Archive for the Category ◊ Uncategorized ◊

• Monday, August 22nd, 2022

Kajian Arbain Nawawi (33): Mencintai Sesama Muslim

Oleh Agung Kuswantoro

 

Belajar kali ini kita belajar hadis ke-13 dari Syarah kitab Arbain Nawawi. Berikut arti dari hadis tersebut: “Dari Abu Hamzah Anas bin Malik r.a. pelayan Rasulullah saw. dari Nabi saw. beliau bersabda, Tidak beriman salah seorang kalian sampai dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Hadis ini memuat beberapa permasalahan penting sebagai berikut. Pertama, hadis tersebut menunjukkan bahwa al-mahabbah (rasa cinta) dan persaudaraan kepada sesama muslim adalah syarat kesempurnaan iman. Oleh karena itu, Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya, orang-orang Mukmin bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah, agar engkau mendapat rahmat”. (al-Hujurat: 10)

 

Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan: “(Yaitu) persaudaraan dalam agama dan kehormatan bukan dalam nasab”. Oleh karena itu, dikatakan bahwa persaudaraan karena agama lebih kuat daripada persaudaraan nasab. Persaudaraan nasab akan terputus dengan berbedanya agama tidaklah terputus dengan berbedanya nasab. Dalam ayat lain, Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya, penolongmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, serta orang-orang yang beriman yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allah),. Barangsiapa menjadikan Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya maka sungguh pengikjut (agama) Allah itulah yang menang (al-Ma’idah: 55-56)

 

Kedua, kadar mencintai saudara sesama muslim harus sama dengan mencintai diri sendiri. Bentuk aplikasi dari hal ini adalah adanya perasaan at-takaaful (merasa senasib sepenanggungan) dengan saudaranya. Kita ikut sakit jika saudara kita disakiti, dan kita ikut berbahagia dengan kebahagiaan mereka. Sebagian ulama menjelaskan bahwa hadis ini secara zhahir menuntut adanya kesetaraan antara mencintai diri sendiri dan saudara kita, tetapi kenyataannya itu tidak terjadi.

 

Kebanyakan orang lebih mementingkan diri mereka sendiri dibandingkan orang lain. Al-hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Abu az-Zinad bin Siraj berkata, “Zahir hadist ini menuntut adanya kesetaraan, tetapi kenyataannya dia lebih mementingkan dirinya sendiri karena setiap orang suka bila dia lebih utama dibandingkan yang lain, jika dia mencintai saudaranya seperti dirinya sendiri, dia mencintai saudaranya seperti dirinya, dia merasa dirinya termasuk kelompok yang dibawah (mafdhul). Aku (Ibnu Hajar) berkata “Al-Qadhi Iyath menyetujui, dan ini perlu ditinjau lagi karena ini bermaksud sebagai larangan terhadap keinginan tersebut, karena maksudnya adalah anjuran untuk tawadhu (rendah hati). Janganlah seseorang lebih mencintai dirinya dibanding yang lain. Dia harus menyetarakannya.

 

Ketiga, hadis ini secara tidak langsung mengajarkan kita untuk membersihkan hati kita dari berbagai macam penyakit hati terhadap saudara sesama muslim, baik berupa iri, dengki, maupun lainnya. Al-Allamah asy-Syekh Muhammad Isma’il al-Anshari rahimahullah mengatakan bahwa diantara tabiat keimanan adalah seorang mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Demikian mengharuskan seseorang untuk membenci bagi saudaranya apa-apa yang dia juga benci.

 

Dengan inilah, tatanan kondisi kehidupan dunia dan akhirat, serta manusia terus  menjalankan firman-Nya (surah Aali “Imran ayat 103), “Berpegangteguhlah kalian semua pada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai-berai” Berpegang dengan hal ini dan fondasinya, (yaitu) kebersihan hati dari penyakit-penyakit hati, seperti hasut.

 

Bersambung.

 

Semarang, 22 Agustus 2022

Ditulis di Rumah jam 19.10-19.30 Wib.

