. Bukan, seharusnya mencari solusi atas permasalahan melalui agama. Manusia seharusnya tidak bisa hidup tanpa agama, tetapi ada manusia yang terbebani oleh agama. Misal ada kalimat: “Aduh, Aku belum solat”. Padahal, sejatinya salat itu adalah “obat” bagi orang yang sedang “sakit” jiwa, penyelesaian masalah, dan bentuk “komunikasi” kepada Allah.

Agama pada level awal berisi “benturan”, agama pada “level” menengah berisi “pengertian mendalam”, agama pada “level” atas berisi “cinta”, agama pada “level” puncak berisi “kepasrahan dan tawakal”. Mari terus pahami, dalami, dan praktikkan agar selalu bisa “naik level”. Jika kita berada pada “level awal”, maka yang ada adalah “benturan-benturan” terus. Sedangkan, saat pada “level puncak”, maka yang ada adalah “meringankan dan diringankan”, karena “ikhlas”: apa pun yang terjadi dalam hidupnya diizinkan oleh Allah. “Mendakilah” setiap “level” agama tersebut “tingkat/level” demi “tingkat/level”, hingga mencapai “tingkat/level puncak” yaitu: kepasrahan (baca: Islam).

Saat kita “mencari” agama pada “level-level” tertentu, maka “energi” kita “tersedot”. Jika kelak pada saatnya akan sampai dan menemukan makna hidup. Dari situlah akan “kelebihan/surplus energi”, sehingga kita akan merasakan: “mencari itu melelahkan” dan “menemukan itu melegakan”.

Dunia tanpa agama itu “melelahkan”; agama tanpa dunia itu “menyulitkan”; dan sinergi dunia dan agama itu “melegakan”. Marilah kita kembali kepada agama sebagai solusi atas permasalahan hidup kita. Lalu, identifikasi sendiri, kita beragama ada pada level mana? Jawablah pertanyaan tersebut ; agar Anda dapat hidup “lega” tanpa ada rasa menyulitkan dan “perbenturan” antara hati dan batin Anda,. Semangat!

Semarang, 20 November 2021
Ditulis di Rumah jam 05.00 – 05.30 WIB.

Sumber rujukan: Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. 2021. Menjalani Hidup Salikin. Jakarta: Grasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

• Sunday, November 14th, 2021

 

1000 Masjid, 1 Jumlahnya
Oleh Agung Kuswantoro

Judul tersebut saya mengutip dari Emha Ainun Nadjib dari buku “Seribu Masjid, Satu Jumlahnya (2019). Ada sembilan catatan mengenai masjid.

Pertama, masjid itu ada dua macam yaitu masjid “ruh” dan “badan”. Masjid “badan” bisa itu berdiri tegak, sedangkan masjid “ruh” hanya bersemayam dalam hati.

Masjid “ruh” dan masjid “badan” tidak bisa dihilangkan salah satu dari keduanya. Misal, masjid “ruh” hilang/tidak melekat dalam hati, maka yang tertinggal hanya “batu” masjid. Demikian juga, jika bangunan masjid hilang/hancur, maka tinggallah masjid berupa “hantu”.

Kedua, pembuatan masjid terdiri dari batu, logam, dan nuansa hati. Hati menjadi penopang dari batu dan logam.

Ketiga, masjid “badan” yang berupa batu bata bisa berdiri dimana-mana. Sedangkan, masjid “ruh” itu, tidak menentu dimana tempatnya. Masjid “ruh” bisa tenggelam antara ada dan tiada, karena bersemayam dalam hati. Didalam masjid “ruh”, itulah kita akan diajarkan “nama” Allah. Didalam masjid “badan”, kita akan: berjalan kaki, bersujud, perlahan memasuki masjid, salat tahiyatul masjid, ber-‘iktikaf, bertakbir, dan bersembahyang.

Keempat, masjid “badan” itu berbiaya mahal, padahal temboknya bisa berlumut saat hujan. Sedangkan masjid “ruh” didapatkan dengan kebesaran nama Allah melalui berdzikir.

