• Monday, August 22nd, 2022

Kajian Arbain Nawawi (33): Mencintai Sesama Muslim

Oleh Agung Kuswantoro

 

Belajar kali ini kita belajar hadis ke-13 dari Syarah kitab Arbain Nawawi. Berikut arti dari hadis tersebut: “Dari Abu Hamzah Anas bin Malik r.a. pelayan Rasulullah saw. dari Nabi saw. beliau bersabda, Tidak beriman salah seorang kalian sampai dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Hadis ini memuat beberapa permasalahan penting sebagai berikut. Pertama, hadis tersebut menunjukkan bahwa al-mahabbah (rasa cinta) dan persaudaraan kepada sesama muslim adalah syarat kesempurnaan iman. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya, orang-orang Mukmin bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah, agar engkau mendapat rahmat”. (al-Hujurat: 10)

 

Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan: “(Yaitu) persaudaraan dalam agama dan kehormatan bukan dalam nasab”. Oleh karena itu, dikatakan bahwa persaudaraan karena agama lebih kuat daripada persaudaraan nasab. Persaudaraan nasab akan terputus dengan berbedanya agama tidaklah terputus dengan berbedanya nasab. Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya, penolongmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, serta orang-orang yang beriman yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allah),. Barangsiapa menjadikan Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya maka sungguh pengikjut (agama) Allah itulah yang menang (al-Ma’idah: 55-56)

 

Kedua, kadar mencintai saudara sesama muslim harus sama dengan mencintai diri sendiri. Bentuk aplikasi dari hal ini adalah adanya perasaan at-takaaful (merasa senasib sepenanggungan) dengan saudaranya. Kita ikut sakit jika saudara kita disakiti, dan kita ikut berbahagia dengan kebahagiaan mereka. Sebagian ulama menjelaskan bahwa hadis ini secara zhahir menuntut adanya kesetaraan antara mencintai diri sendiri dan saudara kita, tetapi kenyataannya itu tidak terjadi.

 

Kebanyakan orang lebih mementingkan diri mereka sendiri dibandingkan orang lain. Al-hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Abu az-Zinad bin Siraj berkata, “Zahir hadist ini menuntut adanya kesetaraan, tetapi kenyataannya dia lebih mementingkan dirinya sendiri karena setiap orang suka bila dia lebih utama dibandingkan yang lain, jika dia mencintai saudaranya seperti dirinya sendiri, dia mencintai saudaranya seperti dirinya, dia merasa dirinya termasuk kelompok yang dibawah (mafdhul). Aku (Ibnu Hajar) berkata “Al-Qadhi Iyath menyetujui, dan ini perlu ditinjau lagi karena ini bermaksud sebagai larangan terhadap keinginan tersebut, karena maksudnya adalah anjuran untuk tawadhu (rendah hati). Janganlah seseorang lebih mencintai dirinya dibanding yang lain. Dia harus menyetarakannya.

 

Ketiga, hadis ini secara tidak langsung mengajarkan kita untuk membersihkan hati kita dari berbagai macam penyakit hati terhadap saudara sesama muslim, baik berupa iri, dengki, maupun lainnya. Al-Allamah asy-Syekh Muhammad Isma’il al-Anshari rahimahullah mengatakan bahwa diantara tabiat keimanan adalah seorang mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Demikian mengharuskan seseorang untuk membenci bagi saudaranya apa-apa yang dia juga benci.

 

Dengan inilah, tatanan kondisi kehidupan dunia dan akhirat, serta manusia terus  menjalankan firman-Nya (surah Aali “Imran ayat 103), “Berpegangteguhlah kalian semua pada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai-berai” Berpegang dengan hal ini dan fondasinya, (yaitu) kebersihan hati dari penyakit-penyakit hati, seperti hasut.

 

Bersambung.

 

Semarang, 22 Agustus 2022

Ditulis di Rumah jam 19.10-19.30 Wib.

Category: Uncategorized
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Leave a Reply