Archive for the Category ◊ Uncategorized ◊

• Sunday, April 16th, 2023

Tadarus di Masjid Istiqlal

Oleh Agung Kuswantoro

Beberapa hari ini saya menyimak kegiatan-kegiatan di Masjid Istiqlal, Jakarta melalui kanal Youtube-nya. Ada yang saya cermati kegiatan Istiqlal yang menurut saya berbeda dengan kegiatan lainnya yaitu tata cara tadarus.

Tadarus yang dilakukan di Masjid Istiqlal itu dilakukan secara bersama-sama. Lebih dari sepuluhan orang hadir menyimak dan mendengarkan. Lalu, ada ustad/kiai yang membenarkan, jika orang yang membaca keliru/salah. Jadi ada unsur “pembenaran”. Kemudian, orang yang membaca/bertadarus cukup dengan dua hingga tiga ayat yang dibaca. Artinya, bergiliran orang yang membaca.

Gaya seperti itu, menurut saya adalah tadarus, yang sesuai dengan arti dari tadarus yaitu saling mempelajari, meneliti, menelaah, mengkaji, dan mengambil pelajaran. Tadarus secara bahasa berasal dari kata darusa yadrusu darsan. Mengikuti wazan fa’ala yaf’ulu fa’lan. Lafal darusa, ada tambahan huruf ta sehingga menjadi tadarosa yatadarusu, mengikuti wazan tafa’ala yatafa’lu. Maknanya yaitu lil mu syarokati baina itsnaini fa aksaro, artinya persekutuan timbal balik antara dua orang atau lebih. Sehingga, tadarus bermakna saling belajar, saling meneliti, saling menelaah, dan saling mengkaji. Berarti pula, minimal dilakukan oleh dua orang/subjek. Berarti tidak ada target khatam dalam bertadarus. Yang penting benar, paham, dan dimengerti. Jika saya mencontohkan tadarus yang sesuai arti dari tadarus adalah gaya tadarus yang dilakukan oleh masjid Istiqlal.

Saya membayangkan bisa jadi, tadarus pertama yang dilakukan oleh manusia yaitu tadarusnya Nabi Muhammad SAW bersama Malaikat Jibril sewaktu di Gua Hiro dengan surat Al-‘Alaq ayat 1 hingga 5. Bayangkan, membaca ayat 1 hingga 5 saja, memiliki kesan yang begitu mendalam hingga mengena di hati Nabi Muhammad Saw. Malaikat Jibril sebagai guru/kiai dari Nabi Muhammad Saw. Oleh karenanya, dalam bertadarus perlu dipersiapkan mentalnya terlebih dahulu.

Adapun syarat bertadarus adalah (minimal) bisa membaca Al-Qur’an. Tidak mungkin bertadarus, tanpa bisa membaca Al-Qur’an. Oleh karenanya, carilah guru/ustad/kiai yang bersedia mengantarkan belajar membaca, memahami, dan melakukan ajaran-ajaran isi Al-Qur’an, sebagaimana Malaikat Jibril sebagai guru/kiai dari Nabi Muhammad Saw selaku muridnya.

Semarang, 15 April 2023

Ditulis di Rumah jam 14.15 – 14.30 Wib.

• Sunday, April 16th, 2023

“Kartini” sebagai Simbol Perjuangan

Oleh Agung Kuswantoro

Adalah Kartini sebuah sosok wanita pejuang. Bicara Kartini, maka bicara perjuangan. Kartini dikenal karena perjuangannya. Orang tidak akan membahas Kartini, karena perjuangan. Perjuangan Kartini yang sangat melekat oleh masyarakat adalah perjuangan hak-hak wanita dalam kehidupan.

Bagi saya, semua perjuangan adalah Kartini. Orang akan mengenal sosok/seseorang, biasanya karena perjuangannya. Sosok/seseorang, itulah yang menggerakkan sebuah perjuangan. Sosok/seseorang adalah subjeknya. Perjuangan adalah usaha yang memiliki pesan mendalam.

Seseorang yang sedang memperjuangkan sesuatu yang mendalam bisa dikatakan Kartini. Siapakah itu? Bisa jadi adalah Anda Kartininya.

Ketika Anda sedang memperjuangkan anak sekolah untuk belajar/ngaji, maka Anda adalah Kartini dibidang pendidikan. Ketika Anda sedang berjuang mencari uang untuk mencari nafkah keluarga, maka Anda adalah Kartini keluarga. Ketika Anda sedang merantau di negeri orang, untuk mondok/kuliah/mencari ilmu, maka Anda adalah Kartini ilmu.

Dengan contoh-contoh tersebut, kita semua adalah Kartini. Perjuangkan terus “pesan-pesan” Anda yang mendalam, karena Insya Allah akan terwujud, jika Anda sudah meninggal dunia/wafat. Lalu, semisal perjuangan Anda belum terwujud, maka akan muncul “Kartini-Kartini” selanjutnya yang akan meneruskan perjuangan “pesan” yang mendalam itu.