Masjid “badan” itu bisa: roboh/binasa karena sinar matahari, cat bisa mengelupas, genting bisa beterbangan karena angin putting beliung, dan tembok bisa ambruk karena gempa bumi. Sedangkan masjid “ruh” itu bisa mengabadi didalam hati, meskipun pisau mampu menikam, senapan mampu menembaknya dan politik mampu memenjarakannya.

Kelima, masjid “ruh” bisa dibawa kemana-mana, misal: ke pasar, sekolah, kantor, dan tempat rekreasi. Selain itu, bisa dihadirkan saat naik sepeda, berdesakan di bus, dan di manapun lokasinya. Sebab, masjid “ruh” adalah semesta raya.

Keenam, masjid “badan” itu berdiri tegak, tidak bisa digenggam dan tidak masuk kuburan. Sedangkan masjid “ruh” bisa mengangkat kita melampaui waktu dan “terbang” melintasi alam semesta, hingga “hinggap” atau “bernaung” dalam hati cinta-Nya.

Ketujuh, orang yang hanya memiliki masjid “badan” saat meninggal dunia kelak, berupa daging terkubur karena berharap pada bangunan masjid “badan”. Demikian juga orang yang menyombongkan masjid “ruh” akan “bergentayangan” dan berkeliaran tidak memiliki pijakan tanah, saat meninggal dunia orang tersebut.

Lalu bagaimana yang baik? Menyatulah dua masjid tersebut (masjid “badan” dan “ruh”). Dua masjid menyatu, jumlahnya: syariat dan hakikat menyatu dalam tarikat ke makrifat.

Kedelapan, meskipun di tempat kita ada 1000 masjid, atau 1.000.000 masjid, niscaya/sejatinya masjid jumlahnya hanya satu yaitu masjid yang menyatukan tarikat ke makrifat. Didalamnya pasti ada perbedaan, namun disitulah ada jalan menuju “kemesraan” nurani.

Kesembilan, hanya Allah sebagai muara dari sebuah masjid. Berapa pun jumlah masjid “badan” dan “ruh”, hanya Allah yang “pantas” dituju. Hayya ‘alal falah!

Semoga Andalah pemilik dari masjid “badan” dan “ruh” yang mampu menyatukan tarikat ke makrifat. Insya Allah.

Semarang, 13 November 2021
Ditulis di rumah jam 04.45 – 05.15 WIB.

• Friday, November 12th, 2021

Guru Tamu (Lagi)

Oleh Agung Kuswantoro

 

Sabtu (6 November 2021), saya dapat tugas dari pimpinan di UNNES untuk menjadi guru tamu di SMK Negeri 1 Boyolali. Seperti biasa, saya dapat tugas untuk menyampaikan materi dan praktik e-arsip pembelajaran dari produk yang saya ciptakan.

 

Saya tidak menghitung berapa kali saya jadi guru tamu/narasumber/pembicara mengenai e-arsip pembelajaran. Niat saya saat diundang dan dapat tugas dari pimpinan adalah belajar bersama. Saya tidak merasa sebagai orang yang ahli, namun orang ingin yang cari ilmu.

 

Disitulah, saya kenal banyak orang dengan beragam watak. Selain itu, bisa memahami kemampuan suatu sekolah/lembaga terkait sarana prasarana dalam praktik e-arsip pembelajaran. E-arsip pembelajaran ini, sangat “kental” dengan ilmu kearsipan. Sehingga, saat praktik harus paham konsepnya (bahasa saya: mantra).

 

Semoga melalui tulisan sederhana ini, saya dan Anda tetap menjadi pribadi pembelajar. Tidak puas dengan keadaan atau ilmu yang didapat saat ini. Mari, terus belajar sampai akhir saya. Perjuangkan ilmu dan sebarkanlah ilmu yang telah didapat. [].