• Friday, August 19th, 2022

Bismillahirrohmanirrohim. Izinkan saya menulis cerita ini, Insya Allah kita belajar sisi positifnya. Dan, Insya Allah tulisan ini tidak ada unsur membenci atau berpolitik. Tulisan ini semata-mata agar saya lebih berhati-hati dalam hidup. Mari belajar bersama.

Mendamba Bapak “Munir-Munir” Berikutnya Untuk Kemajuan Pemalang

Oleh Agung Kuswantoro

Tertangkapnya Bupati Pemalang dalam Operasi Tangkap Tangan/OTT KPK, saya sebagai warga Pemalang menjadi prihatin. Memang beberapa isu—akhir-akhir ini—sering terdengar di beberapa media terkait kota yang “bermotto” Ikhlas itu, seperti: jalan rusak, “pergantian” slogan di Selamat Datang Kota Pemalang, korupsi dan beberapa isu lainnya.

 

Lantas saya teringat masa tahun 1995 – 2001 dimana saya masih SMP hingga SMA. Pada tahun yang sama (1995-2001), saya juga menjadi santri Salafiyah Kauman Pemalang. Saya kesemsem dengan sosok Bupati bernama Bapak Munir. Saya menyebutnya Bapak Munir itu Kiai.  Mengapa saya menyebut Kiai? Karena perilakunya baik sekali. Pendekatannya saat menjabat Bupati selain kepada pejabat, juga mendekati ulama dan menyukai masjid.

 

Setiap even/kegiatan yang diselenggarakan oleh Salafiyah Kauman Pemalang hampir dipastikan hadir; saat salat Jumat, selalu hadir sebelum adzan pertama dengan mobil Daihatsu Jeep, dan mengundang santriwan-santriwati Salafiyah pada malam Jumat untuk tahlil/berdoa di pendopo kabupaten Pemalang. Bahkan usai tidak menjabat sebagai Bupati, Bapak Munir pernah menjadi khotib solat Jum’at di Masjid Agung Pemalang dengan pasaran Kliwon.

 

Oh ya, saya dapat informasi dari kerabat di Pemalang bahwa Bapak Munir masih aktif menjadi khotib di Masjid Agung Pemalang hingga sekarang dengan pasaran Kliwon. Termasuk, kebiasaan mengundang santriwan-santriwati Salafiyah pada malam Jumat untuk tahlil/berdoa di pendopo kabupaten Pemalang masih berlangsung.

 

Suatu saat, ketika saya SMP punya pengalaman dengan Bapak Munir yaitu diberi beasiswa selama 1 tahun full. Alhamdulillah, saya dapat uang untuk biaya SPP selama 1 tahun, dan masih sisa dari pemberian tersebut. Sisa uang tersebut, saya tabung untuk biaya kuliah (kelak), waktu itu. Bapak Munir sangat peduli dengan kegiatan sosial, terutama anak yatim dan pendekatan yang sangat baik dengan pondok pesantren dan masjid.

 

Sekarang, saya mendamba Bupati Pemalang yang seperti itu. Semoga akan muncul Bapak “Munir-Munir” berikutnya untuk kemajuan kota dengan makanan khas grombyang dan nanas madu Pemalang (Blelik). Amin. []

 

Semarang, 14 Agustus 2022

Ditulis di Rumah jam 05.55 – 06.01 Wib.

• Wednesday, August 17th, 2022

 

 

Mengenalkan dan Membiasakan Hukum
Oleh Agung Kuswantoro

Mengenalkan hukum yang ada dalam sebuah ibadah, perlu perlahan-lahan. Terlebih bagi anak untuk melatih dan mengenalkan ibadah solat Jum’at.

Apa pun kondisinya, kita – sebagai orang tua – harus menyemangati anak mulai dari persiapan solat hingga pulang ke Rumah.

Sabar, telaten, dan menjaga hati: mungkin itulah kuncinya agar anak bisa menikmati solat Jum’at yang dilakukan pada jam 12 siang, dimana biasanya panas, lapar, jalan ramai, dan berdesakan saat di tempat wudhu. []

Semarang, 13 Agustus 2022
Ditulis di Rumah jam 08.00 – 08.05 Wib.