“Kartini” yang seperti itu, pasti tidak mengharapkan terkenal di masyarakat. Apalagi, dihormati dan diperingati pada hari-hari tertentu. “Kartini” tersebut, pasti ikhlas dalam memperjuangkan “pesan” yang mendalam. Masyarakatlah yang akan memahami, menikmati dan merasakan hasil pesan yang mendalam tersebut. Semoga, “Kartini” yang seperti itu adalah Anda. Amin.

Semarang, 15 April 2023

Ditulis di Rumah jam 14.00 – 14.15 Wib.

Agung Kuswantoro, dosen pendidikan ekonomi Administrasi Perkantoran Fakultas Ekonomi UNNES dan penulis buku bertema sosial dan pendidikan.

Email: [email protected]

HP/WA: 081 79599 354

• Wednesday, April 05th, 2023

Kajian Arbain Nawawi (56): Malu Adalah Cabang Keimanan
Oleh Agung Kuswantoro

Mari kita lanjutkan kajian hadis ke-20 dari kitab Arbain Nawawi. Ini adalah kajian terakhir, karena persiapan Idul Fitri, insya Allah kita lanjutkan usai lebaran. Sebelumnya, saya mohon maaf jika selama kajian ini ada kesalahan yang saya lakukan. Berikut kajiannya:

Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya di antara perkataan kenabian terdahulu yang diketahui manusia ialah jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu!” (HR. Bukhari)

Hadits ini pendek dan singkat, tetapi memiliki beberapa pelajaran yang bisa kita petik, antara lain sebagai berikut:

Pertama, ad-da’wah bil lisan (seruan dengan perkataan) adalah salah satu bentuk ajakan para nabi sejak dahulu. Bahkan, secara khusus, dakwah “model” ini mendapatkan pujian dari Allah Swt sebagai ahsanu qaulan (perkatan paling baik) sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan seraya berkata, “Sungguh, aku termasuk orang-orang Muslim (yang berserah diri)?” (Fushishilat: 33)

Kedua, ketersambungan risalah para nabi. Hadits ini bukan satu-satunya pemberitaan dari Rasulullah Saw tentang perilaku dan perkataan para nabi terdahulu. Banyak penceritaan dari Rasulullah Saw tentang para nabi terdahulu baik secara global maupun secara rinci, yang rasulullah Saw sebutkan dalam hadits lainnya. Ini menunjukkan bahwa rantaian risalah kenabian sesama para nabi tidaklah terputus.

Ketiga, mengutip dan menyampaikan kalimat-kalimat yang berisi hikmah dan nasihat orang bijak terdahulu adalah perbuatan yang sangat baik, asalkan memiliki keaslian sumbernya. Dalam hadits ini, rasulullah Saw mengutip dari ucapan kenabian pada masa lalu. Padahal, jika Rasulullah Saw mau, bisa saja nasihat-nasihat yang semisal ini cukup datang dirinya saja karena ucapannya telah terjaga dari kesalahan.

Ini menjadi pelajaran bagi para khuthaba agar tidak segan-segan mengutip kalimat-kalimat mengandung hikmah – baik syair, pepatah, maupun semisalnya – dari orang lain. Lebih bagus lagi, jika kalimat-kalimat tersebut disandarkan kepada orang-orang yang mengucapkannya atau disebutkan sumbernya.

Keempat, hadits ini membimbing kita untuk tidak sembarangan dalam mengeluarkan kata-kata tidak perlu/gegabah dalam berperilaku. Letak kemuliaan dan kehormatan seseorang bisa terlihat dari apa yang dikatakan dan dilakukannya. Orang-orang besar dan mulia akan mengeluarkan kata-kata dan perbuatan yang mulia pula sebagaimana orang-orang kerdil akan mengucapkan perkataan yang tidak bermanfaat dan memalukan, serta perbuatan yang sia-sia pula.

Hendaklah rasa malu yang dimiliki seseorang menghalangi dirinya untuk berbuat yang merusak kemuliaan dan kehormatan diri, kecuali jika orang itu tidak ada lagi rasa malu, terserahlah apa mau yang dilakukannya, dia bebas. Perbuatan baik atau buruk sama saja di sisi orang yang tidak memiliki rasa malu.

Orang beriman senantiasa menjadikan rasa malu, seseorang tidak mau menampakkan auratnya. Karena rasa malu, seseorang mengurungkan niatnya untuk berkata-kata tidak sopan dan kotor. Karena rasa malu, seseorang tidak mau berkhalwat/menyendiri dengan bukan mahramnya. Karena rasa malu, seseorang tidak mau mengambil harta yang bukan haknya. Karena rasa malu, seseorang tidak mau bermaksiat. Kalaupun sudah tidak malu lagi kepada Allah Swt, malulah kepada malaikat (sang pencatat). Kalaupun tidak malu lagi kepada malaikat, malulah kepada manusia. Kalaupun tidak malu kepada manusia, malulah kepada keluarga di rumah. Kalaupun tidak malu lagi kepada keluarga, malulah kepada diri sendiri dan hendaklah jujur bahwa apa yang dilakukannya adalah kesalahan minimal meragukannya. Fitrah keimanan akan menolaknya, kecuali jika memang kita sudah tidak memiliki rasa malu lagi.