 

Semarang, 12 November 2021

• Thursday, November 04th, 2021

E-Arsip Pembelajaran Masih Diterima

Oleh Agung Kuswantoro

 

Sabtu Ahad (30-31 Oktober 2021) saya dapat undangan untuk belajar bersama dengan siswa, guru, dan tenaga kependidikan SMK Negeri 1 Wonosari Gunungkidul, Yogyakarta. Kali ini, adalah kedatangan yang kedua pada sekolah yang termasuk nilai terbaik secara Nasional itu (https://tekno.tempo.co/read/1516333/5-smk-terbaik-di-indonesia-berdasarkan-nilai-utbk/full&view=ok).

 

Satu hal yang membuat saya bersemangat dan bersyukur adalah e-arsip pembelajaran yang saya ciptakan – dengan Trisna – masih diterima. E-arsip pembelajaran adalah produk dari penelitian saya. Dari hasil penelitian ini menghasilkan buku (https://www.kompasiana.com/agungbinmadik/54f41a367455137c2b6c86aa/buku-model-e-arsip-dalam-pembelajaran), artikel (https://scholar.google.co.id/citations?view_op=view_citation&hl=id&user=iYAWzIoAAAAJ&citation_for_view=iYAWzIoAAAAJ:ULOm3_A8WrAC), dan aplikasi sederhana ini. Saya katakan  sederhana, karena berbasis access. Setiap komputer/laptop, pasti memiliki program tersebut.

 

E-Arsip pembelajaran kurang lebih sudah berumur 7 tahun. Sudah saatnya di-upgrade/dinaikkan atau diperbaiki lagi mengingat “pemakai” produk ini masih banyak.

 

Saya berangkat hari Jumat (28 Oktober 2021), kemudian dijemput oleh Pak Wid/Tenaga Kependidikan dan Drs.  Moh. Rokhis/Kepala Sekolah SMK Negeri 1 Wonosari di Jombor Yogyakarta. Sebelum saya ke Yogyakarta, saya sudah koordinasi dengan pihak sekolah mengenai labolatorium komputer yang akan digunakan untuk praktik e-arsip pembelajaran. Saya menyampaikan ke Pak Widiyanto/teknisi sekolah agar minimal ada program Microsoft access.

 

Hari Sabtu (29 Oktober 2021) berlangsung acara pembukaan di ruang pertemuan. Acara pembukaan dihadiri oleh Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah bidang Kurikulum, Wakil Kepala Sekolah bidang SDM, Kepala Prodi OTKP, guru-guru OTKP, siswa-siswa OTKP, dan beberapa tenaga kependidikan. Total ada 40 orang peserta.

 

Acara dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat baik di ruang pertemuan dan ruang praktik komputer. Ruang pertemuan ada di lantai 1, sedangkan ruang praktik komputer di lantai 2. Saya sebagai “pembicara” tunggal, sehingga mengatur strategi dimana saya menyampaikan konsep/teori dan praktiknya. Demikian, manajemen waktunya, harus saya atur agar tepat sesuai dengan target tujuan e-arsip pembelajaran.

 

Saya mengucapkan kepada Kepala sekolah (Drs.  Moh. Rokhis), Wakil kepala sekolah, Kepala Prodi (Sri Edi Budiningsih, S.Pd), tenaga kependidikan, dan siswa OTKP SMK Negeri 1 Wonosari Gunungkidul atas penerimaan saya sebagai “sahabat belajar” dalam kegiatan silaturahim ini. Semoga tetap terjalin dengan baik, hubungan baik ini. []

 

Semarang, 1 November 2021

Ditulis Di Rumah jam 13.00 – 13.15 WIB.

 

 

• Wednesday, November 03rd, 2021

Menata Diri (5): Tabungan Spiritual

Oleh Agung Kuswantoro

 

“Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan (QS. al-Baqarah:110)

 

Mohon maaf, lama belum posting tulisan lagi dengan tema “Menata Diri”, dikarenakan saya harus izin dulu kepada Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA—selaku guru saya—dalam belajar ini. Materi-materi/kajian “Menata Diri” ini bersumber dari beliau, sehingga saya perlu mendapatkan izin terlebih dahulu agar mendapatkan keberkahan. Alhamdulillah beliau mengizinkan atas apa yang saya lakukan. Kembali ke materi kita hari ini.