• Tuesday, August 16th, 2022

 

Madrasah di Rumah (7): Menggandeng Huruf Hijaiyah
Oleh Agung Kuswantoro

Mari belajar bersama. Ada soal seperti ini: alif ditambah ba ditambah tsa digandeng, jadinya tulisannya seperti apa?

Ba ditambah tsa ditambah alif digandeng, jadinya tulisannya seperti apa?

Tsa ditambah ba ditambah alif, jadinya tulisannya seperi apa?

Tsa ditambah alif ditambah ba, digandeng jadinya tulisannya seperti apa?

Jawab pertanyaan tersebut di kertas yang sudah disiapkan di meja. Mari belajar menulis. Jangan sampai menulis sebuah nama masjid/musolla/manusia/benda/judul buku/judul artikel, namun keliru/salah karena berdampak pada maknanya. []

Semarang, 13 Agustus 2022
Ditulis di Rumah jam 08.30 – 08.35 Wib.

• Monday, August 15th, 2022

 

Biaya Pendidikan Untuk Digitalisasi
Oleh Agung Kuswantoro

Melihat pemberitaan Kompas, Jumat (12/8/2022) mengenai anggaran infrastuktur Teknologi Informasi Komunikasi (TIK) pendidikan untuk digitalisasi dan pemerataan pendidikan sebesar Rp. 3,7 triliun, saya sebagai warga Negara ikut senang. Permasalahan TIK terkait pendidikan di Indonesia belum merata. Dampak pandemi yang menekankan pada aspek digitalisasi pendidikan terasa sekolahan belum siap.

saya setuju digitalisasi pendidikan diutamakan di desa-desa yang belum menjangkau computer dan internet. Harapannya: digitalisasi pendidikan merata. Atau, minimal yang dipedesaan mengenal HP, laptop, WA, jaringan Wifi, dan beberapa aplikasi pendidikan.

Informasi yang saya dapat, tahun ini (2022) sekitar 5.000 laptop, akses poin, proyektor, konektor, dan speaker akan dibagikan ke 29.387 sekolah (prioritas pertama adalah sekolah penggerak yang kekurangan peralatan TIK).

Semoga program ini lancar jaya, sehingga para siswa Indonesia bisa merasakan dampaknya. Meratalah TIK dibidang pendidikan, tidak hanya di kota besar saja. Sama-sama hidup di pulau Jawa, kadang masalah digitalisasi masih berbeda. Dengan program ini, mudah-mudahan sedikit membantu, khususnya bagi daerah yang masih minim infrastuktur TIK pendidikan. []

Semarang, 13 Agustus 2022
Ditulis di Rumah jam 07.50 – 07.55 Wib.

• Friday, August 12th, 2022

Kajian Arbain Nawawi (32): Berbuat Baik Kepada yang Bukan Ahlinya

Oleh Agung Kuswantoro

 

Sebagai penutup majelis ini (kajian hadis ke-12) dalam kitab Majalisus Saniyah ada sebuah cerita menarik terkait berbuat kebajikan. Disebutkan bahwa perbuatan kebajikan itu, tidak akan sia-sia sekalipun diberikan kepada orang yang bukan ahlinya.

 

Alkisah ada seorang laki-laki yang salih bernama Ibnu Hamir. Siang ia/Ibnu Hamir berpuasa dan malam beribadah. Pada suatu hari, ia pergi ke hutan. Tiba-tiba ada seekor ular datang medekatinya seraya berkata: “Tolonglah aku, semoga Allah menolong tuan pula”.

 

.”Ibnu Hamir  lalu bertanya kepada ular itu: “Menolongmu dari siapa?” Ular itu menjawab: “Dari musuh yang telah menganiayaku”

 

“Mana musuhmu itu?”

“Ada di belakangku:

“Engkau umat siapa?”

“Saya dari umat Muhammad SAW”

 

Ibnu Hamir berkata: “Lalu saya bentangkan sorbanku dan saya suruh ular itu bersembunyi didalam sorban. Ular itu menolak dengan alasan musuhnya masih dapat melihatnya. Lantas saya berkata kepadanya, “Apa yang bisa saya lakukan buat menolongmu?”