Catatan: Materi pernah disampaikan dalam kajian usai solat subuh di Masjid Ulul Albab UNNES.

Sumber rujukan:
Hasan, F.N. 2020. Syarah Hadist Arba’in An-Nawawi. Depok: Gema Insani.
Hassan, Q. 1982. Ilmu Musthalah Hadist. Bandung: Penerbit Diponegoro.
Kitab Azwadul Musthofawiyah karangan KH Bisri Mustofa, Rembang.
Kitab Majalis Saniah, Karangan Syeikh Ahmad Bin Syeikh Al-Fasyaini.
Suparta, M. 2016. Ilmu Hadist. Depok: PT Rajagrafindo Persada.
Tohhan, M. 1977. Taisir Mustholah al-Hadist. Riyad: Universitas Madinah.

Semarang, 5 April 2023 ditulis di Rumah, jam 04.00-04.15 Wib.

• Sunday, April 02nd, 2023

Pentingnya, Belajar Ilmu Usul Fikih

Oleh Agung Kuswantoro

“Al-aslu fil uqudi wal mu’amalati ash-shikhatu khatta yaqumu dalilu‘alal butlani waththahrim”. Artinya, kurang lebih: setiap urusan, kalau tidak ada larangan, maka boleh (dilakukan), kecuali sampai timbul yang dilarang.

Dalil di atas adalah sebuah kaidah usul fikih mengenai sebuah kewenangan. Adalah Pak Mahfd MD yang menyampaikan dalil tersebut saat rapat dengan Komisi III DPR RI (Rabu, 29 Maret 2023).

Sebagai orang awam yang sedang belajar ilmu alat (baca: fikih) itu, sangat penting. Ilmu fikih merupakan ilmu dasar yang harus memiliki landasan kuat dengan dukungan dengan ilmu lain. Adalah usul fikih sebagai dasar ilmu fikih. Saya adalah orang awam dan ingin menjadi orang yang selalu belajar.  Menjadi ingat betapa penting ilmu usul fikih.

Saya pernah belajar ilmu ini, saat Madrasah Diniyah Ulya kelas satu hingga tiga di Ponpes Salafiyah Kauman Pemalang (tahun 1999-2001). Adalah Kiai Dimyati sebagai pengampunya. Selain Kiai Dimyati saya juga, dikenalkan dalil-dalil usul fikih oleh Kiai Romadlon, ketika menerangkan suatu kasus.

Tahapannya belajar lmu fikih dulu, baru belajar usul fikih. Contoh ilmu usul fikih dalam bab amru/perintah. Ada kaidah al aslu fil amri lil wujub (artinya: pada asalnya (setiap) perintah itu, menunjukkan hukum wajib).

Untuk memahami dalil ini, perlu belajar: ilmu bahasa Arab dan Nahwu agar memahami “kata perintah”. Ada ayat “diwajibkan atas kamu berpuasa” kutiba alai kumus shiyam. Kalimat tersebut menunjukkan perintah, maka perintah (berpuasa) menjadi wajib, karena menggunakan kalimat kutiba/diwajibkan.

Lagi, aqimussolah (dirikanlah solat), jelas kalimat perintah. Maka, mendirikan solat adalah wajib. Itulah gambaran-gambaran mengebai pentingnya belajar usul fikih. Mari buka kitab/buku fikih dan usul fikih (lagi), agar kita bisa memahami suatu hukum. Salut buat Prof. Kiai Mahfud MD, yang masih mengingatkan pentingnya, belajar ilmu usul fikih. []

Semarang, 1 April 2023

Ditulis di Rumah jam 13.45 – 14.01 Wib.

• Thursday, March 30th, 2023

Beberapa Tuntunan Agama yang Ditetapkan Pada Tahun Kedua Hijriah

Oleh Agung Kuswantoro

Beberapa hal penting yang berkaitan dengan tuntunan agama ditetapkan Allah pada tahun ke-2 hijriah yaitu:

  1. Pengalihan Kiblat ke Mekkah

Salah satu peristiwa penting di Madinah yang terjadi pada tahun ke-2 Hijriah adalah pengalihan kiblat ke Mekkah. Memang, sebelum hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad saw, berkiblat ke Ka’bah di Mekkah. Tetapi setelah hijrah ke Madinah, di mana bermukim banyak orang Yahudi, agaknya Nabi saw. bermaksud menunjukkan kepada mereka bahwa Islam tidak datang untuk merombak segala  sesuatu yang pernah diajarkan oleh rasul-rasul terdahulu, termasuk Nabi Musa as., karena itu atas inisiatif Nabi sendiri atau atas petunjuk Allah, beliau dalam shalat mengarah juga ke Bait al-Maqdis yang merupakan kiblat orang-orang Yahudi. Enam belas bulan lamanya Nabi saw. dan kaum Muslim mengarah ke Bait al-Maqdis di Palestina, tetapi harapan beliau agar orang-orang Yahudi mau menerima Islam bukan saja tidak tercapai, bahkan mereka berusaha memadamkan cahaya llahi yang terpancar melalui Nabi Muhammad saw. Dari sini Nabi saw. merasa bahwa kebijakan tersebut tidak berhasil dan lebih baik dan tepat bila kaum Muslim mengarah ke Ka’bah di Mekkah.

Ini bukan saja karena Ka’bah jauh lebih tua daripada Bait al-Maqdis yang dibangun oleh Nabi Sulaiman, sedang Ka’bah dibangun – atau direnovasi – oleh Nabi Ibrahim as., tetapi juga karena Ka’bah adalah rumah peribadatan pertama buat kaum Muslim maupun Nasrani dan Yahudi, kesemuanya seharusnya berbangga karena Ka’bah dibangun dan diagungkan oleh Nabi Ibrahim as. yang merupakan bapak agama-agama Yahudi, Nasrani, dan Islam.

Bisa jadi juga Ka’bah di Mekkah dijadikan Allah kiblat bagi umat manusia karena disamping Ka’bah adalah rumah peribadatan pertama, juga karena, menurut banyak pakar kontemporer, posisi Mekkah adalah pusat bumi yang oleh al-Qur’an dinamai Umm al-Qura. Untuk mengetahui lebih banyak tentang hal ini, rujuklah  antara lain ke Tafsir al-Misbah karya penulis ketika menguraikan makna Umm al Qura pada QS. Al-An’am [6]: 96

Apa pun pandangan ulama atau ilmuwan tentang Mekkah/Ka’bah atau apa pun latar belakang pemilihannya sebagai kiblat, yang jelas adalah keinginan Nabi Muhammad saw. untuk beralih ke Ka’bah itu sedemikian besar sehingga sering kali beliau mengarahkan pandangan ke langit bagaikan berdoa semoga turun perintah agar mengarah ke sana. Dan demikianlah adanya sehingga satu ketika pada tahun ke-2 H, tepat pula pada pertengahan rajab atau menurut riwayat lain pertengahan Sya’ban dan di saat Shalat Zhuhur – riwayat lain Ashar – turunlah firman Allah yang tercantum dalam QS. Al-Baqarah [2]: 144, yang menyatakan: “Sungguh Kami sering melihat wajahmu (penuh harap) menengadah ke langit. Allah mengetahui keinginan, isi hati, atau doamu, maka memenuhi keinginanmu serta mengabulkan doamu sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang engkau sukai, maka kini palingkanlah wakahmu ke arah Masjid al-Haram; dan di mana saja kamu, wahai Nabi, demikian juga kaum Muslim berada, palingkanlah wajah-wajah kamu ke arahnya walau bukan di rumah tempat turunnya ayat ini atau bukan pada waktu Zhuhur atau Ashar. Sesungguhnya orang-orang yang diberi al-Kitab yakni Taurat dan Injil, mengetahui, bahwa berpaling ke Masjid al-Haram itu adalah benar dari Tuhan mereka dan juga Tuhan kaum Muslim. Mereka mengetahui bahwa itu benar, karena dalam kitab mereka ada keterangan bahwa nabi yang akan diutus akan mengarah ke dua kiblat, pertama ke Bait al-Maqdis dan kedua Ka’bah; Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan termasuk upaya mereka menyembunyikan kebenaran itu”.

  • Puasa Ramadhan dan yang berkaitan erat dengannya

Pada tahun ke-2 H ditetapkan juga oleh Allah kewajiban berpuasa Ramadhan sebulan penuh berdasar firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah [2]: 183: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.

Sebelum diwajibkannya puasa sebulan penuh ini, Nabi saw. bersama kaum Muslim telah melakukan puasa selama tiga hari dalam sebulan. Bahkn sementara ulama berpendapat bahwa pada mulanya Allah memberi alternatif berpuasa atau tidak bagi mereka yang slit/merasa berat berpuasa berdasar firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah [2]: 184: ”Bagi orang-orang yang merasakan beban berat bila ia berpuasa maka (bila ia tidak berpuasa), ia berkewajiban membayar fidyah berupa memberi makan seorang miskin”.