 

Tabungan. Bicara tabungan tak lepas dari sisa pendapatan atas pengeluaran yang dikeluarkan. Jika ada kelebihan pengeluaran, maka baru bisa “dialihkan” sisa kelebihan tersebut untuk disimpan/ditabung. Jadi, tidak semua pendapatan itu menjadi tabungan. Malahan, bisa jadi seseorang tidak punya dengan tabungan, karena pengeluarannya lebih besar dari pemasukannnya.

 

Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA dalam buku “Menjalani Hidup Salikin” (2021) mengatakan: perlunya tabungan spiritual. Karena, bicara tabungan tidak selalu berpikiran uang (baca: dunia). Tetapi, tabungan juga sangat dibutuhkan oleh “jiwa” (baca: hati) agar lebih tenang dan tentram untuk urusan ukhrawi.

 

Lalu, muncul pertanyaan: “Apa pemasukan dan pengeluaran dalam tabungan spiritual?”

 

Wujud “setoran” tabungan spiritual adalah ibadah khusus dan sosial. Ibadah khusus seperti: salat, zikir, puasa, zakat, haji, tadarus, mengikuti pengajian dan ibadah sebagai penghambaan kepada Allah. Sedangkan, ibadah sosial seperti: melestarikan lingkungan hidup, membantu fakir miskin, membersihkan fasilitas umum, berkata jujur, dan ibadah lain yang berfungsi sebagai kekhalifahan seorang hamba/manusia.

 

Wujud “penarikan” tabungan spiritual adalah perbuatan meninggalkan perintah Allah, seperti: meninggalkan salat, puasa Ramadan, zakat, haji bagi yang mampu, dan meninggalkan perintah ibadah lainnya.

 

Orang tersebut/”menarik” tabungan spiritual itu lebih rajin melakukan perbuatan: zina, berbohong, hasud, munafik, memfitnah, membuka aurat, makan makanan haram, tidak menepati janji, dan perbuatan buruk lainnya.

 

Ayat pada paragraf satu di atas, ada amalan sebagai wujud “setoran” tabungan spiritual, yaitu: menjalin hubungan silaturahim, sedekah (wajib – sunah) membaca al-Qur’an, dan anak-anak sholeh karena kelak anak-anak akan menjadi syafaat di hari akhirat.

 

Perbuatan-perbuatan tersebut, Insya Allah akan menjadi “koin” pahala dan “simpanan” syafaat kelak. Hal ini selaras dengan firman Allah: “(Ingatlah) pada hari (ketika) setiap jiwa mendapatkan (balasan) atas kebajikan yang telah dikerjakan dihadapkan kepadanya, (begitu juga balasan) atas kejahatan yang telah dia kerjakan. Dia berharap sekiranya ada jarak yang jauh antara dia dengan (hari) itu”. (QS. Ali-Imran: 30).

 

Dampak positif dari “penyetoran” tabungan spiritual adalah “suasana” batin lebih tenang, adem, tentram, segar, dan bahagia. Perasaan menjadi aman, nyaman, dan tidak sumpek, seperti orang-orang yang ikhlas menerima dirinya berupa: kelebihan dan kekurangannya.

 

Sebaliknya, dampak “kosong” atau “minimnya” setor tabungan spiritual adalah kemrungsung, sumpek, lemas, selalu dihantui rasa takut, curiga, dan “malas”, tidak percaya diri, dan menjauhinya orang lain kepada orang tersebut.

 

Jika kita “menyetor” tabungan spiritual, maka mengantarkan kepada penyadaran kepada kehidupan akhirat yang abadi. Karena namanya saja tabungan, sehingga menikmati hasil menabung spiritual adalah di alam akhirat. Adapun bekal terbaik menuju akhirat agar selalu stabil bisa “setor” tabungan spiritual adalah takwa.

