Author Archive

• Monday, June 13th, 2022

Arbain Nawawi (3): Urutan Rukun Islam

Oleh Agung Kuswantoro

 

Hadist ke-2 dari kitab Arbain Nawawi menyebutkan rukun Islam ada 5 yaitu (1) syahadat, (2) solat, (3) zakat, (4) puasa, dan (5) naik haji.

 

Dalam beberapa kesempatan saya juga pernah mendengar, bahwa urutan rukun Islam yaitu: (1) syahadat, (2) solat, (3) zakat, (4) puasa, dan (5) naik haji. Hal ini sebagaimana urutan dalam Kitab Arbain Nawawi tersebut.

 

Suatu waktu “seseorang” pernah mendapatkan materi rukun Islam, dimana urutannya yang nomor (3) puasa dan (4) zakat. Setelah saya tanya kepada yang menyampaikan tersebut, ternyata belum/tidak ada dasar peletakan nomor tiga yaitu puasa dalam rukum Islam.

 

Nah, hal seperti ini harus ada dasarnya. Karena urutan rukun Islam itu harus jelas dan bersumber. Jangan sampai merubah urutan rukun Islam, namun tak bersumber. Biar “aman” harus ada sumber/referensi/rujukan. Misal, dalam hal ini adalah kitab Arbain Nawawi. []

 

Semarang, 10 Juni 2022

Ditulis di Rumah Jam 05.20 – 05.26 Wib.

• Saturday, June 11th, 2022

 

Kajian Arbain Nawawi (2): Niat
Oleh Agung Kuswantoro

Mengapa hadist berkaitan dengan niat diletakkan di awal? Karena niat adalah sebuah permulaan untuk melakukan sesuatu. Niatnya A, maka perbuatan yang akan dilakukan adalah menuju A. Apapun perbuatan tersebut harus menuju A.

Jika niatnya salah, maka perbuatan yang lain juga akan salah. Oleh karenanya, fondasi yang kuat (berupa: niat) harus teteg/jejek/kokoh. Niatnya lemah, maka eksekusi kegiatan menjadi rapuh. Jadi, itulah mengapa niat diletakkan diawal.

Besok bertemu di kajian Arbain bab selanjutnya.

Ditulis di UPT Kearsipan UNNES
Jam 10.00 – 10.10 Wib.

• Saturday, June 11th, 2022

 

Kajian Arbain Nawawi (1): Pekerjaan Hati
Oleh Agung Kuswantoro

Usai Lebaran/Idul Fitri 1443 Hijriah, kami bersama Takmir Masjid Ulul Albab (MUA) tetap menyelenggarakan kajian usai salat Subuh berjamaah. Adapun kitab yang kami pelajari adalah Arbain Nawawi. Sedangkan pada bulan Ramadhan, telah khatam kitab ‘Aqidatul ‘Awwam.

Model kajian kami untuk kitab Arbain Nawawi ini adalah per lafal kita baca dan dimaknai. Setelah itu, penjelasan. Tidak ada target khatam dalam waktu tertentu. Kita menikmati proses belajar.

Pada hadist pertama membahas tentang pentingnya Niat. Adapun bunyi hadistnya seperti ini: : Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya karena (ingin) mendapatkan keridoaan (Allah) dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridoaan) Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.

Niat adalah menghendaki sesuatu yang dibarengi/disertai/bersamaan dengan perbuatan. Niat dilakukan secara bersama-sama antara keinginan dan perbuatan. Adapun tempat niat ada di hati (Safinatunnajah).

Lalu, mengapa hadist ini diletakkan pada bagian pertama? Bersambung.

Semarang, 9 Juni 2022
Ditulis di rumah, jam 06.00 – 06.10 Wib.

• Thursday, June 09th, 2022

Satu Hari (Minimal) Salat Jamaah di Masjid Bersama Keluarga
Oleh Agung Kuswantoro

Keluarga adalah awal terbentuk sebuah kesuksesan. Jika keluarga itu baik, insya Allah orang yang ada dalam keluarga tersebut akan sukses bagi Bapak, Ibu, dan Anak.

Saya mencoba menerapkan isi paragraf di atas. Salah satunya dengan melakukan aktivitas mengajak & menggandeng istri dan anak untuk salat berjamaah di Masjid (minimal) satu waktu salatan.

Sebelum waktu salat tiba, saya dan istri biasanya menyiapkan semua kebutuhan salat, mulai dari sajadah, peci, tasbih, kendaraan, sarung, hingga minuman. Pas waktu tiba waktu salat, biasanya langsung berangkat. Karena jarak antara azan (tepat/awal waktu) dengan iqomah sekitar 7 menit. Jadi, antara perjalanan ke Masjid dari rumah harus saya pertimbangkan.