 

“Ular itu menjawab: “Jika tuan benar-benar mau berbuat kebajikan, maka bukalah mulut tuan supaya saya bisa bersembunyi di dalamya.”

‘Saya takut engkau nanti membunuhku.”

“Tidak, demi Allah, saya tidak akan membunuh tuan. Allah menjadi saksinya, juga para malaikat, nabi-nabi, rasul-rasul dan pemanggul Arsy, semuanya menjadi saksi kalau saya sampai membunuh tuan.”

 

Ibnu Hamir pun berkata: “Maka saya pun membuka mulut saya, lalu ular itu masuk kedalamnya. Kemudian saya melanjutkan perjalanan. Di tengah jalan, saya berjumpa dengan seorang lelaki yang memegang sebatang tombak kecil. Orang itu berkata: “Apakah tuan melihat musuhku?” “Seekor ular.” Saya jawab: ‘Tidak”. Kemudian saya membaca istighfar seratus kali atas perkataan saya mengatakan tidak itu, padahal sebenarnya saya tahu di mana ular itu berada.

 

Setelah orang itu pergi, ular itu mengeluarkan kepalanya sambil berkata: “Lihat, apakah orang itu benar-benar telah pergi!” Saya lalu menengok ke kiri dan kanan, ternyata memang sudah tidak tampak lagi bayangan orang itu. Lalu saya berkata kepada ular tersebut: “Sekarang kau boleh keluar, karena saya tidak melihat lagi seorang pun di sini.”

 

Ular itu berkata, “Tuan, sekarang pilihlah, tuan mau mati dengan cara bagaimana, saya hancurkan jantung tuan atau saya lubangi hati tuan.”

 

Subhanallah, mana janji yang telah engkau ucapkan tadi. Cepat sekali engkau telah melupakan sumpahmu sendiri!” kata saya dengan perasaan terkejut.

 

Ular itu menjawab: “Mengapa tuan melupakan permusuhan antara saya dengan Nabi Adam yang telah saya keluarkan dari salam surga. Salah tuan sendiri mengapa tuan berbuat kebajikan kepada yang bukan ahlinya.”

 

“Apakah engkau benar-benar akan membunuhku?”

“Pasti, “ jawab ular itu.

“Kalau begitu, beri aku tempo sebentar supaya saya bisa mencari tempat yang baik buat saya.”

“Terserah tuan.”

 

Maka saya pun berjalan tanpa tau harus kemana, tipis sudah harapan untuk hidup. Akhirnya saya menengadahkan tangan ke langit seraya berdoa: Ya lathiif yaa lathiif ulthuf bii biluthfikal khofiyyi, yaa lathiif, bil qudratil-latii istawaita bihaa ‘alal ‘arsy, falam ya’lamil ‘arsyu aina mustaqarraka minhu, illaa maa kafaitanii haadzihil hayyata.”

 

Kemudian saya berjalan. Di tengah jalan, saya berjumpa dengan seorang laki-laki yang tampan wajahnya, harum badannya, dan bersih pakaiannya. Orang itu memberi salam kepada saya, “Assalamu alaika. “ Saya jawab, “Wa ‘alaikum salam, hai saudaraku.”

 

Kemudian orang itu bertanya kepada saya: “mengapa saya lihat wajah Anda berubah?’ Saya jawab: “Karena ulah musuh yang telah menzalimi saya.”

 

“Dimana  musuh Anda itu?”

“Di dalam perut saya,” jawab saya

“Coba Anda buka mulut Anda,” katanya.

 

Maka saya buka mulut saya, lalu orang itu meletakkan sehelai daun didalam mulut saya, mirip dengan daun zaitun berwarna hijau. Kemudian ia berkata, “Kunyahlah lalu telanlah. “Saya pun lalu mengunyah dan menelannya. Baru saja saya menelannya, tiba-tiba perut saya terasa mulas. Kemudian saya keluarkan ular itu salam keadaan sudah mati terpotong-potong. Saya bertanya kepada orang itu, “Anda sebenarnya siapa?” Orang itu tertawa lalu menjawab: “Anda tidak kenal sama saya?” saya jawab: “Tidak.”