 

Sebagai penutup, saya mengajak kepada diri sendiri (syukur orang lain) yaitu “isilah” (baca: setorlah) tabungan spiritual secara rutin dengan bekal takwa. Jangan sampai tabungan spiritual yang sudah ada itu, berkurang karena kita melakukan perbuatan maksiat.

 

Nikmatilah “selalu” tabungan spiritual kelak di Akhirat. Adapun nikmat “saldo” dari tabungan spiritual di dunia berupa ketenangan, kedamaian, ketentraman, dan keselamatan batin kita. Semoga perasaan-perasaan tersebut dimiliki oleh kita. Pertanda kita sudah memiliki tabungan spiritual. Amin. [].

 

Yogyakarta, 31 Oktober 2021

Ditulis di Wonosari dan Kota Yogyakarta jam 04.00 – 04.50 WIB.

 

Materi disadur/bersumber dari buku Menjalani Hidup Salikin (2021) karangan Prof, Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA. Jakarta. Grasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

 

 

 

• Monday, November 01st, 2021

Belajar Ke Ulama Yang Valid

Oleh Agung Kuswantoro

 

Banyak media dalam belajar di era saat ini, termasuk internet. Youtube adalah contohnya. Semua orang bisa membuka Youtube, namun apakah materi yang dicari/buka di Youtube itu sesuai dengan kaidah keilmuan?

 

Seperti saat ini. Orang banyak belajar Islam di Youtube. Banyak “Ustad” atau “Kiai” tampil di Youtube. Bahkan, siapa pun bisa menjadi “Ustad” atau “Kiai” di Youtube.

 

Sebagai orang Islam yang terdidik dan berilmu. Menurut saya: jangan asal mencari atau membuka Youtube untuk belajar Islam. Lebih baik, cek “Ustad” atau “Kiai” tersebut keilmuannya. Karena pada masa sekarang, orang bisa menjadi “Ustad” atau “Kiai”, hanya bermodal HP atau komputer. Yang penting, bisa dan berani berbicara dalam camera.

 

Bukalah ulama yang jelas keilmuannya saat belajar Islam di Youtube. Seperti Prof. KH Quraish Shihab, Gus Baha, Gus Mus, Prof. Nasaruddin Umar, Ulil Absar Abdallah, dan ustad Yusuf Mansur. Kiai tersebut, pasti valid secara ilmu, sehingga apa yang disampaikan Insya Allah berdasarkan ilmu.

 

Contoh belajar Islam yang benar menurut saya adalah membuka kitab, sebagaimana dalam pesantren. Bukan, membuka Youtube.

 

Semoga bermanfaat tulisan singkat ini.

 

Semarang, 28 Oktober 2021

Ditulis di Rumah jam 04.00 – 04.15 WIB

 

Agung Kuswantoro, penulis buku bertema sosial dan dosen pendidikan ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang/UNNES. Email: [email protected]; HP. 081 79599354.

 

 

• Monday, November 01st, 2021

Mengelola Forum Literasi

Oleh Agung Kuswantoro

 

Bagi saya, mengelola forum literasi itu susah. Kata kunci dari mengelola literasi adalah komitmen. Didalam komitmen ada niat yang kuat, termasuk di dalamnya adalah tekad yang “bulat” untuk selalu melakukan perbuatan menulis dan membaca.

 

Kegiatan dalam forum literasi itu hanya dua yaitu: membaca dan menulis. Baca dulu, baru menulis. Membaca harus berkali-kali dan banyak sumbernya. Membaca tidak cukup dengan satu buku. Tetapi, harus banyak buku.

 

Demikian juga menulis. Menulis itu tidak sekali jadi. Tapi, harus sering dilatih. Ada istilah menulis tiap hari. Atau, menulis bebas. Jadi apa yang dirasakan, tulislah.

 

Kegiatan yang hanya “menulis” dan “membaca” ternyata, tidaklah mudah. Aturan sudah ditetapkan. Namun, tidak “sembarang” orang bisa melakukannya. Terlebih dalam forum tersebut terdiri dari beragam watak orang.