Dalam “memilih” Masjid pun, kami selektif, karena ada beberapa pertimbangan, seperti: tidak semua Masjid dapat menyelenggarakan salat 5 waktu di awal waktu, pertimbangan kebersihan Masjid, Masjid menerima anak untuk salat berjamaah, dan pertimbangan lainnya.

Melalui salat berjamaah di awal waktu dengan mengajak istri dan anak adalah sebuah kenikmatan. Biasanya usai salat, kami membeli beberapa kebutuhan keluarga (makanan dan minuman). Karena usai salat (ternyata) perut lapar, setelah kurang lebih satu jam kami beraktivitas (mulai dari persiapan hingga usai turun dari Masjid).

Mohon doanya, agar kami bisa istikamah melakukan ini. Demikian juga keluarga Anda (insya Allah) bisa melakukan hal serupa. Ke Masjid jangan sendiri, ajaklah orang terdekat sebagai saksi dan teman kita di Surga, kelak. Amin. []

Semarang, 6 Juni 2022
Ditulis di Rumah jam 04.00 – 04.10 Wib.

• Wednesday, June 08th, 2022

UNNES dan Arsip

Oleh Agung Kuswantoro

 

Kami—pengelola arsip UNNES—merasa bersyukur terhadap lembaga ini (UNNES) yang sedang berulang tahun ke-57 tahun, hari ini (8/6/2022). Ada hal yang kami (benar-benar) berterimakasih kepada UNNES—khususnya Pimpinan UNNES—dimana, telah menerima arsip sebagai bukti autentik untuk mengambil keputusan/kebijakan.

 

Dulu, UNNES merayakan HUT-nya tiap tanggal 30 Maret. Berdasarkan Keputusan Rektor UNNES, Nomor: B/716/UN37/HK/2021 tentang hari lahir UNNES diputuskan dimana: (1) Menetapkan bahwa tanggal Keputusan Presden Nomor: 271 tahun 1965 sebagai hari lahir UNNES, (2) Hari lahir UNNES adalah tanggal 8 Juni 1965.

 

Berdasarkan arsip yang ada, menjadikan kami lebih giat untuk mengelola kearsipan. Kami lebih bersemangat untuk mengelola kearsipan PT/Perguruan Tinggi. Mengingat arsip adalah sumber autentik dalam pengambilan keputusan/kebijakan. []

 

Semarang, 8 Juni 2022

Ditulis di Ruang ujian skripsi Pendidikan Ekonomi pada tanggal 7 Juni 2022, jam 08.00-08.15 Wib.

• Tuesday, June 07th, 2022

“Jarak” Masjid
Oleh Agung Kuswantoro

Dalam pengamatan saya, ada orang yang rumah dekat dari Masjid, namun salat jamaah, tidak di Masjid yang dekat rumahnya. Sebaliknya, ada orang yang rumahnya jauh dari Masjid, namun salat jamaahnya di Masjid yang jauh dari rumahnya.

Misal lagi, Masjidil Haram yang jauh dari Indonesia. Namun, tiap waktu, orang beramai-ramai ke Masjidil Haram, meskipun jauh untuk melaksanakan umroh dan menunggu hingga diberangkatan jadwal Haji.

Lalu, mucul pertanyaan, “Mengapa ada masjid yang jauh itu menjadi tempat rujukan, dalam beribadah? Sebaliknya, ada masjid yang dekat (belum) menjadi rujukan dalam beribadah?”

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya mencoba merenung. Sebagai orang yang pernah ke Masjid. Kelihatannya: pertanyaan tersebut tidak perlu dijawab. Karena, biarlah hati yang menjawab, bukan akal yang menjawabnya.

Bisa jadi, secara akal, bisa direncanakan untuk mengatur strategi agar Masjid menjadi makmur (baca: ramai kegiatan ibadah). Namun, secara “batin” Masjid, belum tentu rencana tersebut diterima.

Bisa jadi, pendekatan pengelolaan Masjid itu berbeda dengan pengelolaan rumah atau sekolah. Dengan perencanan yang matang, rinci, detail, dan sempurna untuk mendapatkan level, kategori “makmur” sebuah Masjid belum tentu terwujud.

Mungkin, biarlah Allah yang menentukan dan menetapkan dalam hal ini. Masjid adalah “Rumah Allah”, Allah yang memilih hak untuk mengatur “Rumahnya”. Sesempurna manusia merencanakan “Rumah Allah” tersebut, belum tentu sejalan/sepemikiran/sekehendak Allah. Wa ‘allahu ‘alam.

