Archive for the Category ◊ Uncategorized ◊

• Sunday, April 02nd, 2023

Pentingnya, Belajar Ilmu Usul Fikih

Oleh Agung Kuswantoro

“Al-aslu fil uqudi wal mu’amalati ash-shikhatu khatta yaqumu dalilu‘alal butlani waththahrim”. Artinya, kurang lebih: setiap urusan, kalau tidak ada larangan, maka boleh (dilakukan), kecuali sampai timbul yang dilarang.

Dalil di atas adalah sebuah kaidah usul fikih mengenai sebuah kewenangan. Adalah Pak Mahfd MD yang menyampaikan dalil tersebut saat rapat dengan Komisi III DPR RI (Rabu, 29 Maret 2023).

Sebagai orang awam yang sedang belajar ilmu alat (baca: fikih) itu, sangat penting. Ilmu fikih merupakan ilmu dasar yang harus memiliki landasan kuat dengan dukungan dengan ilmu lain. Adalah usul fikih sebagai dasar ilmu fikih. Saya adalah orang awam dan ingin menjadi orang yang selalu belajar.  Menjadi ingat betapa penting ilmu usul fikih.

Saya pernah belajar ilmu ini, saat Madrasah Diniyah Ulya kelas satu hingga tiga di Ponpes Salafiyah Kauman Pemalang (tahun 1999-2001). Adalah Kiai Dimyati sebagai pengampunya. Selain Kiai Dimyati saya juga, dikenalkan dalil-dalil usul fikih oleh Kiai Romadlon, ketika menerangkan suatu kasus.

Tahapannya belajar lmu fikih dulu, baru belajar usul fikih. Contoh ilmu usul fikih dalam bab amru/perintah. Ada kaidah al aslu fil amri lil wujub (artinya: pada asalnya (setiap) perintah itu, menunjukkan hukum wajib).

Untuk memahami dalil ini, perlu belajar: ilmu bahasa Arab dan Nahwu agar memahami “kata perintah”. Ada ayat “diwajibkan atas kamu berpuasa” kutiba alai kumus shiyam. Kalimat tersebut menunjukkan perintah, maka perintah (berpuasa) menjadi wajib, karena menggunakan kalimat kutiba/diwajibkan.

Lagi, aqimussolah (dirikanlah solat), jelas kalimat perintah. Maka, mendirikan solat adalah wajib. Itulah gambaran-gambaran mengebai pentingnya belajar usul fikih. Mari buka kitab/buku fikih dan usul fikih (lagi), agar kita bisa memahami suatu hukum. Salut buat Prof. Kiai Mahfud MD, yang masih mengingatkan pentingnya, belajar ilmu usul fikih. []

Semarang, 1 April 2023

Ditulis di Rumah jam 13.45 – 14.01 Wib.

• Thursday, March 30th, 2023

Beberapa Tuntunan Agama yang Ditetapkan Pada Tahun Kedua Hijriah

Oleh Agung Kuswantoro

Beberapa hal penting yang berkaitan dengan tuntunan agama ditetapkan Allah pada tahun ke-2 hijriah yaitu:

  1. Pengalihan Kiblat ke Mekkah

Salah satu peristiwa penting di Madinah yang terjadi pada tahun ke-2 Hijriah adalah pengalihan kiblat ke Mekkah. Memang, sebelum hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad saw, berkiblat ke Ka’bah di Mekkah. Tetapi setelah hijrah ke Madinah, di mana bermukim banyak orang Yahudi, agaknya Nabi saw. bermaksud menunjukkan kepada mereka bahwa Islam tidak datang untuk merombak segala  sesuatu yang pernah diajarkan oleh rasul-rasul terdahulu, termasuk Nabi Musa as., karena itu atas inisiatif Nabi sendiri atau atas petunjuk Allah, beliau dalam shalat mengarah juga ke Bait al-Maqdis yang merupakan kiblat orang-orang Yahudi. Enam belas bulan lamanya Nabi saw. dan kaum Muslim mengarah ke Bait al-Maqdis di Palestina, tetapi harapan beliau agar orang-orang Yahudi mau menerima Islam bukan saja tidak tercapai, bahkan mereka berusaha memadamkan cahaya llahi yang terpancar melalui Nabi Muhammad saw. Dari sini Nabi saw. merasa bahwa kebijakan tersebut tidak berhasil dan lebih baik dan tepat bila kaum Muslim mengarah ke Ka’bah di Mekkah.