 

Orang itu menjelaskan: “ketika terjadi peristiwa antara Anda dengan ular tadi, lalu Anda berdoa dengan doa itu, maka para malaikat di tujuh petala langit menjadi gempar. Mereka mengadukan hal itu ke Allah. Allah menjawab: “Aku tahu apa yang telah dilakukan oleh ular itu kepada hamba-Ku tersebut. “ Kemudian Allah memerintahkan kepadaku datang menolongmu.

 

Aku adalah malaikat yang bernama Alma’ruf, tempatku di langit keempat. Allah berfirman kepadaku, “Pergilah ke dalam surga dan ambillah daun yang berwarna hijau, Kemudian tolonglah hamba-Ku Muhammad bin Hamir.” Wahai Muhammad bin Hamir, berbuatlah kebajikan, karena ia dapat menjaga dari mati buruk. Kebajikan itu tidak akan sia-sia di sisi Allah sekalipun ia disia-siakan oleh orang yang diberi kebajikan itu. Selesai. Wa allahu ‘alam. [].

 

Semarang, 12 Agustus 2022

Ditulis di Rumah jam 15.00-15.30 Wib.

• Friday, August 12th, 2022

Pindah (1): Pikiran

Oleh Agung Kuswantoro

 

Pikiran mempengaruhi tindakan/perbuatan. Kurang lebih, itulah pepatah yang harus kita pahami bersama.

 

Sekarang, UNNES lagi “gencar-gencarnya” peningkatan sumber daya, khususnya SDM/Sumber Daya Manusia. SDM UNNES meliputi dosen, tendik, fungsional, clining service, satpam dan tenaga lainnya.

 

Saya merasakan sendiri dampak itu. Di Fakultas dan jurusan, beberapa dosen sudah “dioyak-oyak” oleh Fakultas untuk naik pangkat, khususnya ke Lektor Kepala. Itu untuk dosen.

 

Lalu, bagaimana untuk tendik/fungsional? Menurut saya, sama saja. Pimpinan universitas juga “mengejar” tendik untuk “naik level”. Hal ini terlihat, saat ada tes kasubbag/kabag. Pesertanya, sangat banyak. Bahkan, Ka BUHK mendorong bagi yang memenuhi syarat untuk dapat mengikuti tes tersebut.

 

Kejadian tersebut –seingat saya – bulan November 2018. Saya amati, ada diantara mereka yang bersemangat untuk belajar. Mereka membawa buku “Kepemimpinan Bertumbuh” karya Prof. Dr. Fathur Rohman, M.Hum/Rektor Unnes. Mereka membaca saat sedang waktu istirahat. Ada pula, saat ada kesempatan di sela-sela mereka bekerja. Itu hanya gambaran kecil saja, aktivitas mereka untuk dapat “berpindah”. Pindah dari pegawai menjadi pimpinan.

 

Pindah menurut KBB Kemendikbud.go.id bermakna beralih atau bertukar tempat. Artinya, untuk beralih/bertukar tempat dibutuhkan pengorbanan, usaha, perjuangan, dan modal (mental/psikis). Kegiatan inilah yang kita sebut tindakan/perbuatan. Justru, pertanyaannya adalah siapa yang akan “pindah”? Jawabnya adalah orang yang mau berpikir.

 

Berpikir menjadi kunci bagi mereka yang ingin pindah. Berpikir artinya berangan-angan atau berakal budi (KBBI). Jadi, ternyata orang yang berpindah itu memiliki akal budi dan angan-angan. Ada orang yang tidak berakal budi dan tidak (mau) berangan-angan. Berarti, mereka  adalah orang yang tidak (mau) berpindah.

