• Sunday, November 12th, 2023

Belajar “Diplomasi” Sulhu Hudaibiyah/Perjanjian Hudaibiyah

Oleh Agung Kuswantoro

Adalah sebuah perjanjian yang diadakan di wilayah Hudaibiyah, Mekkah. Terjadi pada tahun 6 M/ Maret 628 M.

Saat itu, kaum Muslimin bermaksud pergi ke Mekah untuk melaksanakan ibadah haji, namun pihak Musyrik Quraish menahan mereka sehingga Rasulullah mengirim utusan kepada Quraish untuk berunding.

Awalnya Rasulullah SAW menunjuk Umar bin Khattab, namun Umar bin Khattab menolaknya. Adapun Umar bin Khattab mengusulkan Usman sebagai penggantinya. Setelah keberangkatan Usman terdengar isu dikalangan muslimin bahwa Usman terbunuh.

Mendengar kabar tersebut, Rasulullah menyeru kepada umat Muslim agar setia kepadanya. Istilah ini dikenal dengan Baiat Ridhwan. Setelah perundingan kedua belah pihak akhirnya muncul kesepakatan perjanjian Hudaibiyah.

Sebagaimana sering dituturkan oleh para sejarawan, keberhasilan yang dicapai Nabi Muhammad Saw di dalam memperkenalkan misinya lebih banyak ditentukan oleh kekuatan dan keunggulan diplomasi Nabi Muhammad Saw, bukan karena kekuatan bala tentaranya.

Rasulullah lebih menonjol sebagai diplomat daripada seorang jenderal perang, meskipun semasa di Madinah, Nabi Muhammad Saw “disuguhi” sejumlah peperangan dan beberapa kali di antaranya beliau memimpin langsung peperangan itu, salah satu contoh keunggulan diplomasi yang dilakukan Nabi Muhammad Saw ialah Perjanjian Hudaibiyah.

Keputusan yang dilakukan Nabi Muhammad Saw dalam perjanjian ini sangat tidak populis. Bahkan sahabat terdekatnya seperti Umar tidak mau menuliskan perjanjian itu, karena bukan hanya tidak adil tetapi juga dianggap melecehkan simbol-simbol akidah Islam.

Ketika dilakukan perundingan gencatan senjata antara umat Islam dan kaum kafir Quraisy, Rasulullah memimpin langsung delegasinya dan dari pihak kafir Quraisy dipimpin seorang diplomat ulung bernama Suhail. Sebagai preambul naskah perjanjian itu, Rasulullah meminta diawali dengan kata: Bismillahirrahmanirrahim, tetapi ditolak oleh Suhail karena kalimat itu asing. Lalu ia mengusulkan kalimat” bismika Allahumma, kalimat yang popular di dalam masyarakat Arab ketika itu.

Sebagai penutup, perjanjian itu diusulkan dengan kata: “Hadza ma qadha ‘alaihi Muhammad Rasulullah“. Perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad Rasulullah. Akan tetapi Suhail kembali menolak kalimat ini dan mengusulkan kalimat: “Hadza ma qudhiya ‘alaihi Muhammad ibn ‘Abdullah“. Perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad putra Abdullah”.

Pencoretan “Basmalah” dan kata ”Rasulullah” membuat para sahabat tersinggung dan menolak perjanjian itu. Namun Rasulullah meminta para sahabatnya untuk menyetujui naskah perjanjian itu.

Konon Rasulullah mengambil alih sendiri penulisan itu karena sahabat tidak ada yang tega mencoret kata Rasulullah yang dianggapnya sebagai salah satu suatu prinsip dasar akidah islam. Kelemahan lain dari segi substansi menurut para sahabat Nabi, terdapat materi yang dinilai tidak adil, karena apabila orang kafir Quraisy yang menyeberang batas di wilayah muslim, Madinah, maka segera dibebaskan dan segera dikembalikan ke Mekah. Sedangkan apabila yang melanggar batas umat Islam maka orangnya ditahan di Mekkah. Materi perjanjian seperti ini pun disetujui oleh Rasul.

Banyak kaum Muslim yang meragukan manfaat perjanjian Hudaibiyah tersebut bagi perjuangan Islam. Di tengah keraguan tersebut turunlah surat al-Fath ayat 1-2: “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus”(Qs. Al-Fath[48]: 1-2).

Apabila dilihat sepintas lalu, perjanjia itu memang Nampak tidak adil dan melanggar rambu-rambu akidah, terutama perihal pencoretan kalimat “Bismillah” dan “Rasulullah” yang dianggap prinsipil dalam Islam. Akan tetapi, Nabi tetap menganggap itu batas maksimum yang dapat dilakukan terutama untuk mengatasi jumlah korban jiwa akibat peperangan. Nabi Muhammad Saw tahu apa akibat yang akan dialami umat Islam jika tidak dilakukan gencatan senjata. Nabi Muhammad Saw juga tahu langkah-langkah lebih lanjut yang akan dilakukan.

Para sahabat belum tahu apa arti kebijakan Nabi itu. Seandainya saja Nabi Muhammad Saw hanya sebagai pemimpin Arab biasa, bukan Nabi, maka sudah pasti tidak akan mendapat dukungan kelompoknya. Akan tetapi para sahabatnya tahu, bahwa di samping seorang kepala Negara yang cerdas, Muhammad juga seoang Nabi, sehingga mereka diam dan menurut saja.

Demikianlah hikmah yang dapat kita petik dari kebijakan Nabi Rasulullah dalam perjanjian Hudaibiyah. Diplomasi Nabi menuai kesuksesan yang luar biasa di kemudian hari. Dari semua itu lahir dari kemampuan menahan diri dari meraih keuntungan jangka pendek hari ini, demi keuntungan yang lebih besar di masa depan. Dengan kata lain, dalam menghadapi situasi yang sulit sekalipun hendaknya kit mencontoh sikap dan perilaku Rasulullah yang tidak mudah terbawa emosi, seraya meletakkan pendangan jauh ke depan.

Dan tentu saja dengan tetap memohon pertolongan Allah, sebab jika datang pertolongan Allah maka kemenangan tidak akan bisa dicegah oleh siapa pun. Pada saat itulah orang-orang akan berbondong-bondong memeluk agama Allah, sebagai penegasan dalam surat al-Nasr: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat” (Qs Al-Nasr [110]: 1-3).

Catatan: Pernah disampaikan saat Jumatan (10 November 2023) di Masjid Al-Iqtishodi FEB UNNES.

Daftar Pustaka:

Kitab Tarih Nurul Yaqin.

Prof. KH. Nasaruddin Umar. 2020. Khutbah-Khutbah Imam Besar. Bandung: Penerbit Pustaka Iman.

Category: Uncategorized
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Leave a Reply