  • Kewajiban Zakat

Zakat harta dalam berbagai jenisnya diwajibkan juga pada tahun ke-2 hijriah, demikian pendapat mayoritas ulama. Memang ada juga ulama yang berpendapat bahwa zakat diwajibkan sejak awal kenabian atau paling tidak “berdekatan” masanya dengan kewajiban shalat lima waktu, yakni di Mekkah setelah Isra’ Mi’aj, tahun kesepuluh kenabian, karena itu menurut penganut pendapat ini, zakat sering kali dirangkaikan penyebutannya dengan shalat. Disamping itu, kata mereka, sekian banyak ayat yang turun d Mekkah, sebelum Nabi saw. berhijrah, yang menyebut zakat, seperti QS. Al-Muzzammil [73]: 20 dan al-Bayyinah [98]: 5, yang keduanya merupakan wahyu-wahyu pertama yang diterima Nabi saw. Disisi lain, masih menurut mereka, kewajiban menyisihkan sebagian harta untuk fakir miskin merupakan satu hal yang sangat dibutuhkan dalam rangka mendukung fakir miskin dari kalangan kaum Muslim yang ketika itu cukup banyak, karena ketika itu yang memeluk Islam sering kali  diusir oleh keluarganya atau tuan-tuan mereka, tanpa diberi hak-haknya. Bahwa perintah memungut zakat dalam firman-Nya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu ( menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. At-Taubah [9]: 103).

Perintah ini masih menurut penganut pendapat d atas, boleh jadi dalam konteks menyebut kadar zakat atau berfungsi menguatkan perintah-perintah sebelumnya, ketika kaum Muslim telah berada di Madinah dan bebas dari gangguan masyarakat Mekka, atau boleh jadi juga ia merupakan perintah untuk mengambilnya dari orang-orang munafik.

Pada tahun kedua hijriah, ada pernikahan putri Nabi Muhammad saw as-Sayyidah Fatimah az-Zahra dengan Sayyidina Ali bin Abi Tholib. Adapun Sayyidina Ali bin Abi Tholib berusia 21 tahun dan as-Sayyidah Fatimah az-Zahra berusia 15 tahun.

Selain itu, pada tahun kedua hijriah dilaksanakan solat sunah pertama Idul Fitri dan Idul Adha.

Demikian peristiwa-peristiwa tuntunan agama yang terjadi pada tahun kedua hijriah. Ternyata, sudah 1442 tahun yang lalu terjadi peristiwa tersebut. []

Selesai.

Materi pernah disampaikan di Masjid Ulul Albab UNNES pada kultum malam ke-3 solat Tarawih dan ngaji pasanan di Rumah.

Daftar Pustaka:

Kitab Tarikhun Nabi Muhammad Solla allahu ‘Alaihi wa Alihi wa Sallam karangan Kiai Toha Mahsun. Toko kitab Salim Nubhan Surabaya.

Quraish Shihab. 2012. Membaca Sirah: Nabi Muhammad Saw: dalam sorotan al-Qur’an dan Hadist-Hadist Shahih. Jakarta: Lentera Hati.

Ibnul Jauzi. 2018. Al-Wafa: Kesempurnaan Pribadi Nabi Muhammad. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

• Sunday, March 26th, 2023

Kajian Arbain Nawawi (55): Pertolongan dan Perlindungan Allah Swt

Oleh Agung Kuswantoro

Lanjutan tujuh pesan penting dari hadist ke-19 dalam kitab Arbain Nawawi—yang kemarin sampai pesan keempat—sekarang pesan keempat hingga ketujuh yaitu:

Keempat, ketetapan Allah Swt bagi hamba-Nya – baik susah atau senang, meupun nikmat atau bencana – adalah hal yang pasti dan tidak berubah, kecuali dengan kehendak-Nya pula, sebagaimana Allah SWT berfirman:“Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Di ssi-Nya, terdapat ummul kitaab (Lauhul Mahfuzh).” (ar-Ra’d: ayat 39)

Kelima, ada kesalahan seseorang yang tidak membawa musibah (mudharat) bagi Allah Swt dan bagi manusia memaafkannya pada kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja, tidak diketahui, dan terpaksa termasuk kesalahan yang dilakukan oleh orang gila, anak-anak, dan orang tidur.

Keenam, ada juga musibah yang menimpa kita karena bukan kesalahan kita. Hal ini biasanya terjadi pada sikap kita sendiri yang mendiamkan kesalahan itu, tanpa upaya amar ma’ruf nahi munkar hingga akhirnya musibah yang datang bukan hanyak menimpa orang yang melakukan kesalahan, melainkan juga merata pada semuanya. Allah Swt berfirman: “Peliharalah dirimu dari siksaan yang hanya menimpa orang-orang zalim diantaramu” (QS. Al-Anfaal: 25)

Ketujuh, hadits ini juga menunjukkan bahwa pertolongan Allah SWT senantiasa menyertai orang yang sabar. Begitu pula, kemudahan dan kelapangan dari-Nya akan diberikan kepada orang yang sabar ketika mereka mengalami kesempitan dan kesulitan.

Bersambung.