 

Ternyata, orang yang berpindah membutuhkan sesuatu. Mereka membutuhkan pengorbanan, kegiatan, mental, dan fisik. Aktivitas inilah, yang kita sebut tindakan/perbuatan. Dengan adanya tindakan, baru bisa berpindah. Siapa yang mau berpindah? Yaitu orang yang mau berpikir. Apa ciri orang yang berpikir? Ia memiliki angan-angan dan akal budi.

 

Rumusnya:

Pindah = berpikir + bertindak

Berpikir = Berangan angan = berakal sehat

 

Itu saja, sementara itu dulu. Besuk kita lanjut lagi belajarnya.

 

Semarang, 7 Januari 2018

 

 

Pindah (2): Suparjo Ke Lampung

Oleh Agung Kuswantoro

 

Pembicaraan kita kemarin mengenai “pindah”, berasal dari pikiran. Jadi, kalau mau berubah (baca:pindah) berawal dari pikiran dulu. Bukan, berawal pada tindakan. Jika berawal dari tindakan, maka yang ada hanya perintah atau menyuruh. Pendewasaan itulah awal dari “pindah”. Karena, ia sudah merenungkan akan kehidupannya.

 

Saya memiliki sahabat, yang kemarin baru keterima PNS. Ia bernama Suparjo. Ia melakukan “pindah” setelah berpikir dalam kehidupannya. Ia mau apa? Usianya masih muda. Alhamdulillah sudah menikah. Istrinya, orang Semarang, sedangkan ia berasal dari Lampung.

 

Ia sudah melakukan perpindahan, mulai dari kuliah di UNNES, hingga menikah. Saat “pindah”, pastinya ia kesusahan. Menikah saja, istrinya malahan berada di Wonogiri. Sedangkan, ia berada di Semarang. Sehingga, walaupun sudah menikah, kehidupannya terpisah.

 

Lalu, keduanya memutuskan untuk bersatu dalam kehidupannya. Istrinya memutuskan ke Semarang. Ia akan mencari pekerjaan di Semarang. Ia memilih menemani suami di Semarang, dibanding di Wonogiri. Segala persiapan perpindahan pun, dilakukan. Ada pindah barang dari kontrakan Wonogiri ke Semarang. Suparjo juga memindahkan barang-barangnya ke kontrakan baru di Semarang.

 

Semua serba ngontrak. Karena, mereka ingin hidup mandiri. Susah, pastinya mereka jalani. Saya melihat betul, saat mereka boyongan. Cukup modal motor metik mereka bolak-balik ambil barang. Terakhir, mereka pindah ke Lampung. Suparjo keterima PNS di Lampung. Ia “pindah” sendiri ke Lampung untuk pemberkasan PNS. Kalau pindah fisik dan barangnya, ia menggunakan motor metik. Pergi dari Semarang ke Lampung memakai motor metik dengan penuh bawaannya.

 

Rekoso? Ya, jelaslah. Barangnya full semotor. Belum, lagi kalau mau ngisi pertamax/pertalite, ia harus bongkar pasang. “Saya menanyakan kabar dia, sudah sampai ke Lampung?” Ia menjawabnya, “sudah”. Kemudian, menceritakan bahwa ia sempat bongkar pasang barangnya hingga tiga kali. Perjuangan sekali ya. Padahal, ia keterima PNS. Proses pindahnya sebegitunya.

 

Maknanya, “pindah” itu bukan hanya fisiknya, tetapi pikiran dan semangatnya. Fisik dan pikiran sehat, belum tentu ia mau “pindah”. Karena, “pindah” membutuhkan semangat yang kuat. Dalam proses “pindah”, pasti ada kesusahan. Ia akan menjalani kesusahannya. Sabar, kuncinya. Dan, tetap berdoa kepada Allah.

 

Jadi, “pindah” itu bukanlah hal mudah. Namun, jika tidak “pindah”, maka hidupnya ajeg/tetap. Hanya di situ saja. Tidak ada perubahan. Sama halnya, UPT Kearsipan UNNES dibutuhkan “pindah”. Minimal, “pindah” pikiran saja dulu. Fisiknya nanti. Sehingga, dibutuhkan orang yang mau berpikir dalam (sebelum) bertindak. Insya Allah, jika kita “pindah”, kita akan menjadi lebih baik.