Ini bukan saja karena Ka’bah jauh lebih tua daripada Bait al-Maqdis yang dibangun oleh Nabi Sulaiman, sedang Ka’bah dibangun – atau direnovasi – oleh Nabi Ibrahim as., tetapi juga karena Ka’bah adalah rumah peribadatan pertama buat kaum Muslim maupun Nasrani dan Yahudi, kesemuanya seharusnya berbangga karena Ka’bah dibangun dan diagungkan oleh Nabi Ibrahim as. yang merupakan bapak agama-agama Yahudi, Nasrani, dan Islam.

Bisa jadi juga Ka’bah di Mekkah dijadikan Allah kiblat bagi umat manusia karena disamping Ka’bah adalah rumah peribadatan pertama, juga karena, menurut banyak pakar kontemporer, posisi Mekkah adalah pusat bumi yang oleh al-Qur’an dinamai Umm al-Qura. Untuk mengetahui lebih banyak tentang hal ini, rujuklah  antara lain ke Tafsir al-Misbah karya penulis ketika menguraikan makna Umm al Qura pada QS. Al-An’am [6]: 96

Apa pun pandangan ulama atau ilmuwan tentang Mekkah/Ka’bah atau apa pun latar belakang pemilihannya sebagai kiblat, yang jelas adalah keinginan Nabi Muhammad saw. untuk beralih ke Ka’bah itu sedemikian besar sehingga sering kali beliau mengarahkan pandangan ke langit bagaikan berdoa semoga turun perintah agar mengarah ke sana. Dan demikianlah adanya sehingga satu ketika pada tahun ke-2 H, tepat pula pada pertengahan rajab atau menurut riwayat lain pertengahan Sya’ban dan di saat Shalat Zhuhur – riwayat lain Ashar – turunlah firman Allah yang tercantum dalam QS. Al-Baqarah [2]: 144, yang menyatakan: “Sungguh Kami sering melihat wajahmu (penuh harap) menengadah ke langit. Allah mengetahui keinginan, isi hati, atau doamu, maka memenuhi keinginanmu serta mengabulkan doamu sungguh Kami akan memalingkanmu ke kiblat yang engkau sukai, maka kini palingkanlah wakahmu ke arah Masjid al-Haram; dan di mana saja kamu, wahai Nabi, demikian juga kaum Muslim berada, palingkanlah wajah-wajah kamu ke arahnya walau bukan di rumah tempat turunnya ayat ini atau bukan pada waktu Zhuhur atau Ashar. Sesungguhnya orang-orang yang diberi al-Kitab yakni Taurat dan Injil, mengetahui, bahwa berpaling ke Masjid al-Haram itu adalah benar dari Tuhan mereka dan juga Tuhan kaum Muslim. Mereka mengetahui bahwa itu benar, karena dalam kitab mereka ada keterangan bahwa nabi yang akan diutus akan mengarah ke dua kiblat, pertama ke Bait al-Maqdis dan kedua Ka’bah; Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan termasuk upaya mereka menyembunyikan kebenaran itu”.

  • Puasa Ramadhan dan yang berkaitan erat dengannya

Pada tahun ke-2 H ditetapkan juga oleh Allah kewajiban berpuasa Ramadhan sebulan penuh berdasar firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah [2]: 183: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.

Sebelum diwajibkannya puasa sebulan penuh ini, Nabi saw. bersama kaum Muslim telah melakukan puasa selama tiga hari dalam sebulan. Bahkn sementara ulama berpendapat bahwa pada mulanya Allah memberi alternatif berpuasa atau tidak bagi mereka yang slit/merasa berat berpuasa berdasar firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah [2]: 184: ”Bagi orang-orang yang merasakan beban berat bila ia berpuasa maka (bila ia tidak berpuasa), ia berkewajiban membayar fidyah berupa memberi makan seorang miskin”.

  • Kewajiban Zakat

Zakat harta dalam berbagai jenisnya diwajibkan juga pada tahun ke-2 hijriah, demikian pendapat mayoritas ulama. Memang ada juga ulama yang berpendapat bahwa zakat diwajibkan sejak awal kenabian atau paling tidak “berdekatan” masanya dengan kewajiban shalat lima waktu, yakni di Mekkah setelah Isra’ Mi’aj, tahun kesepuluh kenabian, karena itu menurut penganut pendapat ini, zakat sering kali dirangkaikan penyebutannya dengan shalat. Disamping itu, kata mereka, sekian banyak ayat yang turun d Mekkah, sebelum Nabi saw. berhijrah, yang menyebut zakat, seperti QS. Al-Muzzammil [73]: 20 dan al-Bayyinah [98]: 5, yang keduanya merupakan wahyu-wahyu pertama yang diterima Nabi saw. Disisi lain, masih menurut mereka, kewajiban menyisihkan sebagian harta untuk fakir miskin merupakan satu hal yang sangat dibutuhkan dalam rangka mendukung fakir miskin dari kalangan kaum Muslim yang ketika itu cukup banyak, karena ketika itu yang memeluk Islam sering kali  diusir oleh keluarganya atau tuan-tuan mereka, tanpa diberi hak-haknya. Bahwa perintah memungut zakat dalam firman-Nya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu ( menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. At-Taubah [9]: 103).