Catatan: Materi pernah disampaikan dalam kajian usai solat subuh di Masjid Ulul Albab UNNES.

Sumber rujukan:

Hasan, F.N. 2020. Syarah Hadist Arba’in An-Nawawi. Depok: Gema Insani.

Hassan, Q. 1982. Ilmu Musthalah Hadist. Bandung: Penerbit Diponegoro.

Kitab Azwadul Musthofawiyah karangan KH Bisri Mustofa, Rembang.

Kitab Majalis Saniah, Karangan Syeikh Ahmad Bin Syeikh Al-Fasyaini.

Suparta, M. 2016. Ilmu Hadist. Depok: PT Rajagrafindo Persada.

Tohhan, M. 1977. Taisir Mustholah al-Hadist. Riyad: Universitas Madinah.

Semarang, 26 Maret 2023 ditulis di Rumah, jam 06.30-07.00 Wib.

• Sunday, March 26th, 2023

Kajian Arbain Nawawi (54): Pertolongan dan Perlindungan Allah Swt

Oleh Agung Kuswantoro

“Dari Abu Abbas Abdullah bin Abbas r.a., dia berkata: “Suatu hari, aku di belakang Nabi saw., Beliau bersabda, “Wahai Ghulam, aku akan mengajarkanmu beberapa perkataan, (yaitu): jagalah Allah, maka niscaya engkau mendapatkan Dia bersamamu. Jika engkau meminta, memintalah kepada Allah. Jika engkau menghendaki pertolongan, memintalah pertolongan Allah. Ketahuilah, seandainya segolongan umat berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak bisa memberikan manfaat, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu, dan seandainya mereka berkumpul untuk memudharatkanmu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan mampu memudharatkanmu, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah mengering tintanya”.

Pada riwayat selain at-Tirmidzi (disebutkan)” “Jagalah Allah, niscaya engkau akan menemukannya di hadapanmu. Kenalilah Allah dalam keadaan kesenangan, niscaya Dia akan mengenalimu ketika engkau sulit. Ketahuilah, segala kesalahanmu belum tentu akan menjadi musibah bagimu dan tidak pula musibah yang menimpamu disebabkan oleh kesalahanmu. Ketahuilah, pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan itu bersama kesempitan, dan bersama  kesulitan dan kemudahan”.

Hadist ke-19 dalam kitab Arbain Nawawi ini mengandung tujuh pesan penting yaitu:

Pertama, budaya saling menasihati dan memberi pelajaran yang baik, walaupun dengan anak kecil. Al-ghulam adalah anak kecil laki-laki. Nasihat boleh dilakukan dengan atau dengan tanpa diminta.

Kedua, perintah untuk menjaga Allah Swt yaitu: menjaga hak-hak agama-Nya kapan pun dan di mana pun, maka Allah Swt akan menjaga kita – baik diri sendiri, keluarga, maupun orang lain – serta Allah Swt akan bersama kita, kapan pun dan di mana pun.

Ketiga, perintah untuk meminta (berdoa) hanya kepada Allah Swt dan meminta pertolongan juga kepada-Nya, yaitu: meminta pada apa-apa yang menjadi hak Allah Swt semata untuk memberikannya seperti meminta: hidayah, rejeki, keselamatan hidup, dan lainnya.

Ada pun meminta pertolongan kepada makhluk dalam hal-hal yang manusiawi dan teknis, ini tidak apa-apa dan sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip wa iyyaa kanasta ‘iin (dan hanya kepada-Mu, kami meminta pertolongan), seperti: meminta bantuan dokter untuk mengobati penyakit, meminta seseorang untuk mengambilkan sesuatu, meminta guru untuk mengajarkan suatu ilmu, atau meminta bantuan montir untuk mereparasi kendaraan.

Ini semua dibenarkan oleh syara, adat, dan akal manusia walaupun pada hakikatnya pertolongan hakiki hanyalah datangnya dari Allah Swt. Oleh karena itu, ketika selesai mendapatkan bantuan atau pertolongan, hendaklah tidak lupa mengucapkan Alhamdulillah sebagai bentuk pengakuan pertolongan dari-Nya, yang Allah SWT melakukannya melalui tangan-tangan hamba-Nya pula.

Bersambung.

Catatan: Materi pernah disampaikan dalam kajian usai solat subuh di Masjid Ulul Albab UNNES.

Sumber rujukan:

Hasan, F.N. 2020. Syarah Hadist Arba’in An-Nawawi. Depok: Gema Insani.

Hassan, Q. 1982. Ilmu Musthalah Hadist. Bandung: Penerbit Diponegoro.

Kitab Azwadul Musthofawiyah karangan KH Bisri Mustofa, Rembang.

Kitab Majalis Saniah, Karangan Syeikh Ahmad Bin Syeikh Al-Fasyaini.

Suparta, M. 2016. Ilmu Hadist. Depok: PT Rajagrafindo Persada.