 

Bersambung

 

Semarang, 14 Januari 2019

 

 

 

 

Pindah (3): “Penumpang” Yang Baik

Oleh Agung Kuswantoro

 

Pernahkah Anda naik pesawat? Jika sudah pernah, mari kita perhatikan saat dalam pesawat. Ketika Anda dalam pesawat, duduk, kemudian ada pramugari/pramugara yang mengantarkan/menunjukkan tempat duduknya. Mencarikan nomor kursi. Lalu, ada petunjuk bahwa pesawat akan terbang. Kita diperintahkan untuk memakai sabuk pengaman. Saat di udara, jika cuaca tidak bersahabat, kita dianjurkan untuk tetap mengenakan sabuk pengaman. Dan, prosedur lainnya saat di pesawat.

 

Menurut saya, jika Anda melakukan itu semua, maka Andalah penumpang yang baik. Sama halnya, dalam organisasi/lembaga/unit kerja. Jadilah “penumpang” yang baik. Mengikuti prosedur yang ada dalam unit tersebut.

 

Pesawat ibarat organisasi/unit. “Awak” dan “penumpang” pesawat ibarat pimpinan dan staf. Awak pesawat ibarat pimpinan di organisasi/unit. Sedangkan penumpang ibarat staf di organisasi/unit.

 

Pimpinan dan staf selalu mengikuti prosedur yang ada. “Pendewasaan” penumpang sangat dituntut dalam berperilaku, bagi yang sudah naik pesawat. Prosedur seperti itu sudah terbiasa. Tanpa ada anjuran pun, ia sudah melakukan.

 

Sama halnya, staf/pegawai. Dalam organisasi/unit bahwa bekerja sesuai dengan prosedur. Atau, apa yang seharusnya dilakukan dengan sendirinya, ia berjalan/melakukan. Ia bekerja, tanpa harus menunggu perintah dari “awak” (baca: pimpinan). Ia/penumpang/staf sudah tahu mana yang harus dilakukan, dan mana yang tidak harus dilakukan.

 

Harapannya, mereka “selamat” hingga kota tujuan. Harapannya, mereka (staf dan pimpinan) tujuan organisasinya tercapai. Oleh karenanya, dalam organisasi minimal menjadi ”penumpang” yang baik. Bayangkan, jika “penumpangnya” tidak baik, maka perintah/suara peringatan dalam pesawat selalu bunyi. Bahkan, pramugari/awak pesawat mendatangi penumpang yang tidak baik tersebut. Mari, kita menjadi “penumpang” yang baik, agar tujuan organisasi/unit mudah tercapai.

 

Semarang, 4 Februari 2019

 

 

 

• Monday, August 08th, 2022

Kajian Arbain Nawawi (31): Mengutamakan Orang Lain

Oleh Agung Kuswantoro

 

Dalam kitab Majalisus Saniyah terkait hadis ke-12 ada sebuah hikayat yang berkaitan dengan sifat mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri. Sifat yang sangat mulia, sehingga Allah SWT memujinya dalam al-Qur’an: “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Qs. al-Hasyr: 9)

Ulama berkata: “Sifat mengutamakan orang lain itu ada beberapa macam, ada yang lebih mengutamakan orang lain dalam masalah makanan, ada yang dalam masalah minuman, jiwa dan hidup.”

 

Adapun contoh dalam masalah makanan, telah diriwayatkan bahwa salah seorang sahabat Nabi SAW beri hadiah daging panggang, lalu ia berkata: “Saudaraku si fulan dan keluarganya lebih membutuhkan ini daripada kita.” Kemudian daging panggang itu dikirimkan ke rumah saudara yang dimaksudkan itu. Orang itu mengirimkannya kembali kepada saudaranya yang lain yang dianggapnya lebih membutuhkan dari dirinya, begitu seterusnya sampai beredar di tujuh rumah, dan akhirnya daging panggang itu kembali ke tempat orang yang pertama-tama menerima hadiah tersebut. Maka diturunkan  firman Allah seperit yang telah disebutkan di atas.