Perintah ini masih menurut penganut pendapat d atas, boleh jadi dalam konteks menyebut kadar zakat atau berfungsi menguatkan perintah-perintah sebelumnya, ketika kaum Muslim telah berada di Madinah dan bebas dari gangguan masyarakat Mekka, atau boleh jadi juga ia merupakan perintah untuk mengambilnya dari orang-orang munafik.

Pada tahun kedua hijriah, ada pernikahan putri Nabi Muhammad saw as-Sayyidah Fatimah az-Zahra dengan Sayyidina Ali bin Abi Tholib. Adapun Sayyidina Ali bin Abi Tholib berusia 21 tahun dan as-Sayyidah Fatimah az-Zahra berusia 15 tahun.

Selain itu, pada tahun kedua hijriah dilaksanakan solat sunah pertama Idul Fitri dan Idul Adha.

Demikian peristiwa-peristiwa tuntunan agama yang terjadi pada tahun kedua hijriah. Ternyata, sudah 1442 tahun yang lalu terjadi peristiwa tersebut. []

Selesai.

Materi pernah disampaikan di Masjid Ulul Albab UNNES pada kultum malam ke-3 solat Tarawih dan ngaji pasanan di Rumah.

Daftar Pustaka:

Kitab Tarikhun Nabi Muhammad Solla allahu ‘Alaihi wa Alihi wa Sallam karangan Kiai Toha Mahsun. Toko kitab Salim Nubhan Surabaya.

Quraish Shihab. 2012. Membaca Sirah: Nabi Muhammad Saw: dalam sorotan al-Qur’an dan Hadist-Hadist Shahih. Jakarta: Lentera Hati.

Ibnul Jauzi. 2018. Al-Wafa: Kesempurnaan Pribadi Nabi Muhammad. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

• Sunday, March 26th, 2023

Kajian Arbain Nawawi (55): Pertolongan dan Perlindungan Allah Swt

Oleh Agung Kuswantoro

Lanjutan tujuh pesan penting dari hadist ke-19 dalam kitab Arbain Nawawi—yang kemarin sampai pesan keempat—sekarang pesan keempat hingga ketujuh yaitu:

Keempat, ketetapan Allah Swt bagi hamba-Nya – baik susah atau senang, meupun nikmat atau bencana – adalah hal yang pasti dan tidak berubah, kecuali dengan kehendak-Nya pula, sebagaimana Allah SWT berfirman:“Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Di ssi-Nya, terdapat ummul kitaab (Lauhul Mahfuzh).” (ar-Ra’d: ayat 39)

Kelima, ada kesalahan seseorang yang tidak membawa musibah (mudharat) bagi Allah Swt dan bagi manusia memaafkannya pada kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja, tidak diketahui, dan terpaksa termasuk kesalahan yang dilakukan oleh orang gila, anak-anak, dan orang tidur.

Keenam, ada juga musibah yang menimpa kita karena bukan kesalahan kita. Hal ini biasanya terjadi pada sikap kita sendiri yang mendiamkan kesalahan itu, tanpa upaya amar ma’ruf nahi munkar hingga akhirnya musibah yang datang bukan hanyak menimpa orang yang melakukan kesalahan, melainkan juga merata pada semuanya. Allah Swt berfirman: “Peliharalah dirimu dari siksaan yang hanya menimpa orang-orang zalim diantaramu” (QS. Al-Anfaal: 25)

Ketujuh, hadits ini juga menunjukkan bahwa pertolongan Allah SWT senantiasa menyertai orang yang sabar. Begitu pula, kemudahan dan kelapangan dari-Nya akan diberikan kepada orang yang sabar ketika mereka mengalami kesempitan dan kesulitan.

Bersambung.

Catatan: Materi pernah disampaikan dalam kajian usai solat subuh di Masjid Ulul Albab UNNES.

Sumber rujukan:

Hasan, F.N. 2020. Syarah Hadist Arba’in An-Nawawi. Depok: Gema Insani.

Hassan, Q. 1982. Ilmu Musthalah Hadist. Bandung: Penerbit Diponegoro.