Tohhan, M. 1977. Taisir Mustholah al-Hadist. Riyad: Universitas Madinah.

Semarang, 25 Maret 2023 ditulis di Rumah, jam 06.30-07.00 Wib.

• Sunday, March 19th, 2023

Kajian Arbain Nawawi (53): Bertakwa Di Mana Pun Berada dan Berakhlak Baik Kepada Sesama

 

“Dari Abu Dzar bin Junadah dan Abu Abdirrahman, Mu’ads bin Jabar r.a. dari Rasulullah saw. beliau bersabda. “Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskannya, serta berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik.

 

Hadits ke-18 dalam kitab Arbain Nawawi ini memuat tiga pesan bagi pembentukan kesalehan pribadi dan masyarakat, yaitu:

 

Pertama, perintah untuk tetap dalam keadaan bertakwa kepada Allah Swt di mana pun dan kapan pun. Perintah untuk bertakwa banyak tersebar dalam Alquran dan hadist, baik perintah bertakwa secara umum maupun perintah bertakwa yang dikaitkan dengan suatu hal secara khusus, serta dalam bentuk kata ittaqullah (bertakwalah engkau kepada Allah).

 

Kedua, melakukan kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang alamiah terjadi pada diri manusia. Tidak ada manusia yang selalu buruk, jelek, dan jahat sebagaimana setan. Tidak ada manusia yang selalu rajin beribadah, benar, baik, dan taat sebagaimana malaikat. Justru, karena ada kedua hal tersebut itulah, letak manusiawinya, manusia.

 

Oleh karena itu sangat berlebihan, jika ada manusia yang menuntut orang lain untuk selalu benar dan tidak boleh salah sama sekali karena itu adalah pembebanan yang manusia mana pun tidak akan mampu mengimplementasikannya.

 

Ketiga, perintah untuk bergaul dengan manusia secara umum dengan akhlak yang sebaik-baiknya dengan muslim manapun non-muslim, dan berbuat baik dengan ahli maksiat maupun ahli taat dengan cara yang tidak sama, sesuai kadar kemaksiatan mereka.

 

Paduan antara bertakwa kepada Allah Swt dan berakhlak yang baik merupakan dampak terbanyak manusia dimasukkan ke dalam surga.

 

Demikian tiga pesan dari hadist hadist ke-18 dari kitab Arbain Nawawi tersebut. Semoga kita bisa melaksanakannya. Amin.

 

Bersambung.

Catatan: Materi pernah disampaikan dalam kajian usai solat subuh di Masjid Ulul Albab UNNES.

 

Sumber rujukan:

Hasan, F.N. 2020. Syarah Hadist Arba’in An-Nawawi. Depok: Gema Insani.

Hassan, Q. 1982. Ilmu Musthalah Hadist. Bandung: Penerbit Diponegoro.

Kitab Azwadul Musthofawiyah karangan KH Bisri Mustofa, Rembang.

Kitab Majalis Saniah, Karangan Syeikh Ahmad Bin Syeikh Al-Fasyaini.

Suparta, M. 2016. Ilmu Hadist. Depok: PT Rajagrafindo Persada.

Tohhan, M. 1977. Taisir Mustholah al-Hadist. Riyad: Universitas Madinah.

 

Semarang, 20 Maret 2023 ditulis di Rumah, jam 04.00-04.15 Wib.

 

 

 

• Saturday, March 18th, 2023

 

Sampaikanlah, Walaupun Hanya Satu Ayat
Oleh Agung Kuswantoro

Judul di atas bersumber sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang sering kita dengar. Bagi seseorang tertentu – yang sudah memenuhi keilmuan – menjadi wajib untuk menyampaikan/menyebarkan ilmu kepada masyarakat.

Namun, dalam pemahaman saya bahwa mengamalkan (baca: menyampaikan/mengajarkan) sebuah ilmu – meskipun satu ayat—belum tentu mudah. Jangankan satu ayat, satu huruf saja disampaikan ke masyarakat, belum tentu masyarakat menerimanya.

Adanya “penilaian-penilaian” yang kurang sesuai atau kurang “pas” terhadap satu ilmu, menjadi suatu permasalahan. “Penilaian” suatu ilmu, dimana seharusnya adalah: benar – salah, menjadi penilaian lainya, seperti: motif ekonomi (bisnis), ilmu (ajaran) yang disampaikan tidak baik, tempat yang diajarkan dipermasalahkan, dan “penilaian-penilaian” yang kurang relevan lainnya.

Jadi ingat pertanyaan Ibu saya kepada saya dulu yaitu: “Kapan kitab yang sudah dingajikan di Salafiyah Kauman Pemalang bisa ‘dingajikan’ kepada orang lain? Maka, bisa jadi pertanyaan tersebut tidak akan terjawab dengan adanya “penilain-penilaian”, sebagaimana di atas. Semisal, terjawab pun, hanya berlaku pada waktu tertentu. Pertanyaaan dan jawaban tersebut, hanya contoh mengaitkan judul tersebut dengan keadaan tertentu.