 

Bagi yang tidak menulis selama tiga kali berturut-turut, maka dikeluarkan dari grup forum literasi tersebut, salah satu aturannya. Aturan tinggalah aturan. Artinya: aturan tersebut tidak berlaku dalam forum literasi yang lemah komitmen untuk berliterasi. Sehingga, jangan “bermimpi” ingin menjadi penulis, tapi tidak berkomitmen untuk membaca dan menulis. Ia komitmennya lemah untuk berliterasi. Jadi, ia hanya “mimpi”.

 

Memang, forum literasi idealnya berisi orang yang komitmen berliterasi. Bukan, berisi orang-orang yang “mimpi” yang menjadi penulis. Atau, orang yang menjadi penulis dengan buku yang best seller.

 

Lalu, bagaimana caranya? Latihlah membaca dan menulis. Kuncinya hanya itu, yaitu membaca dan menulis. []

 

Agung Kuswantoro, dosen Pendidikan Ekonomi Administrasi Perkantoran dan penulis buku bertema sosial. Email: [email protected] HP?WA : 08179599354.

 

Semarang, 30 September 2021

Ditulis Dirumah jam 14.00 – 14.30 WIB.

• Monday, October 11th, 2021

 

Menata Diri (4): “Memupuk” Kecerdasan Spiritual
Oleh: Agung Kuswantoro

“Dari Abu Hurairah ra, berkata: “Rasulullah SAW bersabda, bukanlah kaya itu karena memiliki banyak harta, tetapi kaya yang sejati adalah kekayaan batin (HR. Abu Turmudzi).

Kecerdasan spiritual merupakan potensi terpendam yang dimiliki oleh setiap orang. Potensi itu seharusnya tetap dipelihara dan “dipupuk” kualitasnya agar kualitas rohani selalu meningkat.

Cara termudah “melihat” kecerdasan spiritual dalam diri seseorang adalah kebahagiaan diri orang tersebut. Kebahagiaan akan tampak saat seseorang merespon segala sesuatu.

Ada orang merasa bahagia, saat diberi rizki kecil. Sebaliknya, ada orang yang susah saat diberi rizki besar.

Ada orang yang “tersiksa” dengan musibah kecil. Sebaliknya, ada orang yang “enteng” dengan musibah besar.

Arti kejadian diatas adalah bahagia–kecewa, gembira–sedih, dan tersiksa–enteng itu ditentukan oleh suasana batin seseorang.

Spriritualitas yang cerdas tidak pernah terbebani oleh musibah atau kesulitan lainnya. Karena, kita yakin, bahwa musibah/kesulitan itu cara Allah untuk “mengasihi” kita. Bisa dikatakan musibah dan “kepahitan” hidup adalah “surat cinta” Allah kepada kita.

Tak selamanya kekayaan, kemewahan, dan kecukupan itu mendekatkan diri kepada Allah. Dan, tidak ada jaminan saat kaya akan bahagia. Lihatlah hadist pada paragraph pertama. Artinya, kekayaan batinlah yang bisa mendekatkan diri kepada Allah.

Cara agar bisa “memupuk” kecerdasan spiritual adalah menjaga pola hidup yang istiqomah dengan visi spiritual. Visi ukhrawi harus diutamakan sebagai tujuan hidup. Nabi Muhammad Saw dan sahabatnya selalu meletakkan urusan agama di atas segalanya. Kata Nabi Muhammad Saw: “hidup di dunia itu seperti musafir yang beristirahat sebentar di bawah pohon, lalu melanjutkan perjalanan kembali”.

Sebagai penutup, saya mengutip Prof. KH. Nasaruddin Umar (hal. 21): “Orang yang tingkat kesadaran spiritualnya tinggi, itu lebih memilih kehilangan lahiriah daripada kekayaan batin. Kalbunya dipenuhi cahaya makrifat. Jika kalbu sudah dipenuhi cahaya makrifat, maka tidak ada tempat untuk menggundah persoalan duniawi”.

Semoga apa yang disampaikan oleh Prof. KH. Nasaruddin Umar tentang orang yang berkesadaran spiritual tinggi itu, kita. Kitalah orang yang kaya batin, itu. Semoga! Amin. []

Semarang, 10 Oktober 2021
Ditulis di Rumah jam 04.00 – 04.35 WIB.