Kitab Azwadul Musthofawiyah karangan KH Bisri Mustofa, Rembang.

Kitab Majalis Saniah, Karangan Syeikh Ahmad Bin Syeikh Al-Fasyaini.

Suparta, M. 2016. Ilmu Hadist. Depok: PT Rajagrafindo Persada.

Tohhan, M. 1977. Taisir Mustholah al-Hadist. Riyad: Universitas Madinah.

Semarang, 26 Maret 2023 ditulis di Rumah, jam 06.30-07.00 Wib.

• Sunday, March 26th, 2023

Kajian Arbain Nawawi (54): Pertolongan dan Perlindungan Allah Swt

Oleh Agung Kuswantoro

“Dari Abu Abbas Abdullah bin Abbas r.a., dia berkata: “Suatu hari, aku di belakang Nabi saw., Beliau bersabda, “Wahai Ghulam, aku akan mengajarkanmu beberapa perkataan, (yaitu): jagalah Allah, maka niscaya engkau mendapatkan Dia bersamamu. Jika engkau meminta, memintalah kepada Allah. Jika engkau menghendaki pertolongan, memintalah pertolongan Allah. Ketahuilah, seandainya segolongan umat berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak bisa memberikan manfaat, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu, dan seandainya mereka berkumpul untuk memudharatkanmu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan mampu memudharatkanmu, kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah mengering tintanya”.

Pada riwayat selain at-Tirmidzi (disebutkan)” “Jagalah Allah, niscaya engkau akan menemukannya di hadapanmu. Kenalilah Allah dalam keadaan kesenangan, niscaya Dia akan mengenalimu ketika engkau sulit. Ketahuilah, segala kesalahanmu belum tentu akan menjadi musibah bagimu dan tidak pula musibah yang menimpamu disebabkan oleh kesalahanmu. Ketahuilah, pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan itu bersama kesempitan, dan bersama  kesulitan dan kemudahan”.

Hadist ke-19 dalam kitab Arbain Nawawi ini mengandung tujuh pesan penting yaitu:

Pertama, budaya saling menasihati dan memberi pelajaran yang baik, walaupun dengan anak kecil. Al-ghulam adalah anak kecil laki-laki. Nasihat boleh dilakukan dengan atau dengan tanpa diminta.

Kedua, perintah untuk menjaga Allah Swt yaitu: menjaga hak-hak agama-Nya kapan pun dan di mana pun, maka Allah Swt akan menjaga kita – baik diri sendiri, keluarga, maupun orang lain – serta Allah Swt akan bersama kita, kapan pun dan di mana pun.

Ketiga, perintah untuk meminta (berdoa) hanya kepada Allah Swt dan meminta pertolongan juga kepada-Nya, yaitu: meminta pada apa-apa yang menjadi hak Allah Swt semata untuk memberikannya seperti meminta: hidayah, rejeki, keselamatan hidup, dan lainnya.

Ada pun meminta pertolongan kepada makhluk dalam hal-hal yang manusiawi dan teknis, ini tidak apa-apa dan sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip wa iyyaa kanasta ‘iin (dan hanya kepada-Mu, kami meminta pertolongan), seperti: meminta bantuan dokter untuk mengobati penyakit, meminta seseorang untuk mengambilkan sesuatu, meminta guru untuk mengajarkan suatu ilmu, atau meminta bantuan montir untuk mereparasi kendaraan.

Ini semua dibenarkan oleh syara, adat, dan akal manusia walaupun pada hakikatnya pertolongan hakiki hanyalah datangnya dari Allah Swt. Oleh karena itu, ketika selesai mendapatkan bantuan atau pertolongan, hendaklah tidak lupa mengucapkan Alhamdulillah sebagai bentuk pengakuan pertolongan dari-Nya, yang Allah SWT melakukannya melalui tangan-tangan hamba-Nya pula.

Bersambung.

Catatan: Materi pernah disampaikan dalam kajian usai solat subuh di Masjid Ulul Albab UNNES.

Sumber rujukan:

Hasan, F.N. 2020. Syarah Hadist Arba’in An-Nawawi. Depok: Gema Insani.

Hassan, Q. 1982. Ilmu Musthalah Hadist. Bandung: Penerbit Diponegoro.

Kitab Azwadul Musthofawiyah karangan KH Bisri Mustofa, Rembang.

Kitab Majalis Saniah, Karangan Syeikh Ahmad Bin Syeikh Al-Fasyaini.

Suparta, M. 2016. Ilmu Hadist. Depok: PT Rajagrafindo Persada.

Tohhan, M. 1977. Taisir Mustholah al-Hadist. Riyad: Universitas Madinah.