Semarang, 31 Mei 2022
Ditulis Di GKS bersama Pak Avi, Pak Miko dan Mas Wahid “Pesona” jam 11.30 – 11.45 Wib.

• Sunday, June 05th, 2022

“Muazin”

Oleh Agung Kuswantoro

Meninggal dunia sosok Buya Syafii Maarif begitu mendalam bagi bangsa Indonesia. Kompas menuliskan “Muazin Bangsa yang Selalu Gelisah” (Sabtu, 28 Mei 2022) dan Sindo menuliskan “Buya Syafii Meninggal Dunia, Maarif Institute: Muazin Bangsa Telah Tiadahttps://nasional.sindonews.com/read/780995/15/buya-syafii-meninggal-dunia-maarif-institute-muazin-bangsa-telah-tiada-1653631524 (Jumat/27 Mei 2022).

 

 

Saya menjadi berpikir: Sosok “Muazin” sebuah Masjid, apakah harus seperti Buya Syafii Maarif (almarhum)? Jika ya (apakah harus sesuai dengan Buya Syafii? dimanakah letak “ke-muazin-nya”?

 

Saya hanya menduga: kata “Muazin” yang disematkan oleh Kompas dan Sindo untuk Buya Syafii Maarif hanya “simbol”. Bisa saja, muazin (Buya Syafii Maarif, Gus Dur, dan Cak Nur) tidak harus bervolume tinggi. Tetapi, “menghayati” apa yang dilafalkan bisa diresapi dirinya. Syukur “hanyut” menikmati akan suara dan makna dari apa yang disampaikan oleh muazin. Bisa jadi, sosok muazin tidak harus muda. Terlebih, muazin ini memberi dampak kepada orang yang mendengar. “Sedeplah”, istilah  saya: apapun suara yang dikeluarkan oleh muazin.

 

Memang susah untuk menemukan sosok “muazin” seperti Buya Syafii Maarif, Gus Dur, dan Cak Nur. Namun, meskipun susah mendapatkan sosok tersebut, minimal kita punya contoh teladan yang tepat untuk menjadi “muazin” di lingkungan sekitar kira dulu. Baru, ke level Provinsi, Nasional dan Bangsa. Semoga kita bisa menjadi muazin seperti Buya Syafii Maarif dan Gus Dur. Amin. []

 

Semarang, 31 Mei 2022

Ditulis di rumah Jam 18.00 – 18.15 Wib.

• Saturday, June 04th, 2022

 

LKPT (Kadang) Terlupakan
Oleh Agung Kuswantoro

Adalah Lembaga Kearsipan Perguruan Tinggi (LKPT)—tulisan selajutnya adalah LKPT—yang kadang terlupakan dalam sebuah perkumpulan/diskusi. Beberapa hari ini, saya mengikuti beberapa forum kearsipan, baik pada level nasional dan lokal. Pada level nasional, beberapa waktu yang lalu di Riau (17-19/5/2022) ada kegiatan pengawasan kearsipan nasional. Kemudian, pada level lokal ada kegiatan Asosisiasi Arsiparis Indonesia (AAI) cabang Kota Semarang.

Diantara kedua forum tersebut, hampir ada yang terlupa, dimana setiap akhir kegiatan, biasanya ada rekomendasi dari suatu kegiatan. Yang terlupakan adalah LKPT, dimana tidak tersebut dalam pasal/poin rekomendasi. Yang sering muncul adalah kata/kalimat kearsipan daerah (kabupaten/kota, propinsi, dan nasional/ANRI). Namun, ada “terlewat” yaitu LKPT. Itu yang di Riau.

Demikian juga saat diskusi di Semarang, saat merumuskan AD/ART, menyebutkan anggota AAI cabang Kota Semarang (25/5/2022) terdiri dari arsiparis instansi pemerintah, dan swasta. Ada yang terlewat lagi yaitu LKPT. Ini pun saya sempat tidak teliti. Kemudian, teman saya – Ratu Bunga – mengingatkan kepada saya, bahwa arsiparis LKPT belum dimasukkan dalam poin/pasal yang sedang dibahas.

Melihat kedua kejadian tersebut, menjadikan penasaran posisi LKPT itu, ada dimana? Apakah masih kuat atau lemah? Mengapa sempat terlewat pada kedua momen tersebut? Wa’allahu’ alam. []

Semarang, 29 Mei 2022
Ditulis di Rumah jam 08.30 – 08.45 Wib.