 

Semarang, 8 Agustus 2022

Ditulis di Rumah, jam 21.00-21.30 Wib.

 

• Friday, August 05th, 2022

 

Madrasah Di Rumah (6): Kentut
Oleh Agung Kuswantoro

Madrasah kali ini belajar tentang kentut. Materi ini berkaitan dengan fikih. Langsung saja ke materi. Kentut adalah gas berbau busuk (gas busuk) yang keluar dari anus (KBBI). Hukum kentut saat solat adalah batal, kerena keluar sesuatu dari lubang belakang walaupun berwujud gas. Gas itu tidak terlihat oleh mata. Hukum menahan kentut saat solat adalah makruh (Fathul Mu’in bab solat) karena mengganggu kekhusu’an solat.

Imam kentut saat solat yang harus dilakukan adalah Makmum mempunyai dua langkah pilihan. Pertama, makmum dapat meneruskan shalatnya dengan niat mufaraqah/berpisah dari imam. Artinya makmum meneruskan sholatnya secara sendirian (munfaridan) terpisah dari imam yang telah batal shalatnya. Kedua,makmum menyempurnakan shalat sampai selesai secara berjamaah. Kalau mengambil alternatif terakhir kedua yang dipilih, maka harus ada istikhlaf. Itulah yang diterangkan dalam Bughyatul Mustarsyidin halaman 85. Istikhlaf mempunyai dua kemungkinan: imam menunjuk pengganti atau para makmum menunjuk pengganti. Mari kita lihat video ini: https://www.youtube.com/watch?v=s6yNfjgD8_E

Demikian madrasah sore ini. Semoga bermanfaat untuk kita. Amin.

Semarang, 5 Agustus 2022
Ditulis di Rumah jam 20.00-20.15 Wib.

• Tuesday, August 02nd, 2022

Kajian Arbain Nawawi (30): Mengutamakan Kebaikan

Oleh Agung Kuswantoro

 

Terkait hadis ke-12, dalam kitab Majalisus Saniah berkaitan dengan ayat al-Quran: “Berpegangteguhlah kamu semua pada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai-berai”. Tidak diragukan lagi bahwa jiwa yang mulia itu suka akan kebaikan dan menjauhi gangguan. Jika hal itu dilakukan maka akan terciptalah keharmonisan dan tertiblah keadaan.

 

Adapun makna per lafal dari hadis tersebut adalah:

 

Laa yu’minu ahadukum yaitu iman yang sempurna

Hatta yuhibbu li akhiihi yaitu, saudara seiman tanpa mengkhususkan antara yang satu dengan yang lain. Hal ini didasarkan pada firman Allah, yang artinya: Sesungguhnya kaum mukminin itu bersaudara. Dan lagi pula kata mufrad yang di-mudhaf-kan itu menjadi umum.

 

Maa yuhibbu linafsihi yaitu, apa yang ia sukai buat dirinya. Yang dimaksudkan di sini adalah hal-hal yang baik dan berguna, karena orang yang tidak suka buat dirinya selain dari yang baik-baik. Dalam riwayat Annasaa-i disebutkan, hatta yuhibba li akhiihi minal khairi maa yuhibbu linafsihi (sehingga ia menyukai kebaikan buat saudaranya seperti yang ia sukai buat dirinya sendiri). Dan dalam riwayat Muslim disebutkan: walladzii nafsii biyadihi, laa yu’minu ahadukum hattan yuhibba li akhiihi au qaala lijaarihi maa yuhibbu linafsihi (Demi Zat yang nyawaku berada dalam kekuasaan-Nya, tidak sempurna iman seseorang di antara kamu kecuali jika ia menyukai buat saudaranya, atau sabdanya buat tetangganya, seperti apa yang ia sukai buat dirinya sendiri).

 

Kebaikan adalah isim jamak, yang mencakup semua perbuatan taat dan yang mubah, baik yang berkaitan dengan urusan dunia maupun akhirat. Waallahu ‘alam.

 

Semarang, 2 Agustus 2022

Ditulis di Rumah jam 20.00-20.30 Wib.