Semarang, 25 Maret 2023 ditulis di Rumah, jam 06.30-07.00 Wib.

• Sunday, March 19th, 2023

Kajian Arbain Nawawi (53): Bertakwa Di Mana Pun Berada dan Berakhlak Baik Kepada Sesama

 

“Dari Abu Dzar bin Junadah dan Abu Abdirrahman, Mu’ads bin Jabar r.a. dari Rasulullah saw. beliau bersabda. “Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan ikutilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskannya, serta berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik.

 

Hadits ke-18 dalam kitab Arbain Nawawi ini memuat tiga pesan bagi pembentukan kesalehan pribadi dan masyarakat, yaitu:

 

Pertama, perintah untuk tetap dalam keadaan bertakwa kepada Allah Swt di mana pun dan kapan pun. Perintah untuk bertakwa banyak tersebar dalam Alquran dan hadist, baik perintah bertakwa secara umum maupun perintah bertakwa yang dikaitkan dengan suatu hal secara khusus, serta dalam bentuk kata ittaqullah (bertakwalah engkau kepada Allah).

 

Kedua, melakukan kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang alamiah terjadi pada diri manusia. Tidak ada manusia yang selalu buruk, jelek, dan jahat sebagaimana setan. Tidak ada manusia yang selalu rajin beribadah, benar, baik, dan taat sebagaimana malaikat. Justru, karena ada kedua hal tersebut itulah, letak manusiawinya, manusia.

 

Oleh karena itu sangat berlebihan, jika ada manusia yang menuntut orang lain untuk selalu benar dan tidak boleh salah sama sekali karena itu adalah pembebanan yang manusia mana pun tidak akan mampu mengimplementasikannya.

 

Ketiga, perintah untuk bergaul dengan manusia secara umum dengan akhlak yang sebaik-baiknya dengan muslim manapun non-muslim, dan berbuat baik dengan ahli maksiat maupun ahli taat dengan cara yang tidak sama, sesuai kadar kemaksiatan mereka.

 

Paduan antara bertakwa kepada Allah Swt dan berakhlak yang baik merupakan dampak terbanyak manusia dimasukkan ke dalam surga.

 

Demikian tiga pesan dari hadist hadist ke-18 dari kitab Arbain Nawawi tersebut. Semoga kita bisa melaksanakannya. Amin.

 

Bersambung.

Catatan: Materi pernah disampaikan dalam kajian usai solat subuh di Masjid Ulul Albab UNNES.

 

Sumber rujukan:

Hasan, F.N. 2020. Syarah Hadist Arba’in An-Nawawi. Depok: Gema Insani.

Hassan, Q. 1982. Ilmu Musthalah Hadist. Bandung: Penerbit Diponegoro.

Kitab Azwadul Musthofawiyah karangan KH Bisri Mustofa, Rembang.

Kitab Majalis Saniah, Karangan Syeikh Ahmad Bin Syeikh Al-Fasyaini.

Suparta, M. 2016. Ilmu Hadist. Depok: PT Rajagrafindo Persada.

Tohhan, M. 1977. Taisir Mustholah al-Hadist. Riyad: Universitas Madinah.

 

Semarang, 20 Maret 2023 ditulis di Rumah, jam 04.00-04.15 Wib.

 

 

 

• Saturday, March 18th, 2023

 

Sampaikanlah, Walaupun Hanya Satu Ayat
Oleh Agung Kuswantoro

Judul di atas bersumber sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang sering kita dengar. Bagi seseorang tertentu – yang sudah memenuhi keilmuan – menjadi wajib untuk menyampaikan/menyebarkan ilmu kepada masyarakat.

Namun, dalam pemahaman saya bahwa mengamalkan (baca: menyampaikan/mengajarkan) sebuah ilmu – meskipun satu ayat—belum tentu mudah. Jangankan satu ayat, satu huruf saja disampaikan ke masyarakat, belum tentu masyarakat menerimanya.

Adanya “penilaian-penilaian” yang kurang sesuai atau kurang “pas” terhadap satu ilmu, menjadi suatu permasalahan. “Penilaian” suatu ilmu, dimana seharusnya adalah: benar – salah, menjadi penilaian lainya, seperti: motif ekonomi (bisnis), ilmu (ajaran) yang disampaikan tidak baik, tempat yang diajarkan dipermasalahkan, dan “penilaian-penilaian” yang kurang relevan lainnya.