Hemat saya, menyampaikan ilmu itu, butuh sumber daya yang “mumpuni” mulai dari: kebijakan, guru/ustad/SDM, sarana-prasarana, waktu, peserta didik/santri, tenaga kependidikan, pendanaan, dan sumber daya lainnya. Artinya: ilmu dapat disampaikan dengan kondisi sebagaimana sumber daya tersebut. Termasuk, dukungan dari: pemangku kepentingan masyarakat di daerah tersebut (Kiai, RT, RW, Lurah, dan Camat setempat).

Lalu bagaimana? Wujudkan sumberdaya-sumberdaya dan payung hukum tersebut, setelah itu sampaikanlah ilmu tersebut, meskipun satu ayat. Insya Allah. []

Semarang, 16 Maret 2023
Ditulis di Rumah jam 02.00 – 02.15 Wib.

• Tuesday, March 14th, 2023

Kajian Arbain Nawawi (52): Berbuat Terbaik Dalam Segala Hal
Oleh Agung Kuswantoro

“Dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus r.a. dari Rasulullah saw. beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah menetapkan (mewajkan) berbuat ihsan atas segala hal. Jika kalian membunuh (dalam peperangan), lakukanah denga cara yang baik. Jika kalian menyembelih, lakukanlah sembelihan yang baik, serta hendaklah setiap kalian menajamkan pisaunya dan membuat senang hewan sembelihannya” (HR Muslim).

Hadits ini memiliki banyak faedah (manfaat) dan kaidah dalam kehidupan kita, baik dalam urusan akhlak, adab, maupun fikih. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa hadist tersebut memiiki beberapa faidah yaitu:

Pertama, hendaklah menjalankan sesuatu dengan cara terbaik, dengan makna “baik” yang begitu luas. Orang-orang mungkin mengistilahkannya dengan terencana, terukur, terstruktur, sistematis, dan professional, yang semua memiliki makna dan batasannya sendiri-sendiri. Melakukan sesuatu dengan cara terbaik adalah perintah syari’at, baik secara mantuk (tersuat) atau mafhum (tersirat). Oleh karena itu, terdapat nlai ibadah yang sangat serius di dalamnya bagi yang menjalankanya. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya, Allah menyuruh (engkau) berlaku adil da berbuat kebajikan” (Qs. an-Nahl: 90)

Dari ayat tersebut ada kalimat itqon. Apa itu itqon? Ada istilah itqanul amri artinya menyempurnakannya. Rajulun tiqnun dengan huruf ta dikasrahkan berarti haadziq (cerdas, pandai, atau cakap). Jadi, melakukan perbuatan atau pekerjaan secara sempurna, utuh, cakap, dan profesional adalah perbuatan yang disukai dan diperintahkan oleh Allah Swt.

Kedua, melakukan perbuatan dengan cara terbaik juga ditekankan dalam perkara dan situasi yang sangat emosional, seperti peperangan, yang biasanya orang-orang cenderung bertindak “brutal” karena berorientasi pada hasil “yang penting menang” dan pokoknya musuh kalah (mati).

Ketiga, melakukan perbuatan dengan cara terbaik juga dilakukan pada hewan itu hidup dalam pemeliharaan dan lingkungan kita maupun ketika hendak akan disembelih untuk keperluan hidup manusia.

Yang tidak baik seperti mencincang dan membuat cacat hewan ketika masih hidup, dilarang memberi tanda pada hewan dengan benda-benda yang menyakitkan, seperti mengecapnya (menstempelnya) dengan besi panas atau cairan panas.

Demikian faidah hadist hadist ke-17 dari kitab arbain di atas. Semoga kita bisa mengambil faidah tersebut. Amin

Bersambung.

Catatan: Materi pernah disampaikan dalam kajian usai solat subuh di Masjid Ulul Albab UNNES. Mohon maaf agak lama dalam menuliskan dan mempublikasikan kajiannya karena ada prioritas tulisan/artikel yang sedang saya kerjakan. Mohon doanya agar semuanya lancar.

Sumber rujukan:
Hasan, F.N. 2020. Syarah Hadist Arba’in An-Nawawi. Depok: Gema Insani.
Hassan, Q. 1982. Ilmu Musthalah Hadist. Bandung: Penerbit Diponegoro.
Kitab Azwadul Musthofawiyah karangan KH Bisri Mustofa, Rembang.
Kitab Majalis Saniah, Karangan Syeikh Ahmad Bin Syeikh Al-Fasyaini.
Suparta, M. 2016. Ilmu Hadist. Depok: PT Rajagrafindo Persada.
Tohhan, M. 1977. Taisir Mustholah al-Hadist. Riyad: Universitas Madinah.S

Semarang, 14 Maret 2023 ditulis di Rumah, jam 05.00-04.15 Wib.