• Saturday, October 09th, 2021

Menata Diri (3): Meningkatkan/Meng-upgrade Kesadaran Rohani
Oleh Agung Kuswantoro

Rasulullah SAW bersabda, “Senantiasalah memperbaharui keimanan kalian”. Lalu ada yang bertanya, “Wahai, Rasulullah: bagaimana kami memperbaharui iman kami? Dengan terus mengikrarkan “La ila hailla Allah”. (HR. Ahmad).

Penekanan judul di atas adalah sadar dulu, bukan melakukan. Sadar adalah langkah awal seseorang untuk melakukan sesuatu. Saat sadar, orang akan mudah melakukan perbuatan yang terbenak dihatinya.

Sadar itu bertingkat. Para ahli mengatakan: ada kesadaran yang paling rendah yaitu sadar (to wake up) dan kesadaran yang paling tinggi yaitu sadar (to remain/baqi).

Kesadaran yang paling rendah/wake up, contohnya: bangun tidur. Sedangkan kesadaran yang paling tinggi/to remain/baqi, contohnya: hidup “khusuk” abadi dengan Allah Swt.

Karena kesadaran itu bertingkat dan sifat rohani itu tidak stabil (baca: naik turun), maka sebagai mukmin perlu meningkatkan kesadaran hati/kalbunya. Hatinya dulu disadarkan. Karena, hati memiliki sifat naik turun. Tidak konstan. Sehingga dalam bahasa Arab, “hati” dinamakan kalbu. Karena, sifatnya yang cepat berubah.

Hadist pada paragraf awal menuntun kita, agar selalu mengikrar “Tiada Tuhan selain Allah”. Silakan dimaknai sendiri penerapan dalam kehidupan kita. Jika saya memaknainya yaitu: Allah selalu hadir dalam kehidupan kita. Apa pun aktifitasnya. Kehadiran Allah dalam hati seseorang adalah awal dari sebuah kesadaran.

Sama-sama sadar bagun tidur. Tapi, ada orang yang bangun tidur, langsung ambil wudhu untuk melakukan solat Tahajud. Tapi, ada pula orang yang bangun tidur hanya pindah kamar, lalu tidur lagi. Sadarnya sama, tapi “nilainya”, berbeda.

Ciri orang yang selalu meningkatkan kesadaran adalah adanya perubahan dari atas ke bawah (top – down). Bukan, dari bawah ke atas (bottom up). Cirinya: dapat dilihat hubungan sesama manusia (hablumminannas) baik dan hubungan dengan Allah, juga baik (hablumminallah).

Ciri lain orang yang kesadarannya meningkat adalah memiliki sikap reaktif dan proaktif. Artinya: setiap ada permasalahan, orang yang memiliki kesadaran tinggi, akan mencari solusi secara aktif dan mengumpulkan segala potensinya untuk menyelesaikannya. Ia tidak menyalahgunakan keadaan orang sekitar. Ia tidak marah-marah dengan keadaannya. Ia selalu optimis dengan menggunakan kalimat positif (misal: Alhamdulillah), meskipun dalam kesusahan. Ia selalu menjadikan dirinya “sentral“ (baca: produsen) yang berperan aktif dalam setiap saat. Ia tidak memposisikan dirinya sebagai “user”/pengguna dari apa yang ingin dicari/didapat. Ia lebih menggunakan pendekatan emotion (baca: sikap yang baik) bukan emotionalism (baca: paham keemosian yang negatif) dalam situasi apa pun.

Dari tulisan di atas, mari kita merenung kembali: apakah selama ini sudah sadar? Saat sadar: yang sadar hati/kalbu atau otak/fisik? Adakah perubahan kesadaran rohani Anda? Jika ada: apa yang Anda rasakan? Wa alallahu ‘alam.

Semarang, 8 Oktober 2021
Ditulis di Rumah jam 03.00 – 03.30 WIB.