Jadi ingat pertanyaan Ibu saya kepada saya dulu yaitu: “Kapan kitab yang sudah dingajikan di Salafiyah Kauman Pemalang bisa ‘dingajikan’ kepada orang lain? Maka, bisa jadi pertanyaan tersebut tidak akan terjawab dengan adanya “penilain-penilaian”, sebagaimana di atas. Semisal, terjawab pun, hanya berlaku pada waktu tertentu. Pertanyaaan dan jawaban tersebut, hanya contoh mengaitkan judul tersebut dengan keadaan tertentu.

Hemat saya, menyampaikan ilmu itu, butuh sumber daya yang “mumpuni” mulai dari: kebijakan, guru/ustad/SDM, sarana-prasarana, waktu, peserta didik/santri, tenaga kependidikan, pendanaan, dan sumber daya lainnya. Artinya: ilmu dapat disampaikan dengan kondisi sebagaimana sumber daya tersebut. Termasuk, dukungan dari: pemangku kepentingan masyarakat di daerah tersebut (Kiai, RT, RW, Lurah, dan Camat setempat).

Lalu bagaimana? Wujudkan sumberdaya-sumberdaya dan payung hukum tersebut, setelah itu sampaikanlah ilmu tersebut, meskipun satu ayat. Insya Allah. []

Semarang, 16 Maret 2023
Ditulis di Rumah jam 02.00 – 02.15 Wib.

• Tuesday, March 14th, 2023

Kajian Arbain Nawawi (52): Berbuat Terbaik Dalam Segala Hal
Oleh Agung Kuswantoro

“Dari Abu Ya’la Syaddad bin Aus r.a. dari Rasulullah saw. beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah menetapkan (mewajkan) berbuat ihsan atas segala hal. Jika kalian membunuh (dalam peperangan), lakukanah denga cara yang baik. Jika kalian menyembelih, lakukanlah sembelihan yang baik, serta hendaklah setiap kalian menajamkan pisaunya dan membuat senang hewan sembelihannya” (HR Muslim).

Hadits ini memiliki banyak faedah (manfaat) dan kaidah dalam kehidupan kita, baik dalam urusan akhlak, adab, maupun fikih. Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa hadist tersebut memiiki beberapa faidah yaitu:

Pertama, hendaklah menjalankan sesuatu dengan cara terbaik, dengan makna “baik” yang begitu luas. Orang-orang mungkin mengistilahkannya dengan terencana, terukur, terstruktur, sistematis, dan professional, yang semua memiliki makna dan batasannya sendiri-sendiri. Melakukan sesuatu dengan cara terbaik adalah perintah syari’at, baik secara mantuk (tersuat) atau mafhum (tersirat). Oleh karena itu, terdapat nlai ibadah yang sangat serius di dalamnya bagi yang menjalankanya. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya, Allah menyuruh (engkau) berlaku adil da berbuat kebajikan” (Qs. an-Nahl: 90)

Dari ayat tersebut ada kalimat itqon. Apa itu itqon? Ada istilah itqanul amri artinya menyempurnakannya. Rajulun tiqnun dengan huruf ta dikasrahkan berarti haadziq (cerdas, pandai, atau cakap). Jadi, melakukan perbuatan atau pekerjaan secara sempurna, utuh, cakap, dan profesional adalah perbuatan yang disukai dan diperintahkan oleh Allah Swt.

Kedua, melakukan perbuatan dengan cara terbaik juga ditekankan dalam perkara dan situasi yang sangat emosional, seperti peperangan, yang biasanya orang-orang cenderung bertindak “brutal” karena berorientasi pada hasil “yang penting menang” dan pokoknya musuh kalah (mati).

Ketiga, melakukan perbuatan dengan cara terbaik juga dilakukan pada hewan itu hidup dalam pemeliharaan dan lingkungan kita maupun ketika hendak akan disembelih untuk keperluan hidup manusia.

Yang tidak baik seperti mencincang dan membuat cacat hewan ketika masih hidup, dilarang memberi tanda pada hewan dengan benda-benda yang menyakitkan, seperti mengecapnya (menstempelnya) dengan besi panas atau cairan panas.

Demikian faidah hadist hadist ke-17 dari kitab arbain di atas. Semoga kita bisa mengambil faidah tersebut. Amin

Bersambung.

Catatan: Materi pernah disampaikan dalam kajian usai solat subuh di Masjid Ulul Albab UNNES. Mohon maaf agak lama dalam menuliskan dan mempublikasikan kajiannya karena ada prioritas tulisan/artikel yang sedang saya kerjakan. Mohon doanya agar semuanya lancar.