• Friday, June 03rd, 2022

Kitab Syajarotul Ma’arif dan Washoya al-Abaa lil Abna

Oleh Agung Kuswantoro

Rabu sore (1/6/2022) saya dan keluarga seperti biasa belajar bersama di “Madrasah” rumah saya sendiri. Saya dan umi Lu’lu (istri) sebagai Ustad dan Ustadah. Mubin dan Syafa sebagai santri. Pelajarannya adalah akhlak. Adapun kitab yang digunakan adalah Washoya al-Abaa lil Abna.

 

Kitab Washoya al-Abaa lil Abna adalah kitab akhlak yang berisikan wasiat/pesan orang tua kepada anak seperti wasiat takwa, kewajiban kepada Bapak-Ibu, kewajiban terhadap teman, tata cara belajar/berdiskusi, tata cara makan-minum, dan tata cara yang lainnya.

 

Lalu muncul pertanyaan: “Mengapa pelajaran akhlak diberikan kepada anak?” Jawaban saya sederhana: “karena anak bersifat lugu dan memiliki daya pikir yang tajam”. Terlebih, yang menyampaikan materi adalah orang dewasa/orang tua. Dimana, ia/orang tua/ustad sedang dan telah melakukan (akhlak) dari apa yang telah disampaikan.

 

Bayangkan, bila pelajaran akhlak disampaikan kepada orang dewasa. Bisa jadi, orang tua/guru/ustadnya malah dilawan, karena tidak terima dengan ajaran akhlak yang disampaikan oleh orang tua/guru/ustad. Terlebih, tenaga (fisik) orang dewasa itu, lebih kuat dibanding guru/ustad/orang tuanya. Itulah pentingnya penyampaian materi akhlak saat usia anak-anak.

 

Jika sudah “berumur” (baca:dewasa), sampaikan materi/dari kitab yang berisikan menata hati. Malam hari usai madrasah (habis/ba’da salat Maghrib), saya membaca kitab Syajarotul Ma’arif, dimana isinya tentang “Ndandani ati” (baca: menata hati) seperti: berakhlak dengan sifat sang Maha Rahman sesuai dengan kemampuan; tatacara berakhlak dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah, perintah yang bersifat batin dan beraklak yang berisi penataan hati lainnya.

 

Ternyata, materi yang disajikan dalam kitab Syajarotul Ma’arif lebih mendalam dibandingkan kitab Washoya al-Abaa lil Abna. Namun, untuk bisa memahami kitab Syajarotul Ma’arif, harus menerapkan ilmu yang ada pada kitab Washoya al-Abaa lil Abna.

 

Jadi, saat anak-anak berilah/sampaikan materi kitab Washoya al-Abaa lil Abna, baru setelah dewasa sampaikan materi kitab Syajarotul Ma’arif. Sekali lagi ingat, kitab akhlak sangat cocok diberikan saat usia anak-anak. Disinilah masa “emas” anak menerima materi akhlak. []

 

Semarang, 1 Juni 2022

Ditulis di Rumah jam 22.30 – 22.45 Wib.

 

 

 

 

 

• Friday, June 03rd, 2022

Jika Ilmu Ditolak di Masyarakat (2): Mengapa Masyarakat Menolak Suatu Ilmu?

Oleh Agung Kuswantoro

 

Mengapa imu yang disampaikan oleh seorang guru, ustad, kiai, atau orang yang berilmu ada yang ditolak oleh masyarakat?

 

Mari kita kaji bersama. Dari sisi masyarakat. Pertama, ada semacam ketakutan dengan isi ilmu yang disampaikan. Karena, ilmu yang disampaikan berisikan hal-hal yang belum pernah mereka temui selama puluhan (bahkan, ratusan) tahun di tempat tersebut.

 

Kedua, selama ini tidak ada tokoh/orang yang menyebarkan ilmu. Peran atau kegiatan berjalan berdasarkan apa yang sudah terjadi, tanpa adanya kejelasan sumber.

 

Dari sisi orang yang menyampaikan, bisa jadi strategi cara penyampaian kurang tepat di masyarakat. Lalu, ilmu yang disampaikan belum pada level (tingkatan) pemahaman (pengetahuan) masyarakat tersebut.

 

Itulah catatan kecil saya mengenai penolakan sebuah ilmu. Mungkin ada beberapa sebab lain yang belum saya tulis/pahami. Silakan jika ada kemukakan saja, bisa didiskusikan.

 

Semarang, 28 Mei 2022

Ditulis di Rumah jam 08.00-08.15 Wib.