Sumber rujukan:
Hasan, F.N. 2020. Syarah Hadist Arba’in An-Nawawi. Depok: Gema Insani.
Hassan, Q. 1982. Ilmu Musthalah Hadist. Bandung: Penerbit Diponegoro.
Kitab Azwadul Musthofawiyah karangan KH Bisri Mustofa, Rembang.
Kitab Majalis Saniah, Karangan Syeikh Ahmad Bin Syeikh Al-Fasyaini.
Suparta, M. 2016. Ilmu Hadist. Depok: PT Rajagrafindo Persada.
Tohhan, M. 1977. Taisir Mustholah al-Hadist. Riyad: Universitas Madinah.S

Semarang, 14 Maret 2023 ditulis di Rumah, jam 05.00-04.15 Wib.

• Friday, March 03rd, 2023

Ingin Menemui Prof. KH. Nasaruddin Umar, MA

Oleh Agung Kuswantoro

 

Disela-sela jadwal tindak lanjut kepengawasan kearsipan dan bimtek arsip terjaga (22-24 Februari 2023), saya, Pak Joko Legowo, dan Pak Tomo pergi ke Masjid Istiqlal. Sengaja ingin salat berjamaah di Masjid yang manajemennya sudah tersertifikasi ISO/Internasional. “Sekelas” Masjid saja, dalam mengelola/manajemen Masjid dapat dikelola secara ISO/Internasional.

 

Saat salat Asar, saya datang terlambat karena kemacetan di jalan. Saya dapat barisan/sof di belakang. Dari belakang saya melihat Prof. Nasaruddin Umar salat di belakang imam.

 

Saya bertanya kepada pengurus Masjid, bahwa Prof. Nasaruddin sedang berpuasa sunah (puasa hari Kamis). Biasanya, Prof. Nasaruddin usai buka puasa akan salat maghrib berjamaah di Masjid Istiqlal.

 

Walaupun menunggu 1,5 jam menuju waktu Magrib dari usai waktu berjamaah salat Asar, kami memutuskan untuk salat berjamaah salat Magrib di Istiqlal.

 

Alhamdulillah atas izin Allah, saya bisa duduk tepat di belakang Prof. Nasaruddin Umar. Sakadar ingin mendekat dan berharap keberkahannya.

 

Sebenarnya, banyak agenda pada malam tersebut karena bertepatan dengan malam Jum’at sehingga kegiatan diantaranya pembacaan surat Yasin, pembacaan ad-Diba, Mahalul Qiyam, doa, salat isya berjamaah, dan mau’idul hasanah oleh Prof. Nasaruddin Umar.

 

Karena keterbatasan waktu saya, sehingga tidak bisa mengikuti semua agenda tersebut. Hanya salat berjamaah salat Magrib.

 

Saya mengucapkan terima kasih kepada Allah atas waktu dan kesempatannya sehingga saya bisa belajar mengenai manajemen Masjid yang sudah terkelola secara Internasional, bertemu Prof. Nasaruddin Umar, dan belajar dari kegiatan-kegiatan ruhani di Masjid Istiqlal.

 

Terima kasih juga saya ucapkan kepda pimpinan UNNES, arsiparis Joko Legowo, dan tenaga admin/driver Pak Tomo atas bantuan dan waktunya untuk belajar bersama di Masjid Istiqlal dan melihat gereja Katedral. []

 

Semarang, 25 Fabruari 2023

Ditulis di Rumah jam 07.50 – 08.00 Wib.

• Wednesday, February 08th, 2023

Kajian Arbain Nawani (51): Solusi/“Obat” Marah
Oleh Agung Kuswantoro

Islam memberikan solusi terkait marah. Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah tidak pernah luput dalam memberikan jalan keluar bagi permasalahan manusia walaupun permasalahan sederhana, termasuk bagaimana mengendalikan diri ketika marah.

Ada tiga “obat” marah. Pertama, dzikrullah (mengingat Allah Swt). Ketika emosi kita sedang meluap, memang agak sulit berdzikir. Oleh karena itu, harus dipaksakan dan bermujahadah untuk melakukannya karena inilah cara awal yang mujarab untuk mengemalikan kondisi normal bagi hati kaum beriman. Allah ST berfiman: “yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (ar-Ra;d: 28)

Dzikir yang Rasulullah saw. ajarkan ketika sedang marah adalah membaca isti’adzah (dzikir perlindungan) karena marah juga merupakan godaan setan kepada manusia, dan kita berlindung kepada Allah SWT dari semua bentuk gangguannya.

Kedua, berwudhu. Ini merupakan tahapan selanjutnya, berdasarkan hadits Rasulullah Saw: “Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan tercipta dari api, serta air mampu memadamkan api. Jika salah seorang kalian marah, hendaklah dia berwudhu.”

Ketiga, jika marah sambil berdiri, duduklah, dan jka masih marah, berbaringlah. Ini adalah tahapan selanjutnya atau cara lain untuk meredam marah.

Marah ternyata bukanlah hal sederhana. Pengaruhnya bagi kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat begitu terlihat. Bahkan dalam menentukan hukum, para ulama pun menjadikan keadaan marah sebagai faktor penting. Contohnya adalah dalam masalah talak. Jumhur ulama mengatakan bahwa talak ketika marah tidak sah. Hal ini sama dengan talak ketika mabuk dan tidak sadar. Waallhu ‘alam.

Bersambung.

Sumber rujukan:
Hasan, F.N. 2020. Syarah Hadist Arba’in An-Nawawi. Depok: Gema Insani.
Hassan, Q. 1982. Ilmu Musthalah Hadist. Bandung: Penerbit Diponegoro.
Kitab Azwadul Musthofawiyah karangan KH Bisri Mustofa, Rembang.
Kitab Majalis Saniah, Karangan Syeikh Ahmad Bin Syeikh Al-Fasyaini.
Suparta, M. 2016. Ilmu Hadist. Depok: PT Rajagrafindo Persada.
Tohhan, M. 1977. Taisir Mustholah al-Hadist. Riyad: Universitas Madinah.

• Tuesday, January 31st, 2023

Kajian Arbain Nawani (50): Dampak Marah

Oleh Agung Kuswantoro

 

Ada yang mengatakan bahwa, “al-ghadhuuh artinya onta betina yang merengut. Begitu pun manusia, biasanya jika sedang marah, wajahnya merengut dan cemberut.

 

Inilah yang disebut al-ghadhab fillaah wal lillah (marah di jalan Allah dan karena Allah), yaitu marah yang terpuji (al-ghadhabul mahmud). Adapun marah “hitam” adalah marah yang membuat buta mata hati dan gelap pandangan, serta membuat hilang akal manusia. Dia tidak tahu apa yang ia lakukan lalu dia mencelakakan dirinya.

 

Bagian marah yang seperti ini, akan mengembalikan rasa sakit kepada pelakunya, yang akan menimpa ususnya, berdampak buruk pada urat syaraf yang ada pada perutnya yang membuatkan sakit, serta pengaruhnya juga pada gemertak giginya, pada matanya, minimal pengaruhnya adalah dia akan ditimpa kepusingan sangat pusing) dan ini dapat membawanya pada kelumpuhan otak (Hasan, 2020:196.

 

Apa yang dipaparkan tentang marah “hitam” ini adalah dampak buruk marah yang disebut dengan marah yang tercela (ghadhabul madzmum), yaitu yang didasarkan emosi dan hawa nafsu semata, bukan karena faktor kecemburuan terhadap agama, seperti marah didasari emosi pribadi dan kebanggan kelompok (geng). Sementara itu, kemarahan “merah” adalah marah terhadap segala hal yang membawa dampak pada manusia, tetapi masih dalam batas-batas wajar. Mungkin, inilah mara yang “natural” yang bisa saja dialami, baik orang kafir atau mukmin, maupun orang saleh atau ahli maksiat.

 

Ketika sedang marah, biasanya kita akan terbawa keinginan untuk membalas kejahatan orang yang telah menyakiti kita, tidak peduli yang menyakiti itu muslim atau bukan. Pada titik ini, secara natural memang begitulah manusia, termasuk juga hewan. Namun, Islam memberikan panduan agar manusia mampu mengendalikan marahnya itu, tetap memberikan pemaafan dan jalan damai, walaupun membalasnya – demi kehormatan dan harga diri – adalah boleh-boleh saja, berdamai dan memaafkan adalah  lebih baik. Tentunya, seorang Mukmin akan menempuh yang lebih baik. Wa Allahu ‘alam.

 

Bersambung.

 

Sumber rujukan:

Hasan, F.N. 2020. Syarah Hadist Arba’in An-Nawawi. Depok: Gema Insani.

Hassan, Q. 1982. Ilmu Musthalah Hadist. Bandung: Penerbit Diponegoro.

Kitab Azwadul Musthofawiyah karangan KH Bisri Mustofa, Rembang.

Kitab Majalis Saniah, Karangan Syeikh Ahmad Bin Syeikh Al-Fasyaini.

Suparta, M. 2016. Ilmu Hadist. Depok: PT Rajagrafindo Persada.

Tohhan, M. 1977. Taisir Mustholah al-Hadist. Riyad: Universitas Madinah.

 

Semarang, 31 Januari 2023 di Rumah, jam 04.50-05.00 Wib.